"Resesi dan kapitalisme ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain. Krisis pangan dan energi akan terus berulang selama kapitalisme dijadikan pijakan mengelola perekonomian. Problematik dunia tersebut sejatinya hanya mampu dihilangkan jika Islam dijadikan solusi mendasar untuk menyelesaikan permasalahan sistemis kapitalisme."
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti Narasipost.Com)
NarasiPost.Com- Inggris tengah menjadi pemberitaan banyak media. Bukan lantaran keberhasilannya mewujudkan pertumbuhan ekonomi, namun karena krisis akut yang membelit negara itu. Bahkan, krisis tak hanya mengoyak sektor energi, namun telah merembet ke sektor lainnya. Guncangan hebat terhadap ekonomi Negeri Ratu Elizabeth tersebut telah berdampak terhadap persoalan biaya hidup masyarakat yang kian mengkhawatirkan.
Lantas, apa sejatinya penyebab krisis yang menerjang Inggris hingga mengakibatkan kemiskinan akut? Mengapa krisis terus berulang di negara-negara penganut ekonomi kapitalisme? Adakah solusi menyelesaikan krisis global hingga ke akarnya?
Penyebab Krisis
Inggris merupakan negara maju yang perekonomiannya berorientasi pasar. Bahkan, Inggris didaulat menjadi negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia berdasarkan produk domestik bruto (PDB) nominal, urutan kesembilan terbesar berdasarkan PDB keseimbangan kemampuan belanja (KKB), serta peringkat ke-22 berdasarkan PDB per kapita, yang turut menyumbang 3,5 persen dari PDB dunia. (Wikipedia)
Sayangnya, gelar perekonomian kelima terbaik tak bisa menghindarkannya dari krisis parah. Dikutip dari cnbcindonesia.com (22/10/2022), Inggris mencatatkan inflasi hingga di atas 10,1 persen secara year on year (yoy) pada September lalu dan menjadi kenaikan tertinggi selama 40 tahun. Selain mengalami inflasi, nilai tukar poundsterling terhadap dolar AS pun menukik tajam hingga membuat impor komoditas ke negara itu makin mahal.
Beberapa di antara penyebab krisis yang melanda Inggris adalah:
Pertama, embargo atas minyak Rusia. Krisis ekonomi yang melanda Inggris memang tak semata karena energi, tetapi disebabkan pula oleh kisruh di pasar obligasi yang disebut memunculkan petaka finansial. Inflasi pun diperparah dengan lonjakan harga energi akibat tersendatnya pasokan setelah perang Rusia-Ukraina. Di mana, Inggris menjadi salah satu negara yang ikut mengembargo bahan bakar Rusia bersama negara Eropa lainnya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dukungannya terhadap Ukraina. Sayangnya, kebijakan embargo tersebut menjadi petaka bagi Inggris. Dengan diputusnya impor minyak dari Rusia, justru menyebabkan Inggris mengalami krisis serta naiknya bahan bakar.
Kedua, keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Britain Exit (Brexit). Alasan hengkangnya Inggris dari UE disebabkan adanya kebijakan yang disebut oleh Mantan PM Inggris, Boris Johnson, justru semakin mengikis kedaulatan Inggris, terutama kebijakan luar negeri. Misalnya, kebijakan mobilisasi warga Eropa yang dianggap mengancam peluang kerja bagi warga Inggris di negeri mereka sendiri. Sayangnya, keluarnya Inggris dari UE justru menyebabkan kekacauan yang luar biasa pada praktik perdagangan luar negeri kerajaan. Hal ini kemudian memperlambat ekonomi Inggris yang menyebabkan naiknya tingkat pengangguran.
Ketiga, rencana kebijakan kontroversial PM baru Inggris, Liz Truss, yakni akan memberikan pemotongan pajak sebesar US$48 miliar sebagai wujud stimulus ekonomi, tanpa pengurangan belanja negara. Hal ini justru membuat anjloknya nilai poundsterling dan melonjaknya suku bunga. Namun, rencana tersebut kemudian dibatalkan karena PM Lis mengundurkan diri pada Kamis, 20 Oktober 2022.
Dampak Krisis
Krisis menjadi problematik tak terhindarkan di negara-negara yang menggantungkan komoditas pangan dan energinya terhadap negara lain. Namun, pihak paling terdampak dari krisis yang melanda negara-negara di dunia adalah rakyat, tak terkecuali Inggris. Krisis Inggris menyisakan nestapa bagi rakyat akibat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa dampak krisis ekonomi terhadap rakyat Inggris adalah:
Pertama, melambungnya harga energi. Melambungnya harga bahan bakar dalam negeri Inggris terjadi setelah embargo atas minyak Rusia. Kenaikan tersebut semakin memperparah krisis hingga membuat banyak warga tak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih setelah otoritas energi Inggris, Ofgem, menaikkan tarif batas atas listrik rumah tangga hingga 3.549 pound atau Rp60,7 juta setahun. Padahal sebelumnya hanya berada pada posisi 1.971 pound atau setara Rp33,7 juta.
