Mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea dan di wilayah-wilayah lain tak mungkin bisa terjadi jika kerakusan kapitalisme masih merajai.
Oleh. Netty al Kayyisa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ketegangan mulai terasa di Semenanjung Korea setelah Korea Utara berambisi menambah kekuatan senjata nuklir eksponensialnya. Hal ini sebagai tidak lanjut dari arahan pemimpin Kim Jong Un yang mengatakan Korut harus menyiapkan kemampuan nuklir dan menggunakannya di waktu tertentu. Bahkan, Kim Jong Un juga menyerukan penambahan sentrifugal baru untuk memproduksi lebih banyak materi demi bom nuklir.
Hal ini dilakukan oleh Korut mengingat Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat menjalin kerja sama di bidang militer. Mereka pun kerap melakukan latihan gabungan. Latihan gabungan ini dianggap sebagai langkah awal untuk menginvasi Korut sehingga Korut harus menyiapkan diri dari invasi tersebut.
Di sisi lain, apa yang dilakukan Korut dianggap sebagai ancaman perdamaian di kawasan tersebut. Selama ini Korut sering melakukan uji coba rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak nuklir dalam beberapa tahun terakhir. Ketika Korut berencana menambah kekuatan senjata nuklirnya, ini berarti akan lebih sering terjadi uji coba rudal dan mengancam perdamaian di Kawasan Semenanjung Korea.
Ketegangan Semenanjung Korea, Siapa yang Mendamaikan?
Menyikapi ketegangan yang berlangsung di Semenanjung Korea ini, Duta Besar Korsel untuk ASEAN Lee Jang Keun, sebagaimana yang dilansir di cnnindonesia.com (14-9-2024), berharap blok Asia Tenggara ini berperan dalam perdamaian di Kawasan Semenanjung Korea dengan memberikan pesan yang jelas dan tegas kepada Korut. ASEAN dinilai memiliki kekuatan untuk melakukan hal tersebut. Hal ini mengingat posisi ASEAN yang memiliki kekuatan ekonomi urutan ke-30 dunia yang wajib diperhitungkan. Dan bagi Korut ketika ASEAN berbicara, maka kemungkinan akan didengar karena Korut tidak mungkin meninggalkan ASEAN sebagai partner kerja sama selama ini.
Lee juga mengatakan jika ASEAN perlu menegakkan nilai-nilai dan norma-norma bersama, hukum internasional, kepercayaan dan keyakinan bersama, dialog dan kerja sama yang inklusif untuk mengatasi tantangan yang muncul. Untuk kondisi yang terjadi di Semenanjung Korea ini, dialog merupakan kunci untuk menstabilkan kawasan, bukan provokasi. Selama ini pihak Korsel mengeklaim siap berdialog dengan Korut, tetapi Pyongyang kerap menolak upaya negosiasi itu. Di sinilah diharapkan adanya peran ASEAN terlebih Indonesia untuk bisa menjadi mediator dalam dialog tersebut.
Indonesia dengan presiden baru yang akan dilantik pada Oktober 2024, dianggap memiliki peluang besar untuk menjadi mediator mengingat presiden baru Prabowo Subianto sebelumnya adalah Menhan yang memiliki kecenderungan aktif di politik luar negeri.
Perdamaian di Semenanjung Korea, Akankah Terwujud Nyata?
Konstelasi perpolitikan dunia dalam memperebutkan posisi sebagai negara pertama, sejak zaman dahulu dilakukan dengan aktivitas militer dengan jalan perang, pertempuran, dan pengurangan tapal-tapal batas negara. Hal ini berubah sejak abad ke-15 dengan munculnya Konvensi Internasional dan dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1919 sebagai cikal bakal PBB. Hingga pada pertengahan abad ke-18 M, perluasan undang-undang internasional dalam bentuk undang-undang dan hukum menjadikan aktivitas politik menjadi aspek penting dalam hubungan internasional dan pemecahan masalah-masalah internasional.
