“Namun, Arab telah gelap mata. Mereka lupa sejarahnya sendiri, bahkan tergiur dengan hidup model ala Barat yang mengusung sistem kapitalisme dengan jargonnya untuk memberikan kehidupan yang bebas namun jauh dari landasan syariat.”
Oleh. Mariam
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Syekh Saleh Al-Thalib seorang Imam Masjidil Haram baru-baru ini menjadi sorotan media usai dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh pemerintah Arab Saudi. Dikutip dari Al-Jazeera yang melaporkan bahwa pengamat hak asasi manusia menduga jika Al- Thalib ditangkap karena salah satu khotbahnya yang mengkritik kebijakan pemerintah yang diterapkan.
Dalam khotbahnya itu, Al-Thalib dilaporkan mengkritik keputusan Arab Saudi yang mengizinkan lelaki dan perempuan yang bukan mahram berbaur di satu tempat. Memang sejak 2017, Arab Saudi kerap kali menangkap imam dan aktivis yang mengkritik kerajaan, dan Al-Thalib hanya salah satu di antaranya. (CNNIndonesia.com, 24/8/2022)
Mengutip dari Middle East Monitor, sebagian aktivis mengungkapkan bahwa kebanyakan ulama yang ditangkap rata-rata mereka membicarakan tentang kebangkitan Islam. Menurut pihak yang berwenang, mereka selalu menyerukan untuk memasukkan aturan Islam ke dalam kehidupan sehari-hari dalam khotbahnya kepada warga Arab Saudi. Polisi menuduh jika para cendekia ini seolah memaksakan interpretasi agama yang ketat kepada masyarakat, otoritas pun selalu menghubungkan hal ini dengan perilaku kelompok ekstremisme dan kelompok-kelompok militan. (CNBCIndonesia.com,27/8/2022)
Mengapa Negara Arab Melakukan Hal Demikian?
Tindakan keras terhadap para ulama dan cendekiawan muslim memang telah lama diterapkan sebagai upaya untuk menghentikan pengaruh yang mereka gaungkan kepada masyarakat, karena mereka adalah suara utama untuk memengaruhi dan memberikan kebenaran kepada warga Arab Saudi. Hal ini merupakan inisiatif dari kebijakan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dengan upayanya untuk memodernisasi kerajaan Arab Saudi menuju liberisasi tanpa terkekang lagi oleh aturan agama.
Putra mahkota ini memiliki semangat juang untuk membawa Arab Saudi pada perubahan yang lebih modern dan transformatif, sebab selama ini Arab Saudi terkenal cukup konservatif dan menjunjung tinggi kebebasan berasasi. Dulunya bahkan perempuan sama sekali tidak boleh menyetir, namun mulai perlahan Mohammed bin Salman banyak mengeluarkan kebijakan agar aturan tersebut dicabut, termasuk dalam urusan berpakaian kini pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan agar perempuan boleh memilih pakaian apa saja yang menurutnya nyaman dan sopan. Bahkan, kini Arab Saudi telah terang-terangan untuk memperbolehkan wanita berbusana bikini dan membuka konser musik internasional.
Hingga yang paling menggemparkan, kebijakan pada tahun 2019 Arab Saudi merangkul pasangan belum menikah untuk tinggal sekamar dengan landasan pemulihan pariwisata, para wanita saat ini bisa bebas memilih hidup sendiri dan diperizinkan untuk mengganti namanya tanpa izin wali. Dan untuk terus melanggengkan kebijakannya, putra mahkota kini banyak menangkap para ulama untuk menghentikan pengaruh ajaran Islam kepada masyarakat Arab.
Upaya ini dilakukan karena visi misi dan Mohammed bin Salman ini adalah untuk memberikan kebebasan dan menuju modernisasi kerajaan Arab menjadi Eropa Timur Tengah yang mengusung ide kebebasan dan liberal.
Arab Bukan Negara Islam!
Melihat fakta yang telah dipaparkan, jauh sekali dengan penerapan syariat Islam. Sejatinya negara Arab saat ini bukanlah negara Islam, memang Islam lahir di Makkah melalui Nabi Muhammad saw. yang juga merupakan orang Arab, bahkan pendirian negara Islam pertama memang di Madinah Saudi Arabia. Namun, Arab telah gelap mata. Mereka lupa sejarahnya sendiri, bahkan tergiur dengan hidup model ala Barat yang mengusung sistem kapitalisme dengan jargonnya untuk memberikan kehidupan yang bebas namun jauh dari landasan syariat.
