”Korupsi ibarat wabah penyakit yang menjerat siapa pun tanpa pandang bulu. Tidak hanya menjerat satu negara, namun telah mengular ke semua sudut-sudut bumi tak terkecuali Peru.”
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kekuasaan dan korupsi ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling melengkapi di setiap waktu dan tempat mengiringi perjalanan demokrasi. Mirisnya, korupsi telah menjadi ’harga mati' yang nyaris pasti terjadi di setiap rezim. Bahkan, ’wabah’ korupsi tidak hanya menggerogoti negeri ini, namun telah menjalar ke seluruh dunia dengan berbagai modus dan kreativitasnya.
Salah satu negara yang sedang memanas karena protes rakyatnya adalah Republik Peru. Ribuan rakyat Peru turun ke jalan pada Sabtu (06/11) sambil membawa bendera merah-putih-merah dengan garis vertikal negara Andes, beserta atribut-atribut yang berisi slogan antipemerintah. Mereka melakukan long march menuju Ibu Kota Lima. Salah satu tuntutan rakyat adalah mendesak Presiden Pedro Castillo mundur dari jabatannya (CNN Indonesia.com, 06/11/2022).
Aksi protes tak hanya terjadi di Ibu Kota Lima, namun terus mengular ke beberapa kota lain, seperti Arequipa, Chiclayo, Cusco, dan Trujillo. Selain protes atas isu korupsi sang presiden, demonstrasi juga dilakukan lantaran rakyat sudah tidak tahan lagi dengan kondisi perekonomian negara. Diketahui, Peru saat ini juga menghadapi sejumlah masalah ekonomi dan lonjakan biaya hidup. Hal tersebut menjadi pemicu melonjaknya kemiskinan sebagai imbas pandemi Covid-19 (Tribunnews.com, 06/11/2022).
Lantas, siapa sejatinya Pedro Castillo hingga sukses melenggang sebagai presiden? Korupsi apa yang membelit sang presiden hingga diprotes rakyatnya? Adakah solusi hakiki untuk memutus korupsi hingga ke akarnya?
Dari Rakyat Jelata Melenggang ke Istana
Pedro Castillo sempat menggemparkan elite politik dan bisnis di negara yang sangat terpolarisasi tersebut. Lahir di sebuah desa kecil di salah satu daerah termiskin di Peru, Pedro Castillo awalnya menjalani profesi sebagai guru selama 25 tahun dan memimpin serikat pekerja. Castillo hampir tidak dikenal ketika dia meraih kemenangan mengejutkan di putaran pertama dan kedua pada pemilihan presiden, 28 Juli 2021 lalu.
Sayangnya kandidat favorit di antara para pemimpin bisnis, yakni Keiko Fujimori membantah hasil penghitungan suara pada putaran kedua. Keiko merupakan putri mantan diktator Peru, Alberto Fujimori. Walhasil, butuh waktu hingga enam minggu sebelum akhirnya Badan Pemilihan Tertinggi JNE menyatakan Pedro Castillo sebagai pemenang pemilu. Satu hal yang tidak biasa, Castillo adalah presiden pertama dalam sejarah modern Peru yang tidak memiliki hubungan dengan elite pemerintahan baik profesional, militer, maupun ekonomi.
Pedro Castillo merupakan presiden dari Partai Marxis-Leninis, Peru Libre. Dia berhasil memantik simpati banyak orang Peru karena sudah muak dengan korupsi yang membayangi politik negara itu selama bertahun-tahun. Dalam slogan kampanyenya yakni, "Tidak ada orang miskin di negara kaya", Castillo menargetkan kesetaraan. Dia pun mendorong dibuatnya konstitusi baru menggantikan konstitusi era kediktatoran Fujimori. Itu adalah prioritas dari partai sayap kiri. Dalam pandangan sosial-politiknya, Castillo mewakili citra keluarga konservatif yang menentang pernikahan sesama jenis. Namun, dia juga fokus pada eksploitasi sumber daya alam dan tidak terlalu mementingkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.
Korupsi 'Warisan’ Penguasa
Rakyat Peru ibarat keluar dari lubang singa lalu masuk lubang buaya. Sudahlah bebas dari satu rezim diktator dan korup, harus menelan pil pahit karena lagi-lagi dipimpin oleh rezim korup lainnya. Castillo yang baru setahun menikmati kekuasaan, kini dikepung persoalan korupsi. Tak tanggung-tanggung, Castillo harus menghadapi penyelidikan enam kasus korupsi sekaligus dan digugat atas plagiat tesis masternya.