Konvensi internasional sendiri sebenarnya juga sudah ada sejak zaman dahulu. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Islam ketika saraya Abdullah bin Jahsy dikecam oleh masyarakat Arab karena melakukan serangan pada bulan haram. Hanya saja konvensi ini tidak dalam bentuk sebuah undang-undang dan hanya sanksi moral yang didapatkan ketika ada negara yang melanggar. Sementara ketika konvensi dijadikan sebuah undang-undang dan berupa hukum yang mengikat, maka ini dijadikan alat bagi negara pertama untuk menguasai dunia, bahkan dialah yang berhak menghukum negara yang melanggarnya.
Dengan memahami kondisi ini, maka menjadi hal yang wajar bagi Korut untuk mempersiapkan perang karena keinginan untuk menjadi negara nomor satu di dunia. Sebaliknya, di satu sisi AS sebagai negara adidaya tidak menginginkan posisinya sebagai negara pertama tergeser. AS juga tidak akan mengotori tangannya dengan menyerang Korut terlebih dahulu ketika ancaman belum benar-benar di depan mata. AS sebagai polisi dunia tidak akan menampakkan pelanggarannya pada konvensi internasional yang mengharuskan setiap negara berperan aktif menjaga perdamaian dunia dengan menyerang Korut. Meski pada beberapa kondisi tetap saja AS akan melakukannya jika dinilai telah tiba waktunya.
Maka jalan satu-satunya untuk tetap mewujudkan perdamaian di kawasan Semenanjung Korea adalah menggandeng Korsel sebagai sekutu AS. Hal ini dilakukan untuk membujuk ASEAN berada dalam pihak mereka juga, sehingga mencegah Korut untuk melakukan perang. Karena banyak negara yang menentang persiapan perang yang dilakukan Korut. Jika Korut tetap bersikukuh melakukan penyiapan perang, bahkan melakukan perang di Semenanjung Korea, maka Korut harus siap menghadapi seluruh negara di dunia di bawah kepemimpinan AS.
Jika Korut menghentikan penyiapan perang dan senjata nuklirnya, perang tetap tak akan bisa dihindari. Karena sejatinya AS akan terus menganggap negara yang berseberangan dengannya adalah musuh nyata. Tinggal menunggu waktu untuk menaklukkannya baik lewat perang maupun lewat dominasi di negara tersebut. Untuk kondisi Korut, tidak akan mudah ditundukkan oleh AS hanya dengan dominasi politik, ekonomi, maupun serangan-serangan diplomasi. Korut hanya bisa ditaklukkan dengan perang. Dan akan menjadi sebuah keniscayaan munculnya perang pada masa mendatang.
Sistem Kapitalisme Mencegah Perdamaian Dunia
Persaingan memperebutkan posisi sebagai negara pertama dan berkuasa di negara-negara lain akan terus berlangsung. Pada sistem kapitalisme yang berlaku hari ini, tidak ada sekutu abadi. Negara-negara besar yang memiliki kekuatan hampir sama dengan negara adidaya saat ini tetap akan melihat peluang untuk menjadi yang pertama. Maka prinsip tidak ada teman dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi sangat cocok menggambarkan dunia kapitalisme hari ini.
Dengan prinsip seperti ini, konsep perdamaian dunia yang didengungkan dan dijaga lembaga internasional tidak akan terwujud nyata. Perdamaian hanya sebuah ilusi menjaga kepentingan negara adidaya dan sekutunya. Ketika kepentingan negara adidaya terusik, maka perang akan tetap berlangsung dengan berbagai alasan. Sebagaimana yang terjadi pada kasus serangan terhadap Irak, Afganistan dan beberapa negeri muslim pada abad ini.
Jadi, sebesar apa pun peran negara yang ada hari ini, jika posisinya bukan negara pertama dan bukan negara yang independen, maka tidak akan bisa memengaruhi konstelasi politik internasional yang ada. Bahkan, peran dalam politik internasional hanya sesuai kehendak penguasa dunia saat ini. Begitu juga peran ASEAN dalam ketegangan di Semenanjung Korea, tidak akan menyimpang dari kehendak negara adidaya.
Negara Islam dan Perdamaian Dunia
Negara Islam mengemban kewajiban menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, sekaligus menjaga wilayahnya dari intervensi negara lain. Ketika mendakwahkan Islam, memungkinkan negara Islam berhadapan dengan penghalang fisik seperti militer di negara tersebut. Penguasa yang ingin melindungi kepentingannya dan sebagainya, maka nagara Islam harus menghilangkan penghalang fisik ini dengan perang.
