“Brutalnya kediktatoran pemimpin kerajaan sekuler demokrasi seperti Arab Saudi justru menegaskan watak asli demokrasi. Aspirasi dan kritik hanya ada dalam teori demokrasi. Dalam praktiknya, keduanya tenggelam dalam nafsu kekuasaan dan kediktatoran.”
Oleh. Pipit Agustin
(Kontributor NarasiPost.Com dan Forum Hijrah Kafah)
NarasiPost.Com-Hukuman berat harus diterima Shehab dan Qahtani. Dua wanita Arab Saudi itu dijatuhi hukuman bui terkait aktivitas kritik yang mereka unggah di media sosial. Memang, kondisi penindakan terhadap para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengkritik pemerintah tengah marak di Arab Saudi. Para aktivis banyak dijatuhi hukuman bui dan larangan perjalanan. Hukuman itu dijatuhkan kurang dari sebulan usai kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ke Arab Saudi yang juga menyinggung soal HAM di negara itu pada Juli lalu.
Shehab atau bernama lengkap Salma Al-Shehab, adalah seorang kandidat PhD di University of Leeds di Inggris. Ia ditahan pada Januari 2021 saat pulang ke Arab Saudi untuk berlibur dari studinya. Pengadilan Arab Saudi menilai Shehab bersalah karena dia membagikan ulang cuitan (retweet) milik aktivis Saudi yang berada di pengasingan. Cuitan tersebut berisi seruan pembebasan tahanan politik di kerajaan. Selain itu, Shehab juga membagikan unggahan yang mendukung hak perempuan di Arab Saudi untuk mengemudi.
The Washington Post melaporkan, jaksa dalam banding untuk kasus Shehab menuntut hukuman yang lebih berat, di bawah UU Kejahatan Dunia Maya dan Anti Terorisme Saudi sebagaimana dikutip Liputan6.com(18/9/2022). Menurut narasi pemerintah, Shehab didakwa membantu para pembangkang yang berupaya 'mengganggu ketertiban umum’ di wilayah Saudi.
Sementara itu Tempo.co pada 31 Agustus 2022 menulis bahwa Qahtani atau Nourah Al-Qahtani menerima hukuman berat karena "menggunakan internet untuk merobek tatanan sosial (negara)" dan "melanggar ketertiban umum" melalui media sosial. Hal ini diungkapkan Democracy for the Arab World Now (DAWN) seperti dilansir NDTV Rabu 31 Agustus 2022. Qahtani ditangkap pada Juli 2021 dan dihukum oleh Pengadilan Kriminal Khusus.https://narasipost.com/2022/05/30/wajah-arab-saudi-dalam-pagutan-liberalisasi/
Kisah tragis dua wanita Arab di atas mungkin hanya sepenggal dari seluruh kisah yang ada terkait aktivitas kritik-mengkritik pemerintah yang terjadi di Arab Saudi. Atas kritik yang mereka unggah, Shehab dijatuhi hukuman 34 tahun bui sedangkan Qahtani 45 tahun bui. Kasus mereka menyiratkan tindakan keras terhadap kebebasan pendapat di bawah rezim demokrasi sekuler pimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS). Di tengah spirit revolusi yang menggebu-gebu, Arab Saudi justru kian diktator dan jauh dari cita-cita demokrasi.
Hal ini tidaklah mengherankan. Rezim demokrasi senantiasa menunjukkan bukti palsu tentang jaminan hak aspirasi dan kritik publik. Misi Putra Mahkota MbS yang ingin menjadikan Arab Saudi dan negara-negara Teluk seperti Eropa perlahan menemukan kebuntuan dan hipokrisi demokrasi itu sendiri. Brutalnya kediktatoran pemimpin kerajaan sekuler demokrasi seperti Arab Saudi justru menegaskan watak asli demokrasi. Aspirasi dan kritik hanya ada dalam teori demokrasi. Dalam praktiknya, keduanya tenggelam dalam nafsu kekuasaan dan kediktatoran.
Revolusi Arab Saudi yang dikenal dengan “Vision 2030” memuat sejumlah kebijakan yang diklaim sebagai jalan menuju modernisasi dan makin terbuka pada dunia. Tak ayal, kebijakan Putera Mahkota MbS ini pun mendapat “applause” dari komunitas global terutama negara Barat, kampiunnya demokrasi. Namun, senyatanya demokrasi ala Saudi tak jauh berbeda dengan Barat. Implementasinya yang payah justru memicu lonjakan kritik dari warganya sendiri dan dari komunitas dunia.
