"Wajah moderat Saudi semakin terlihat, terlebih setelah tampuk kekuasaan dipegang oleh Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) yang diangkat sebagai putra mahkota sekaligus pemimpin de facto kerajaan Saudi sejak 2017 silam. MbS yang menggantikan sepupunya Mohammad bin Nayef, tampaknya semakin getol 'mengimpor' kebijakan yang akan membuat negara tersebut lebih moderat."
Oleh. Sartinah
(Tim Inti Narasipost.Com)
NarasiPost.Com- Arab Saudi terus mengubah 'wajahnya' ke arah sekularisasi. Pelan tetapi pasti negara yang berjuluk 'petro dolar' tersebut mulai melakukan gebrakan di dalam negerinya untuk menjadi negara yang lebih moderat. Sayang seribu sayang, kebijakan sekuler yang dikeluarkan pemerintah Saudi justru terus memakan 'tumbal', baik dari kalangan ulama, aktivis, maupun masyarakat sipil yang mengkritiknya.
Kritik Berujung Bui
Salah satu ulama yang menjadi sorotan karena berita penangkapannya oleh pemerintah Arab Saudi yaitu Syekh Saleh Al-Thalib. Beliau ditangkap pada 2018 silam dan baru-baru ini dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara. Sayangnya, sejak vonis dijatuhkan, tidak pernah jelas kasusnya dan pelanggaran apa yang dilakukan oleh Syekh Thalib.
Namun, pengamat hak asasi manusia menduga penangkapan Al-Thalib terkait dengan salah satu isi khotbahnya, sebagaimana dilaporkan oleh Al Jazeera. Dalam khotbahnya, Al-Thalib dilaporkan telah mengkritik kebijakan pemerintah Saudi yang mengizinkan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berbaur di satu tempat.
Al-Thalib yang pernah menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Makkah itu disebut-sebut acapkali mengkritisi kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah Saud. Di antaranya tentang pendudukan Israel di Palestina, menutup lembaga keagamaan untuk diganti tempat hiburan, termasuk soal perbaikan hubungan Saudi dengan Israel. Kritiknya memuncak pada 2018 silam saat ia menyampaikan khotbah yang berujung pada penangkapannya. Ia pun akhirnya melepaskan jabatan sebagai imam Masjidil Haram yang sudah dipegangnya sejak 2003. (cnnindonesia.com, 24/08/2022)
Syekh Al-Thalib tidak sendirian. Salah satu ulama lainnya yang juga ditangkap karena kritiknya terhadap kebijakan Saudi adalah Omar Abdullah al-Saadoun. Al-Saadoun ditangkap karena kritiknya terhadap kebijakan larangan mengeraskan suara azan. Dalam sebuah opininya, Al-Saadoun mengatakan jika volume pengeras suara dikecilkan, rumah-rumah tak lagi mendengar kajian dan lantunan ayat Al-Qur'an. Lebih mengkhawatirkan lagi, kebijakan tersebut akan melemahkan motivasi orang untuk melaksanakan salat Jumat. (suara.com, 04/08/2021)
Kebijakan Sekuler
Wajah moderat Saudi semakin terlihat, terlebih setelah tampuk kekuasaan dipegang oleh Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) yang diangkat sebagai putra mahkota sekaligus pemimpin de facto kerajaan Saudi sejak 2017 silam. MbS yang menggantikan sepupunya Mohammad bin Nayef, tampaknya semakin getol 'mengimpor' kebijakan yang akan membuat negara tersebut lebih moderat.
Beberapa kebijakan sekuler MbS yang menyulut kontroversi karena dinilai melanggar syariat Islam, di antaranya:
Pertama, gelaran tari Samba. Di era MbS, pemerintah memang mengeluarkan kebijakan yang membolehkan pagelaran konser, festival, dan pembukaan bioskop. Salah satunya dengan ditampilkannya tari Samba pada Festival Musim Dingin Jazan di Saudi. Dalam sebuah video yang beredar di sosial media, terlihat tiga orang asing yang sedang menari Samba di jalanan utama Jazan, plus dengan pakaian tradisi Brazil yang berwarna dan terbuka di bagian tangan, kaki, dan perut. Gelaran tersebut pun menyulut polemik karena para penari dinilai berpakaian terlalu terbuka.
Kedua, mencabut peran polisi syariat. Polisi syariat sebelumnya bertugas menegakkan aturan hukum yang sejalan dengan syariat Islam. Mereka turut memantau kehidupan sosial masyarakat termasuk pembatasan terhadap laki-laki dan perempuan. Pembatasan tersebut kini mulai dilonggarkan, terutama menyangkut hak-hak perempuan. Namun, otoritas Saudi kini mengaborsi semua hak prerogatif polisi syariat hingga mereka tidak lagi memiliki peran yang jelas.