Kedua, anak-anak makan karet. Salah satu kisah memilukan akibat krisis yang melanda Inggris adalah anak-anak di sekolah tidak mampu membeli makan siang. Akibatnya mereka mengalami kelaparan akut hingga terpaksa makan karet atau bersembunyi di taman bermain sekolah. Diketahui, sejak terjadinya krisis, banyak keluarga di Inggris yang dilanda dilema. Sebab, mereka harus memilih antara membeli makanan atau menyalakan pemanas akibat mahalnya tagihan energi.
Ketiga, para perawat tidak makan di tempat kerja. Sebagaimana diberitakan oleh The Guardian pada Jumat (30/09/22), beberapa perawat di NHS melewatkan makan di tempat kerja demi memberi makan dan membelikan pakaian anak-anak mereka. Staf NHS pun tidak lagi mampu membayar biaya perjalanan untuk sif mereka. Bahkan, ada sebagian yang tidak mampu mengisi bensin untuk mobil mereka karena harganya yang melonjak. Fakta tersebut adalah dampak dari krisis biaya hidup pada pekerja layanan kesehatan di Inggris.
Keempat, beralih profesi sebagai PSK. Beratnya biaya hidup di Inggris memaksa banyak perempuan beralih profesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Mengutip data English Collective of Prostitution, jumlah perempuan yang berprofesi sebagai PSK meningkat sepertiga dari jumlah biasanya. Dalam laporan tersebut yang dikutip pada bulan lalu, disebutkan bahwa para PSK merupakan orang tua tunggal.
Resesi "Siklik" Kapitalisme
Resesi merupakan bagian integral dari sistem kapitalisme. Dalam berbagai buku pelajaran Pengantar Ilmu Ekonomi, disebutkan bahwa keadaan ekonomi suatu negara sangat ditentukan oleh sebuah pola yang disebut siklus ekonomi. Satu hal yang menarik, krisis ekonomi dalam sistem kapitalisme bersifat siklik, artinya semacam siklus yang terus berulang dalam jangka waktu tertentu. Siklus ini bermula dari kegiatan ekspansi ekonomi, lalu mencapai puncaknya, kemudian turun (mengalami resesi) hingga mencapai dasar, lalu berekspansi kembali. Dan begitu seterusnya. Siklus ini akan terus berulang, hanya berbeda-beda masa durasinya.
Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul Understending the depth of the 2020 global recession in 5 charts, terhitung sejak paruh kedua abad ke-19 (tepatnya tahun 1986) hingga saat ini, resesi ekonomi dunia telah terjadi tidak kurang dari 14 kali. (worldbank.org). Jika dihitung rata-rata, resesi ekonomi global terjadi setiap sepuluh tahun. Resesi terakhir terjadi ketika dunia diterjang pandemi Covid-19 pada 2020 silam. Kini, ekonomi dunia kembali harus merasakan hantaman resesi yang sangat berat.
Lazimnya, krisis ekonomi yang terjadi di seluruh dunia diawali dengan terjadinya krisis keuangan. Krisis tersebut bisa dalam bentuk krisis perbankan, mata uang, dan utang. Dalam laporan lainnya yang berjudul Global Economic Prospects edisi 22 Juni 2022, Bank Dunia juga menyebut bahwa sejak 1970 telah terjadi krisis keuangan setidaknya sebanyak 417 kali di negara dan pasar berkembang.
Hancurnya bangunan ekonomi di negara-negara penganut kapitalisme memang disebabkan oleh banyak pemicu. Namun, pemicu utama dari krisis ekonomi khas kapitalisme berada pada sektor moneter (nonriil) seperti bursa saham atau pasar modal, mata uang berbasis fiat money, bank ribawi, dll. Aktivitas ekonomi di sektor moneter inilah yang seringkali menciptakan "ekonomi balon", yakni sangat cepat membesar namun rentan pecah.
Sementara itu, adanya wabah maupun bencana alam hanyalah faktor penyebab yang bersifat tambahan. Dengan fakta terus berulangnya krisis di bawah kendali kapitalisme, tampaknya dunia butuh alternatif lain untuk terbebas dari fenomena krisis "siklik" yang terjadi terus-menerus. Alternatif terbaik untuk menggantikan kapitalisme adalah sistem ekonomi Islam.
