Khilafah dan jihad adalah satu-satunya solusi untuk mengalahkan entitas Zionis.
Oleh. Mariam
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pada acara APEC Economic Leaders Retreat yang dilaksanakan di San Francisco, Amerika Serikat pada Jumat (17/11/2023), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan hak suaranya dengan menyinggung kondisi masyarakat di Gaza. Dengan tegas Jokowi mengatakan bahwa hak hidup bagi masyarakat Gaza harus dihormati.
Jokowi juga mendesak kepada para pemimpin APEC untuk segera bertindak menghentikan perang dengan gencatan senjata serta memastikan bantuan kemanusiaan untuk segera dikirimkan tanpa hambatan. (CNBCIndonesia,18/11/2023)
Begitu pula dengan sikap yang dilakukan oleh Ayatollah Seyyed Ali Khamenei seorang Pemimpin Agung Iran yang menegaskan untuk negara-negara mayoritas muslim, terutama mereka yang memiliki hubungan diplomatik dengan Zionis, harus segera memutus jalinan tersebut. Beliau mengatakan bahwa memang beberapa pemerintah Islam telah mengutuk kejahatan Zionis di majelis, sementara beberapa lainnya tidak. (Metrotvnews, 19/11/2023)
Para pemimpin Arab dan dunia Islam sudah banyak yang memberikan kecaman dan menyinggung soal Palestina di forum dunia untuk menghentikan agresi entitas Yahudi. Namun, lisan mereka hanya bersilat lidah dengan drama mengecam dan memberikan bantuan keuangan serta logistik seadanya, tetapi tidak ada yang mengirimkan bantuan tentara militer yang besar untuk menyelamatkan Palestina sekaligus mengusir penjajah entitas Zionis itu.
Pengkhianatan para Pemimpin Muslim
Banyak para pemimpin muslim yang diam bahkan melakukan pengkhianatan dengan masih membuka hubungan bilateral dengan Zionis Yahudi. Mereka bahkan menolak usulan embargo minyak ke negeri Yahudi dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) luar biasa antara Liga Arab dan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) di Riyadh, Sabtu (11/11).
Walaupun pemerintahannya mengecam perbuatan tersebut, tetapi normalisasi hubungan Arab dengan Zionis masih saja terpelihara. Turki tidak jauh berbeda, saat Presiden Erdogan menggelar aksi besar-besaran untuk mengutuk keras serangan entitas Yahudi ke Palestina (28/10/2023), ia tidak memutuskan hubungannya dengan entitas Yahudi tersebut, bahkan menyerukan two-state solution sebagai solusi untuk Palestina yang artinya melegitimasi perampasan 80% wilayah Palestina oleh entitas Zionis.
Inilah sebabnya negeri-negeri muslim tidak melakukan hal yang dituntut syariat untuk melindungi dan merebut kembali Palestina dari entitas Zionis. Alasan konstitusional menjadi sebab Mesir menutup perbatasannya dan menolak pengungsi Gaza, ini juga alasan utama Saudi tidak peduli dan malah sibuk sendiri mengadakan konser Shakira di Riyadh Season.
Akibat Nasionalisme
Hal ini dikarenakan adanya batas teritorial negara dalam nation state atau batas nasionalisme. Nasionalisme adalah salah satu ikatan yang lemah karena ketidakmampuannya untuk mempersatukan manusia secara permanen. Ikatan ini hanya bersifat temporal, juga bersifat emosional karena tidak tumbuh dari sebuah kesadaran permanen. Dengan demikian, wajar bahwa nasionalisme ini bersifat kontradiktif, di satu sisi mempersatukan manusia, tetapi di sisi lain menumbuhkan sikap antiegaliter terhadap bangsa-bangsa lain.
Konsep negara bangsa ini mempunyai otoritas terbatas pada bangsa tertentu di wilayah tertentu yang garis teritorialnya sudah tetap. Jika Presiden Mesir hanya ingin mengurusi rakyat Mesir dan tidak ikut campur tangan terkait urusan Palestina dengan alasan membahayakan keamanan Mesir, hal ini dianggap benar menurut konsep negara bangsa dan sesuai amanat konstitusinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Raja Saudi, Raja Yordania, Presiden Turki, dan lainnya. Mereka mendudukkan masalah Palestina sebagai masalah bangsa lain, bukan masalah negaranya.