Baca: Kapal Perang Amerika Serikat Merapat-di Korsel Ada Apa
Hanya saja perang yang dilakukan negara Islam bukan perang dalam rangka menguasai sebuah wilayah, mengambil kekayaan alam negara tersebut, dan menindas rakyatnya. Akan tetapi sebatas menghilangkan penghalang fisik di depan dakwah Islam. Perang yang menjadikan negara yang tunduk di bawah kekuasaan Islam mendapat kesejahteraan yang sama sebagaimana warga negara yang lain.
Begitu sebuah negara telah tunduk di bawah panji Islam, maka negara Islam akan menjaga keamanan wilayah tersebut dan memastikan negara tersebut tidak lepas dari naungan Islam. Dalam Islam ada syariat tentang ribat yang dilakukan di perbatasan wilayah negara Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 200;
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اصۡبِرُوۡا وَصَابِرُوۡا وَرَابِطُوۡا وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ
”Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Dengan ribat, wilayah-wilayah perbatasan negara Islam akan terjaga dari invasi negara lain dan menjamin keamanan wilayah tersebut. Negara Islam juga akan selalu mempersiapkan persenjataan untuk menggentarkan musuh-musuh Islam sebagaimana yang diperintahkan Alah dalam surah Al-Anfal ayat 60. Menunjukkan kekuatan ini bertujuan untuk menggentarkan musuh-musuh Islam sehingga mereka mau tunduk tanpa adanya peperangan. Negara kafir di luar negara Islam akan dengan sukarela bergabung di bawah royah Islam.
Khatimah
Ketegangan kawasan Semenanjung Korea dan wilayah-wilayah lainnya tak bisa terlepas dari dominasi negara besar yang ingin menguasai sebuah negara lewat perang. Menjadi satu hal yang wajar sebuah negara menyiapkan diri dengan kekuatan militer, karena hal itu adalah salah satu yang menunjukkan posisi negara di kancah internasional. Hanya menjadi masalah jika perang yang dilakukan penuh dengan kerakusan untuk menguasai sebuah negara yang kalah perang. Seharusnya berkaca pada negara Islam yang melakukan perang untuk medakwahkan Islam dan menyebarkan kebaikan, sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lambisawab. []
Pandangan dan asas yang mendasari terkait aktivitas perang akan membedakan antara bagaimana kapitalisme dan Islam memandang.
Islam luar biasa. Indah dan penuh kebaikan. Hatta dalam persoalan jihad.
Betul bun. Hanya Islam yang bisa mewujudkan perdamaian dunia
Korsel dan Korut, dua negara yg aslinya bersaudara jadi terpecah, terpisah dan terus berkonflik. Ini tidak terlepas dari kepentingan negara adidaya yg ingin terus mempertahankan dominasinya dengan ideologi kapitalismenya.
Kapitalisme memecah belah negara2, memunculkan persaingan dan kerakusan, serta ambisi untuk berkuasa dengan melakukan segala cara. Akibatnya, dunia diliputi perpecahan dan konflik.
Beda halnya dengan Islam yg menyatukan dalam satu aturan yg tepat dan memberi maslahat bagi semua.
Makanya back to islam ajah. He he
Sejatinya kaum Muslim, memang diwajibkan berjihad, karena peperangan tidak akan pernah berakhir sampai hari kiamat ya...
Na'am ning geulis. Terima kasih sudah mampir.
Hanya peperangan dalam Islam yang memiliki tujuan mulia bagi negara yang diperangi, yaitu membebaskan dari kejahiliahan menuju kehidupan mulia.
Benar. Sayang tidak semua muslim tahu bahkan cenderung menghindar ketika berbicara perang dalam sudut pandang islam. Terima kasih mbak sudah mampir
Hebat euy, analisisnya, Ustazah Netty. Saya masih berusaha mencerna setelah membaca artikelnya.
Barakallahu fiik.
Aamiin, wa fiik baarakallahu... Terima kasih teh sudah mampir
Jazakillah khoir tim NP sdh menayangkan artikel ini.