Solusi Krisis Global
Islam adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan yang melanda dunia, tak terkecuali krisis. Islam memiliki pengaturan terbaik dalam hal mewujudkan ketahanan ekonomi dan energi negara. Pengaturan tersebut tergabung dalam Sistem Ekonomi Islam (SEI). SEI memiliki karakteristik khas yang tidak akan ditemui dalam bangunan kapitalisme. Meski bersifat sederhana, SEI memiliki daya tahan yang kukuh dari terjangan badai krisis. SEI lahir dari pandangan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah dalam rangka mengabdi kepada Sang Pencipta alam semesta, yakni Allah Swt.
Terkait permasalahan ekonomi, Islam memiliki pandangan bahwa problematik utama ekonomi terdapat pada persoalan distribusi, bukan produksi. Nilai-nilai dan cara pandang yang benar terhadap problematika ekonomi akan melahirkan dampak yang luas terhadap seluruh bangunan ekonomi. Pengaruh tersebut akan tampak dari arah dan tujuan pembangunan ekonomi, bagaimana pembangunan ekonomi dijalankan, serta siapa saja pihak yang mengemban tugas pembangunan tersebut.
Pertama, terkait arah dan tujuan (politik ekonomi). Islam menetapkan bahwa seluruh kebutuhan pokok individu masyarakat menjadi tanggung jawab negara yang wajib dipenuhi. Selain itu, negara juga memberikan peluang sebaik mungkin agar masyarakat bisa mengakses kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuan individu yang hidup dalam masyarakat dengan gaya hidup tertentu. Dengan penerapan politik ekonomi semacam ini, maka krisis seperti energi dan pangan dapat dicegah.
Kedua, pembangunan ekonomi difokuskan pada sektor riil. Sejarah telah membuktikan bahwa Sistem Ekonomi Islam tahan terhadap terjangan krisis. Dengan perangkat hukum terbaik yang dimiliki oleh SEI, fokus pembangunan ekonomi dititikberatkan pada sektor riil. Sektor ini menjadi satu-satunya yang boleh menawarkan keuntungan. Sementara itu, terkait dengan transaksi ribawi yang bersifat judi (seperti dalam pasar modal, valas, dan komoditas), maka Islam dengan tegas melarangnya.
Selain melahirkan produksi barang dan rekrutmen tenaga kerja, terfokusnya pembangunan di sektor riil akan membuka akses yang luas untuk memperoleh permodalan. Jika akses permodalan mudah didapatkan, maka tingkat produksi berjalan lancar yang akan berimbas pada keseimbangan pasokan dan permintaan barang di pasaran. Kondisi ini akan membuat inflasi tidak bergerak liar.
Pengaturan semacam ini memberi jaminan tidak terjadinya inflasi sebagaimana terjadi saat ini. Sebab, keseimbangan antara jumlah uang dan produksi barang dapat tetap terjaga. Di sisi lain, Islam pun menetapkan standar mata uang logam (dinar dan dirham) sebagai alat tukar, serta melarang siapa pun menimbun harta kekayaan. Kelebihan standar mata uang dinar dan dirham yang tidak dimiliki mata uang lainnya adalah kemampuannya menjaga nilai tukar mata uang hingga tetap stabil.
Ketiga, pihak pengelola dan pendorong roda perekonomian. Sebelum menentukan siapa yang lebih berpartisipasi menjalankan roda perekonomian, Islam terlebih dahulu membagi kepemilikan harta kekayaan menjadi tiga, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam perkara kepemilikan umum dan negara, maka pihak yang akan berperan aktif dan langsung untuk mengatur dan menjalankan pengelolaannya adalah negara. Sedangkan terkait harta kepemilikan individu, negara hanya akan melakukan pengawasan dan memberikan arahan agar kegiatan ekonomi dapat berjalan lancar dan adil sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Islam.
Pengaturan kepemilikan tersebut dilandaskan pada hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad yang artinya, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api." Dengan pengaturan semacam ini, tidak akan ada ceritanya perusahaan listrik negara mengalami krisis energi karena perusahaan tambang tidak mau menjualnya ke dalam negeri. Tidak ada pula ceritanya rakyat harus memakan karet karena tidak mampu membeli makanan. Walhasil, kekhawatiran akan terjadinya siklus krisis yang terus berulang tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Khatimah
Resesi dan kapitalisme ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain. Krisis pangan dan energi akan terus berulang selama kapitalisme dijadikan pijakan mengelola perekonomian. Problematik dunia tersebut sejatinya hanya mampu dihilangkan jika Islam dijadikan solusi mendasar untuk menyelesaikan permasalahan sistemis kapitalisme. Di bawah sistem ekonomi Islam, ketahanan pangan dan energi bukanlah ilusi.
Wallahu a'lam[]