Nasionalisme juga menjadikan para pemimpin muslim sebagai antek yang siap mengikuti perintah tuannya, Amerika Serikat. Para pemimpin muslim mengabaikan fakta bahwa peperangan yang terjadi antara entitas Zionis dan milisi Hamas bukanlah peperangan yang berimbang, ketika sebuah kelompok militer melawan Yahudi yang disokong oleh negara adidaya yang paling ditakuti di dunia, yakni AS.
Sungguh miris dan menyedihkan saat ini, ketika entitas kecil Zionis Yahudi melakukan genosida terhadap kaum muslim di Palestina, padahal wilayahnya dikelilingi oleh negara-negara muslim yang jumlahnya jauh lebih besar dari entitas Yahudi tersebut.
Peran dan Kekuatan Negara
Sejatinya, pembebasan Palestina saat ini membutuhkan tindak nyata oleh sebuah negara. Para penguasa memiliki kekuatan besar untuk memberikan aksi nyata dengan mengirimkan tentara dan senjata kepada Palestina. Hal ini tidak akan mungkin terlaksana jika kita masih mempunyai sekat batas nasionalisme. Ini hanya bisa dilakukan ketika umat Islam kembali bersatu dalam sebuah naungan negara yang berlandaskan pada hukum Islam.
Jika kita menakar, sesungguhnya umat Islam mempunyai potensi besar. Setidaknya ada tiga potensi yang ditakuti dunia Barat ketika kaum muslim bersatu.
Pertama, potensi demografi dan militernya. Menurut data World Population Review 2023, jumlah penganut Islam adalah yang terbesar kedua setelah umat Kristen, yaitu dua miliar lebih. Bahkan banyak peneliti memprediksi pada 2050 jumlah umat Islam akan lebih mendominasi. Jika satu persennya menjadi tentara, niscaya akan ada 20 juta tentara muslim yang siap melindungi seluruh bagian wilayah Islam, termasuk Palestina.
Kedua, potensi geopolitik dunia, karena negeri-negeri muslim menempati wilayah strategis seperti Selat Giblatar, Terusan Suez, Selat Dardanella ataupun Bosphorus yang mampu menyetir kekuatan perdagangan dunia.
Ketiga, potensi sumber daya alam seperti minyak bumi yang Allah karuniakan kepada negara-negara muslim.
Islam Menyatukan Kaum Muslim
Rasulullah saw. bersabda,
"Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR. Muslim No. 4685)
Ketika Palestina mengalami penindasan, penjajahan, dan genosida besar-besaran, sudah seharusnya umat Islam menolong dan bersuara, tidak cukup hanya dengan aksi di jalan ataupun boikot produk penjajah. Tidak juga mencukupkan diri sekadar berdonasi dan aksi sosial lainnya. Namun, perlu ada tindakan tegas untuk kembali menyatukan kaum muslim dalam sebuah negara yang mempunyai bisa mengerahkan pasukan jihad terbaiknya ke Palestina.
Setelah kaum muslim bersatu dalam sebuah naungan negara Khilafah, maka Khilafah akan menganggap Zionis dan sekutunya sebagai kafir harbi fi’lan yang wajib diperangi sehingga haram hukumnya melakukan hubungan kerja sama dengan mereka.
Jihad hukumnya fardu ain berdasarkan aturan politik luar negeri Islam, artinya wajib bagi kaum muslim tetangga Palestina seperti Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir untuk mengirimkan pasukan guna mengusir Yahudi dari Palestina. Berdasarkan hukum tersebut, maka Khilafah dan jihad adalah satu-satunya solusi untuk mengalahkan entitas Zionis.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Sedih dan marah rasanya melihat pendetitaan rakyat Palestina yang harus berjuang sendiri melawan zionis Israel. Apalagi bangsa yahudi itu didukung AS secara terang-terangan. Sementara penguasa negeri-negeri Muslim masih kekeh dengan ikatan nasionalismenya. Masih sibuk dengan ribuan hujatan saja. Mereka lupa sumpah serapah iru tidak ada gunanya bagi bangsa yang pernah dikuruk Allah menjadi kera. Harapan satu-satunya adalah tegaknya Khilafah yang akan maju dan membuat penjajah Israel itu hengkang dari bumi Palestina.
Geram rasanya melihat pengkhianatan negara2 muslim atas peperangan di Palestina. Bukannya memutuskan berbagai hubungan kerjasama malah asyik bermesraan dg penjajah Yahudi dan sekutu2nya. Jika sj negeri2 muslim bersatu mudah bagi mereka menghancurkan Isr43l laknatullah.