Maka tidak aneh jika tabiat penguasa saat ini yang terpengaruh oleh sistem sekuler-kapitalis adalah senantiasa ingin menjaga agar kekuasaan mereka tidak terusik oleh siapa pun. Sistem ini dibangun dari perspektif untuk memisahkan agama dari kehidupan, sehingga orientasi utama dalam kehidupan ini akan tertuju kepada pemuasan materi. Akhirnya, kekuasaan dari sistem ini bukan untuk mengurus umat sebagaimana yang diperintahkan oleh syariat, namun dimanfaatkan sebagai alat kepentingan individu atau kelompok untuk meraih keuntungan. Maka segala bentuk yang bisa mengancam eksistensi kekuasaan tidak akan mereka biarkan dan berkembang semakin meluas hingga bisa membentuk opini masyarakat, sekalipun itu harus menangkap banyak ulama.
Padahal, syariat Islam telah mengajarkan untuk menempatkan para ulama kepada posisi yang mulia, Allah Swt. berfirman: “Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Kemuliaan ulama ini diperjelas oleh hadis Rasulullah saw. “Sungguh ulama adalah pewaris nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmu itu, maka dia telah mendapatkan bagian terbanyak (dari warisan para nabi).” (HR. Tirmidzi)
Menurut Ibnu Katsir dan Sayyid Quthub menjelaskan bahwa peran ulama adalah menyampaikan ajaran sesuai Al-Qur’an, memperjelas makna dan kandungan isi Al-Qur’an, serta menyelesaikan permasalahan dan problematik agama di masyarakat. Namun dalam cengkeraman sekuler-kapitalis ini, ulama tidak diberikan ruang untuk melaksanakan perannya terlebih melakukan nahi mungkar. Ulama hanya diperbolehkan memberikan tausiyah yang menyenangkan dan jauh dari urusan pemerintahan
Negara Islam Perlu Kembali Diterapkan
Hal ini sangat berbeda, jika kekuasaan dibangun dari segi perspektif akidah Islam dalam naungan sebuah negara bernama Khilafah Islamiah. Peran ulama maupun rakyat sangat dibutuhkan untuk melakukan check and balance, dan dalam negeri Khilafah ulama akan sangat dimuliakan dan menjadikan mereka sebagai sumber rujukan untuk mengatasi berbagai urusan kehidupan. Bukan hanya urusan akidah, ibadah dan akhlak. Namun, diajarkan pula untuk mengatasi berbagai urusan perpolitikan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Para Khalifah senantiasa selalu dekat dengan ulama dan mendengarkan nasihat dari mereka.
Seperti Sultan Muhammad Al-Fatih yang memiliki kebiasaan di bulan Ramadan untuk selalu datang ke istananya setelah salat zuhur bersama rombongan ulama ahli tafsir Al-Qur’an dengan maksud memberikan nasihat kepada para penguasa. Mereka akan memperhatikan dan menerima nasihat tersebut untuk diaplikasikan ke dalam ranah kehidupan maupun kebijakan dalam roda pemerintahan.
Dalam sejarah kekhilafahan banyak para ulama yang bersikap kritis terhadap penguasa, bukan karena oposan tetapi karena keinginan kuat agar syariat Islam tetap selalu on the track tidak keluar dari jalurnya. Muawiyah sahabat nabi ketika beliau menjabat sebagai khalifah, kebijakannya dikoreksi oleh Abu Muslim Al-Khaulani di depan publik karena dianggap salah dalam pembagian ganimah. Kritik itu dibalas dengan diam hingga Muawiyah pergi dan masuk ke rumah, lalu mandi dan kembali keluar menemui khalayak lalu mengatakan bahwa apa yang dikatakan Abu Muslim adalah benar.
Sejatinya memang para ulama dihormati dan dijunjung tinggi oleh umat Islam, mereka berada di barisan terdepan dalam menghadapi ujian dan cobaan. Mereka percaya dengan sabda Rasulullah saw. bahwa: “Sekelompok umatku akan tetap menjalankan perintah Allah dan tidak peduli orang yang menentangnya.” (HR. Ibnu Majah)
Walaupun ajaran Islam begitu mulia dan berperan penting untuk mengevaluasi kekuasaan, namun semua ini akan menjadi teori semata jika pemegang kekuasaan masih berpegang teguh pada sistem kapitalisme. Maka dari itu, kita perlu kembali berjuang untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi dengan membentuk sebuah negara yang berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunah yakni Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]
arab saudi makin menunjukkan sikap anti kritiknya apalagi yang menyenggol terkait pemerintahan, tidak peduli dengan adabnya kepada ulama, dibabat juga. Astaghfirullah,