Selain itu, dia juga diduga menghalangi keadilan terkait pemecatannya terhadap mantan Menteri Dalam Negeri Peru, Mariano Gonzalez. Mariano yang baru dua pekan menjabat dipecat karena mengizinkan pembentukan unit khusus kepolisian untuk menelusuri dan menangkap para sekutu presiden yang diduga melakukan kejahatan. Meski dikepung skandal, Castillo membantah telah melakukan korupsi. Dia bahkan telah dua kali selamat dari upaya pemakzulan.
Selain Castillo, mantan menteri lainnya telah menjadi buron selama berbulan-bulan, sedangkan Menteri Transportasi masih mempertahankan jabatannya meski hakim menuduhnya sebagai bagian dari "Organisasi Kriminal" bersama Castillo. Tak hanya itu, jaksa juga melarang istri Castillo, Lilia Paredes, bepergian ke luar negeri selama tiga tahun ke depan.
Ironisnya, kasus ini menjadi catatan sejarah pertama bagi presiden di Peru yang diperiksa oleh jaksa saat masih menjabat. Meski jaksa begitu agresif menjerat Castillo dan orang-orang dalam lingkaran kekuasaannya, mereka tetap tidak bisa menuntut atau menahannya selama dia masih menduduki jabatan sebagai presiden. Sebab dalam peraturan Peru, seorang presiden memiliki kekebalan dari penuntutan saat masih menjabat.
Peru kerap dikelilingi para penguasa yang ’mewarisi' skandal korupsi. Empat pemimpin sebelumnya juga berada dalam lilitan korupsi yang mengantarkan mereka dalam berbagai sanksi. Ada yang masuk penjara, berada dalam tahanan rumah, maupun harus menghadapi dakwaan yang berpotensi memasukkan mereka ke penjara di masa depan. Salah satunya adalah mantan Presiden Alberto Fujimori yang divonis 25 tahun penjara atas tuduhan penggelapan uang pemerintah, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran HAM.
Demokrasi Watak Korupsi
Korupsi ibarat wabah penyakit yang menjerat siapa pun tanpa pandang bulu. Tidak hanya menjerat satu negara, namun telah mengular ke semua sudut-sudut bumi tak terkecuali Peru. Aksi protes menuntut mundurnya Presiden Pedro Castillo yang menyebar di beberapa kota di Peru, sejatinya bukanlah solusi memberantas korupsi. Kendatipun Castillo dilengserkan karena korupsi, niscaya akan muncul rezim lainnya yang tetap berpotensi korup. Fakta ini juga terjadi di Republik Peru yang beberapa penguasanya terjerat korupsi.
Secara spesifik, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi. Pertama, faktor individu. Tak bisa dimungkiri jika ada individu-individu yang memang bermental korup dalam setiap masa. Namun, jika hanya individu yang korupsi, dia tidak akan mampu menghadapi kelompok yang bersih. Jika tetap nekat melakukan korupsi, dia akan mudah dihukum dan disingkirkan.
Kedua, faktor masyarakat atau lingkungan kerjanya. Jika masyarakat atau lingkungan kerjanya buruk, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh menjadi buruk dan melakukan korupsi. Betapa banyak orang yang awalnya bersih dan tak suka korupsi, kemudian menjadi buruk karena berada di lingkungan yang buruk pula.
Ketiga, sistem yang diterapkan menunjang korupsi. Sistem inilah yang membentuk budaya individu dan masyarakat atau lingkungan kerja. Sistem ini sangat berpengaruh terhadap tumbuh suburnya praktik-praktik korupsi.
Secara mendasar merajalelanya praktik korupsi terletak pada penerapan sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang mahal memang ditengarai menyuburkan praktik korupsi. Dalam ajang pesta demokrasi misalnya, para politisi yang butuh dana politik bertemu dengan pengusaha yang ingin mengembangkan bisnisnya. Pada titik inilah terjadi pertemuan kepentingan politik dan bisnis. Para politisi dan pengusaha akhirnya bersatu menjadi oligarki yang bekerja demi kepentingan mereka. Hal ini pula yang lumrah terjadi pada seluruh negara penganut sistem demokrasi. Dengan kewenangan politik dan kekuatan uang, mereka bahkan membuat undang-undang yang menguntungkan kepentingan masing-masing.
