"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Aneka ragam episode kehidupan. Silih berganti hadirnya ketenangan dan keributan, keamanan dan ketakutan, kesejahteraan dan penderitaan. Setiap kehidupan tentu akan dihiasi ujian dan cobaan. Apakah manusia akan berpeluk ketaatan atau justru berpaling dan tersebut dalam kemaksiatan kala disapa ujian dan cobaan.
Gempa, antara Ujian dan Peringatan
Ujian dan cobaan banyak ragamnya, salah satunya adalah datangnya bencana. Beragam pula ujian bencana alam yang dihadirkan Pemilik semesta, ada banjir, likuefaksi, angin puting beliung, kekeringan, gempa, dan lainnya. Bencana ini bisa menyapa wilayah mana pun di dunia.
Baru-baru ini, setahun terakhir yang kerap disapa bencana gempa adalah Nepal. Keadaan mencekam kala gempa menyapa saat penduduk tengah nyenyak tertidur. Dilansir dari laman voaindonesia.com (5/11/2023), para penyintas gempa kuat yang mengguncang barat laut Nepal pada tengah malam menggambarkan guncangan tiba-tiba yang diikuti dengan robohnya rumah-rumah dan mengubur banyak keluarga. Hingga Sabtu (4/11), korban tewas sudah mencapai 157.
Menurut laporan media setempat, banyak warga yang menjadi korban. Kebanyakan dari korban jiwa akibat tertindih puing-puing saat rumah mereka roboh tersebab dahsyatnya guncangan gempa pada Jumat (3/11). Rumah-rumah warga di Nepal kebanyakan terbuat dari batu dan kayu.
Gempa pada awal November di Nepal adalah gempa yang paling parah. Akibat gempa tersebut, ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Mereka menghabiskan malam di luar ruangan, sementara cuaca sangat dingin. Puluhan gempa susulan juga mengguncang distrik-distrik yang sebelumnya terkena dampak paling parah di Jajarkot dan Rukum Barat sejak Jumat (03/11). Korban gempa Nepal masih terus mencari perlindungan dan bantuan, terutama tempat tinggal (bbc.com, 8/11/2023).
Bantuan yang diharapkan warga Nepal tak bisa segera direalisasi. Nyatanya, sejak gempa 2015, solusi berkelanjutan terkait ketahanan gempa belum terwujud sempurna. Saat gempa kembali menyapa, ratusan korban harus dievakuasi, bangunan juga banyak yang roboh.
Nepal dan Indonesia memang kerap disapa gempa. Seharusnya, mitigasi bencana gempa telah termaktub dalam jiwa setiap warganya. Edukasi dan penyuluhan berkelanjutan harus terus dijalankan untuk meminimalisasi korban jiwa kala gempa kembali menyapa.
Sepertinya hal itu tidak dilakukan secara berkala. Alasan medan Nepal yang berada di kaki Gunung Himalaya dan akses yang susah untuk menjangkaunya. Wilayah Nepal dinyatakan sebagai wilayah rawan gempa dan berada di kaki-kaki Gunung Himalaya yang bersalju hingga selalu terkena imbas perubahan iklim (CNNIndonesia.com, 25/4/2016).
Sama dengan wilayah Asia lainnya, Nepal berada dalam cengkeraman sistem kapitalisme. Pemeliharaan urusan rakyat tidak akan ditegakkan oleh negara. Sebab, asas manfaat menghalangi negara untuk segera melakukan evakuasi ataupun membiayai kerugian yang diderita para korban gempa. Edukasi dan penyuluhan tentang mitigasi bencana gempa dilepas begitu saja tanpa berpikir dampak saat terjadi bencana.
Riayah dari negara belumlah optimal. Padahal gempa berulang kali terjadi dan membuat kehidupan penduduk Nepal porak-poranda. Belum usai recovery, gempa kembali bertandang meski tanpa diundang. Gempa sejatinya bukan sebatas fenomena alam, tetapi titah Sang Maha Pemilik kehidupan. Alam tentulah tunduk pada sunatullah. Terjadinya gempa dengan tatanan sosial dan kehidupan yang jauh dari aturan Allah tentu bukan sebatas ujian, apalagi terjadi secara berulang. Sering terjadi gempa bisa juga sebagai peringatan akan kemaksiatan yang kerap dilakukan.
Berlepasnya negara dari tanggung jawabnya terhadap rakyat, karena sistem kapitalisme sejatinya adalah kemaksiatan yang terstruktur. Negara sebatas hadir sebagai regulator. Apalagi akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan, membuat penguasa tak takut akan pertanggungjawaban. Apalagi penduduk Nepal memang mayoritas beragama non-Islam, sangat wajar jika ketundukan pada syariat Islam tidak terpikirkan.
Saatnya Melipatgandakan Ketaatan
Introspeksi komunal tak akan pernah terpikirkan. Padahal, bencana tentu akan menimpa siapa saja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Sehingga, introspeksi menjadi sebuah kebutuhan dan evaluasi atas diri dan tatanan sosial masyarakat (lingkup komunal). Nepal diketahui sebagai negara Seribu Kuil dengan tradisi poliandri yang melekat. Introspeksi tatanan sosial masyarakat yang seperti itu harusnya dilakukan terlebih dahulu oleh negara. Namun, sistem kapitalisme menihilkan riayah dan introspeksi kebijakan maupun kesalahan komunal.