Ketiga, perayaan Natal secara terbuka. Perayaan Natal di Saudi yang biasanya senyap, ketat, dan tertutup, kini berubah drastis dan semakin semarak di bawah kepemimpinan Muhammed bin Salman. Saat Natal tiba, dari kafe hingga restoran berubah menjadi negeri musim dingin, manusia salju berhiaskan berlian, dekorasi, serta ornamen yang diperjuabelikan. Tak ketinggalan, para ekspatriat di kerajaan pun turut merayakan Natal bersama.
Keempat, bebas menggunakan bikini di pantai tertentu. Saat ini, bikini tak hanya berlaku di Barat saja. Arab Saudi yang dulu dikenal konservatif, kini mulai melonggarkan beberapa aturan yang salah satunya bebas memakai bikini. Salah satu kawasan yang membolehkan pemakaian bikini adalah King Abdullah City. Di kawasan pesisir King Abdullah Economic City juga disebut membolehkan turis yang datang berpasangan, meskipun bukan suami-istri. Bahkan, di kompleks hotel dan jalanan, para wisatawan juga boleh memakai pakaian renang. Tak hanya soal bikini, MbS juga membuat aturan lain yang memberi kebebasan perempuan di tempat publik.
Kelima, membangun kota 'berhantu' menjadi tempat wisata. Pemerintah Saudi bahkan mengubah tempat yang dahulu dihindari oleh Nabi Muhammad saw., Al Ula dan Mada'in Saleh menjadi tempat wisata. Pemerintah Saudi bahkan rela menggelontorkan dananya sebesar US$15 miliar atau Rp214 triliun demi membangun Al Ula. Padahal dalam sejarahnya, orang Arab sendiri jarang mengunjungi tempat itu. Bahkan, terdapat kisah ketika Nabi saw. lewat di tempat itu. Beliau tidak minum air daerah itu, bahkan bergegas meninggalkan daerah tersebut tanpa menoleh kanan dan kiri.
Itu hanya beberapa kebijakan MbS yang dinilai tidak sejalan dengan syariat Islam. Sejatinya masih banyak kebijakan serupa yang diambil otoritas Saudi demi ambisi sekularisasi negeri itu. Benarkah pemerintah Saudi adalah negara Islam tetapi antikritik? Apa alasan MbS getol mengimpor kebijakan sekuler yang jauh dari Islam? Bagaimana pula sebuah negara terkategori sebagai negara Islam yang menerima kritik?
'Vision' 2030, Menuju Negara Moderat?
'Visi 2030' yang disahkan pada 2015 lalu adalah visi untuk mengurangi ketergantungan negara pada minyak dan membuka sumber pendapatan baru. Visi tersebut juga merupakan kunci untuk memodernisasi Saudi. Dalam sebuah forum untuk para investor asing di Riyadh, MbS dengan lugas mengemukakan bahwa Arab Saudi ingin kembali ke era dahulu, yaitu kembali ke 'Islam moderat'. Jelas saja Islam moderat yang dimaksud MbS adalah mau menerima pluralisme, kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme, dan civil society.
MbS pun bertekad menghapus sisa-sisa ekstremisme. Namun, ekstremisme yang dia maksud yaitu Arab Saudi sebelum 1979, ketika terjadi revolusi Islam di Iran dan Masjidil Haram diduduki oleh para militan. Imbas dari revolusi tersebut adalah diberlakukannya kebijakan pelarangan hiburan umum. Para ulama pun memiliki hak lebih banyak untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Demi mewujudkan 'Vision 2030' tersebut Arab Saudi terus meliberalisasi sektor agama, sosial, dan ekonomi. Dalam urusan agama misalnya, MbS terus mengaborsi hukum-hukum syariat yang dianggap kaku dan mengekang kebebasan, utamanya bagi kaum perempuan. Dalam sektor sosial, MbS banyak melakukan kebijakan yang melonggarkan interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, membolehkan turis yang bukan mahram menginap sekamar di hotel.
Dalam bidang ekonomi, MbS memiliki program ambisius untuk menjadikan Saudi masuk dalam kelompok lima belas negara perekonomian terbesar di dunia melalui diversifikasi ekonomi nonminyak bumi. Sektor tersebut yaitu hiburan dan periwisata yang akan menjadi alternatif baru bagi pendapatan negara.
Sekularisasi Berbalut Tirani
Meskipun Arab Saudi terus meliberalisasi sektor ekonomi, sosial, dan agama, tetapi untuk sektor politik tidak ada keterbukaan sedikit pun. Kebebasan dalam bidang politik (dalam arti kebebasan berpendapat) justru tidak mendapat ruang sejengkal pun. Hal ini dibuktikan dengan penangkapan para ulama dan aktivis yang mengkritik kebijakan kerajaan. Siapa pun yang berseberangan dengan pendapat penguasa, maka terancam masuk bui.
Ini artinya upaya menjadi negara yang sepenuhnya moderat justru tidak sejalan dengan kebijakan dalam negerinya yang masih represif terhadap kritikan rakyat. Saudi sepertinya hanya ingin dianggap terbuka terhadap dunia luar, namun di dalam negerinya kebebasan masih menjadi harga mahal bahkan tidak memiliki ruang.