Islam Solusi Hakiki
Islam adalah agama paripurna yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Tak hanya mengatur perkara akidah dan akhirat, Islam juga mengatur dan memberi solusi terhadap urusan dunia. Salah satunya adalah solusi Islam membasmi korupsi dan menutup setiap celah terjadinya praktik korupsi. Korupsi yang sudah mendarah daging dengan sistem demokrasi tak cukup diputus hanya dengan mengganti rezim penguasanya. Meski penguasa terus berganti, potensi korupsi akan tetap ada selama sistem yang diterapkan tidak berubah.
Karena itu, memutus korupsi harus dilakukan dengan solusi fundamental. Dan solusi tersebut hanya dapat dilakukan oleh sistem Islam di bawah naungan Khilafah. Dalam menyelesaikan permasalahan korupsi, Khilafah menetapkan beberapa hal:
Pertama, menerapkan ideologi Islam. Penerapan ideologi Islam adalah ‘harga mati' yang tidak bisa ditawar. Sebab, tanpa ideologi yang berlandaskan akidah Islam, pemberantasan korupsi akan sia-sia. Dalam hal pemilihan pejabat negara misalnya, khalifah diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sesuai Al-Qur'an dan As-Sunah. Demikian pula dengan para pejabatnya yang diangkat hanya untuk melaksanakan syariat Islam.
Selain itu pengangkatan kepala daerah dan pemilihan majelis umat juga tidak berbiaya tinggi, namun tetap berkualitas dan memiliki sifat amanah. Model pengangkatan dan pemilihan yang murah dapat menekan terjadinya korupsi, suap, dan lainnya oleh perangkat negara. Namun, untuk mengatasi tindak kecurangan para pejabat ataupun pegawai, negara tetap menyiapkan seperangkat aturan.
Negara juga melarang para pejabatnya menerima harta ghulul (harta yang diperoleh dengan cara tidak syar'i, baik itu harta milik negara maupun masyarakat). Selain itu, negara juga akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum, disebutkan bahwa untuk mengetahui apakah pejabat di instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka akan dilakukan pengawasan yang ketat oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Kedua, takwa dan zuhud. Khilafah menetapkan takwa dan zuhud sebagai syarat utama di samping profesionalitas seorang pegawai ataupun pejabat. Dengan dasar takwanya seorang pegawai negara akan terhindar dari perbuatan tercela dan maksiat. Di samping itu, keimanan seorang pejabat yang kokoh akan membuatnya selalu merasa diawasi Allah Swt. dalam melaksanakan tugasnya. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Fajr ayat 14 yang artinya, "Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi …. "
Ketiga, penerapan politik ri'ayah. Negara menerapkan politik ri'ayah yang bertujuan mengurusi rakyat dengan maksimal dan sepenuh jiwa. Ketundukan seorang penguasa hanya ditujukan kepada Allah semata, bukan pada kepentingan oligarki dan para elite. Karena itu untuk menjamin totalitas dan loyalitas dalam mengurus rakyat, negara memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup para abdi negara.
Pemberian gaji tersebut sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Selain itu, Khilafah juga menerapkan politik ekonomi Islam yang menjamin terpenuhinya kebutuhan individu masyarakat secara murah. Sedangkan untuk kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, jalan, dan birokrasi, akan diberikan secara gratis oleh negara.
Keempat pemberian sanksi tegas dan efek jera. Sanksi dalam Islam mempunyai dua fungsi yakni sebagai penebus dan pencegah. Sanksi yang tegas akan memberikan efek jera terhadap para pelaku kejahatan sekaligus menjadi pencegah agar kasus tersebut tidak terulang. Karenanya hukuman tegas diterapkan mulai dari yang paling ringan seperti publikasi, hingga sanksi terberat yakni hukuman mati.
Khatimah
Korupsi dalam sistem demokrasi makin masif, terstruktur, beragam, brutal, bahkan tak terkendali. Penyakit bawaan sistem tersebut hanya bisa dituntaskan jika Islam dijadikan sebagai dasar dalam menyelesaikan persoalan korupsi. Bukan berarti dalam sistem Islam tidak akan terjadi korupsi. Kendatipun terjadi korupsi, itu hanya bersifat individual dan kasuistik, tidak akan terjadi secara sistemis. Seharusnya masyarakat dunia mengambil pelajaran bahwa cara-cara seperti demonstrasi hingga pemakzulan hanyalah upaya yang dapat mengganti rezim, namun tidak mampu memutus korupsi. Wallahu a'lam.[]