Syariat Islam bertolak belakang dengan sistem kapitalisme. Islam adalah agama ruhiyah sekaligus agama siyasiyah. Keberadaan negara dalam Islam adalah sebagai penanggung jawab kemaslahatan individu rakyat. Islam bukan sebatas ibadah ritual, tetapi juga ideologi kehidupan. Syariat Islam membebankan sebuah kewajiban pada negara untuk mengatur dan memelihara setiap urusan kebutuhan rakyat.
Mitigasi terkait gempa bagian dari jaminan pendidikan yang harus diberikan kepada rakyat. Fasilitas dan dukungan pembangunan tempat tinggal tahan gempa juga tanggung jawab negara. Maka dari itu, negara harus membangun kesadaran rakyat akan pentingnya pendidikan mitigasi tanggap bencana. Selain itu, hal yang paling utama adalah menjaga suasana keimanan di tengah masyarakat.
Negara akan menegakkan Islam dengan sempurna dan adil. Bagi kafir zimi juga akan dibentuk sebuah rules dengan jaminan edukasi dan keamanan yang sama dengan muslim agar mereka rela hidup berdampingan dengan kaum muslim dalam perkara apa pun, termasuk perkara mitigasi dan siaga gempa.
Selain itu, jika gempa sudah terjadi, proses evaluasi dan bantuan dari negara (Tim Sar) akan bergerak cepat. Apa pun medan yang dihadapi, mereka akan terus mengevaluasi korban agar segera diketahui jumlahnya dan luka yang diderita. Islam akan benar-benar menyiapkan Tim Sar yang terlatih dan paham geografi untuk memudahkan evaluasi. Tim medis dan tim dapur umum juga akan disiapkan negara dengan memadai, sarana dan prasarana juga memadai.
Negara akan membiayai seluruh proses evakuasi dengan dana yang ada di baitulmal. Apabila tidak cukup, khalifah akan meminta walinya di wilayah yang aman dari gempa untuk mengirimkan bantuan dan menyeru kaum muslim yang kaya untuk bersedekah. Bila masih tidak cukup, negara akan meminjam harta pada kaum muslim yang kaya dengan akad sesuai syariat. Jika masih tidak cukup, negara akan menarik dharibah pada kaum muslim yang kaya saja sampai terpenuhi kebutuhan untuk evaluasi korban dan recovery mentalnya.
Dalam sistem Islam, apabila gempa terjadi, Nepal atau negeri rawan gempa lainnya sudah siap dan rida dengan segala konsekuensi bencana. Muhasabah atas dosa karena kemaksiatan yang dilakukan akan ditegakkan. Setelah itu, penguasa muslim akan menyeru rakyatnya untuk melipatgandakan ketaatan kepada Allah Taala.
Sebagaimana kisah Sayyidina Umar bin Khattab yang masyhur kala gempa menyapa Madinah. Sebagai kepala negara (khalifah), beliau melakukan muhasabah. Ada apa gerangan sampai terjadi gempa di Madinah. Beliau khawatir azab Allah akan menimpa Madinah.
Sayyidina Umar memberi peringatan bagi kaum muslim supaya tidak mendekati maksiat. Beliau juga mengimbau kaum muslim untuk segera kembali kepada Allah. Beliau bahkan mengancam akan meninggalkan mereka jika terjadi gempa kembali. Beliau menyatakan bahwa sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya, jika manusia tak lagi mau peduli terhadap ayat-ayat Allah (republika.co.id, 15/6/2021).
Ukiran tinta emas sejarah di masa peradaban Islam, terutama di masa Khalifah Umar bin Khattab seharusnya cukup membuat para pemimpin untuk menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan termasuk hadirnya bencana. Seharusnya apa yang menimpa Nepal saat ini, bahkan di wilayah lainnya yang rawan gempa, dijadikan sebagai introspeksi komunal dan segera kembali pada sistem kehidupan yang benar, yakni sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Benar.
Adanya kerusakan yang terjadi berasal dari kemaksiatan yang dilakukan manusia. Begitu pula poliandri termasuk kemaksiatan. Maka kemaksiatan yang dilakukan bisa mendatangkan kerusakan bahkan kehancuran. Sebagaimana firman Allah:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ - ٤١
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)
Sungguh, ayat di atas menegaskan bahwa bencana alam ataupun kerusakan yang ada di daratan dan di lautan tak lepas dari ulah tangan manusia. Kemaksiatan yang merajalela juga bisa jadi mempercepat datangnya fenomena alam yang bernama gempa. Manusia harusnya beriman kepada Allah dan terus melipatgandakan ketaatan. Sementara negara harus bertobat dan menerapkan syariat Islam di segala aspek kehidupan. Wallahu a'lam. []
Betul mbak Afi, gempa bukan sekadar fenomena biasa. Bisa jadi teguran, bisa juga azab. Karena itu, seharusnya semua manusia kembali menerapkan aturan-Nya di bumi ini yang sudah lama diabaikan.
Bumi pun kian jengah dengan polah manusia yang kian parah..belum saatnyakah kita berserah, kepada Allah pencipta manusia, dengan kembali menerapkan aturan-Nya di bawah naungan Khilafah?
Bismillah siap
Insyaallah akan segera tegak apa yang kita perjuangkan