Sang sekutu, AS, melalui mantan Presiden Donald Trump, bahkan pernah menegaskan tentang larangan mengkritik MbS. Trump mengatakan, kritikan terhadap MbS adalah 'garis merah' yang tidak boleh dilanggar. Fakta tersebut justru kian menegaskan bahwa Arab Saudi adalah negara sekuler yang berbalut tirani, bukan negara Islam sebagaimana anggapan dunia selama ini.
Tirani penguasa Saudi juga tampak dari laporan rahasia intelijen AS yang menyebut jika MbS terlibat dalam pembunuhan wartawan senior Saudi yang diasingkan, Jamal Khashoggi, pada 2 Oktober 2018. Jamal memang dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah Saudi. Meskipun akhirnya MbS menolak semua tuduhan tersebut.
Inilah wajah asli Saudi di bawah sistem demokrasi kapitalisme. Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, nyatanya tak selalu mampu mengelola kritik rakyat terhadap para pejabat maupun penguasanya. Di bawah naungan demokrasi, Saudi justru menjadi agen Barat untuk mengaborsi syariat Islam.
Karakter Negara Islam
Jika demokrasi tak sejalan antara slogan dan implementasinya, berbeda halnya dengan Islam. Islam yang diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah, dibangun berlandaskan akidah Islam. Dengan landasan akidah inilah peraturan ditegakkan dalam semua aspek dan terhadap seluruh manusia. Inilah karakter negara yang berlandaskan syariat Islam dan menjadi model negara terbaik sepanjang peradaban manusia.
Dalam perkara kritik atau menasihati pajabat maupun penguasa, Khilafah memberi ruang seluas-luasnya kepada siapa pun. Tidak hanya bebas memberi kritik, rakyat pun akan dilindungi kehormatan dan pribadinya tanpa ada ancaman sedikit pun. Fakta ini dapat disaksikan selama masa kegemilangan Islam tiga belas abad yang lalu.
Dr. Muhammad ash-Shalabi dalam The Great Leader of Umar bin al-Khaththab menjelaskan bahwa pada masa Khalifah Umar pernah terjadi pengaduan rakyat Mesir kepada sang khalifah atas perbuatan Gubernur Mesir Amr bin al-Ash. Mendengar pengaduan tersebut, Khalifah Umar segera meneliti permasalahan sebenarnya untuk mengetahui siapa yang salah dan benar. Khalifah sangat memperhatikan betul apa yang diadukan rakyatnya dan akan menegakkan keadilan seadil-adilnya.
Di mata Umar, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Jika pejabatnya bersalah, maka Umar tak segan-segan untuk menindaknya. Bahkan, Umar sangat mengapresiasi apabila ada rakyat yang berani mengadukan pejabatnya, baik tentang perilaku maupun kebijakannya. Karena itu, Gubernur Amr bin al-Ash sangat khawatir akan pengawasan Khalifah Umar terhadap dirinya. Gubernur Amr sangat menyadari jika Khalifah Umar menginginkan dirinya dapat menegakkan keadilan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Dikisahkan, suatu hari putra Khalifah Umar yakni Abdurrahman dan satu orang lainnya sedang minum minuman keras. Namun, mereka sejatinya tidak mengetahui bahwa yang diminumnya adalah minuman keras. Mereka akhirnya meminta Gubernur Amr bin al-Ash untuk menegakkan had atas mereka. Bukannya menghukum, sang gubernur justru mengusir mereka.
Merasa mendapat kebijakan yang tidak semestinya, Abdurrahman kemudian mengancam akan melaporkan pada sang ayah. Akhirnya, Gubernur Amr bin al-Ash menerapkan had pada keduanya, namun tidak di hadapan orang-orang melainkan di rumahnya. Padahal, hukuman had yang sebenarnya adalah menggunduli rambutnya dan dicambuk secara bersamaan di hadapan orang banyak.
Khalifah Umar akhirnya mengetahui tentang hukuman yang tidak sesuai syariat Islam tersebut karena pengaduan rakyatnya. Khalifah segera menulis surat kepada Gubernur Amr bin al-Ash dan memintanya untuk menegakkan hukuman secara adil dan tidak boleh pandang bulu.
Kisah-kisah tersebut semakin menegaskan bahwa sistem Khilafah sangat terbuka terhadap aduan dan kritik dari rakyatnya. Khilafah bukanlah sistem antikritik sebagaimana demokrasi. Bahkan, Islam memiliki satu aktivitas mulia yang disejajarkan dengan penghulu para syuhada, yakni Hamzah bin Abdul Muthalib.
Aktivitas tersebut adalah melakukan muhasabah kepada para penguasa yang disejajarkan dengan jihad fi sabilillah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat ath-Thabarani, "Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang melawan penguasa kejam. Ia melarang dan memerintah. Namun, akhirnya ia mati terbunuh."
Wallahu a'lam bi ash shawab[]