Peradaban baru yang demokratis nonkonservatif sebagaimana dicita-citakan MbS dibentuk melalui proses liberalisasi. Misalnya, dibebaskannya wanita keluar rumah tanpa mahram atau wanita boleh menyetir mobil sendiri. Selain itu, pantai di dekat Jeddah kini dibuka untuk perempuan tanpa menutup aurat sempurna (hanya bikini). Ditambah lagi, digelarnya Riyadh Season 2021 yang menyuguhkan parade dan konser musik rapper internasional Pitbull di Kota Riyadh. Dan masih banyak event serupa lainnya yang hakikatnya jauh dari nilai-nilai Islam, yang menjadi platform Arab Saudi selama ini.
Kondisi ini telah disampaikan oleh Nabi saw. dalam sabda Beliau saw. "Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai andaikan mereka memasuki lubang dab niscaya kalian akan mengikutinya". Para sahabat bertanya, "Apakah Yahudi dan Nasrani Wahai Rasul? Rasul menjawab, ”Siapa lagi (kalau bukan mereka". (HR. Muslim no. 2669).
Upaya modernisasi Arab Saudi dalam bingkai demokrasi lebih bermakna liberalisasi. Ini adalah bentuk invasi modern Barat kafir terhadap negeri-negeri muslim untuk menjauhkan Islam dari ajaran Islam yang kafah dan menghalangi tegaknya Khilafah.
Shehab dan Qahtani harus menjadi pelajaran bagi negeri-negeri muslim, bahwa invasi pemikiran sekuler liberal demokrasi telah merangsek ke negeri-negeri muslim dan menggerogoti kekuatan Islam politik. Saudi dan juga negeri-negeri muslim harus menyadari akibat fatal dari membebek pada ideologi Barat dan berpaling dari ajaran Islam justru akan semakin mengantarkan mereka pada keterpurukan.
Pelajaran penting lainnya yang bisa dipetik adalah bahwa kaum muslim perlu menyadari bahwa kepemimpinan hakiki bagi umat bukanlah sekadar tampilan luar (casing), yakni religius semata. Umat Islam harus lebih cermat melihat identitas pemikiran dan kepada siapa loyalitas pemimpin ini diberikan. Umat Islam harus punya literasi yang memadai terhadap konsep Islam dalam sistem pemerintahan serta memahami dengan sungguh-sungguh perbedaan diametral antara sistem politik Islam dan sistem politik sekuler, baik demokrasi maupun yang lainnya.https://narasipost.com/2022/01/03/kiblat-umat-kian-moderat-sinyalemen-tanah-suci-mengiblat-barat/
Perlu dipahami, mengkritik dalam Islam adalah aktivitas muhasabah. Kritik terhadap penguasa adalah bagian dari amar makruf nahi mungkar yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Di antaranya, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali Imran:104)
Sebagai contoh, Rasulullah saw. pernah diprotes oleh sahabat Beliau ketika Perjanjian Hudaibiyah. Beliau tidak mencela mereka yang menyampaikan protes, melainkan hanya menolak pendapat mereka untuk tetap melanjutkan kesepakatan damai dalam perjanjian tersebut. Sementara itu, di era Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang wanita yang memprotes kebijakan pembatasan mahar yang dikeluarkan oleh Khalifah Umar, yakni tidak boleh lebih dari empat ratus dirham. Hal ini yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an surah An-nisa’ ayat 20, yakni, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” Seketika, Khalifah Umar pun mencabut kembali kebijakannya seraya berkata, “ Wanita itu benar dan Umar yang salah.”
Masih banyak teladan para khalifah dalam merespons kritik dengan positif dari masyarakat yang bisa kita temukan dalam sejarah penerapan Islam. Sebuah pelajaran berharga bagi siapa saja yang merasa skeptis terhadap Islam. Konsep Islam begitu khas dalam hal penyampaian pendapat dan kritik terhadap penguasa. Pendapat dan kritik dalam Islam bukan berdasarkan kekuatan akal semata, melainkan kekuatan dalil. Semata agar keputusan yang diambil tetap on the track, yakni menempatkan kesejahteraan umat sebagai prioritas tertinggi dan beroleh rida Ilahi. Sungguh, sebuah kondisi yang diametral dengan sistem kapitalisme sekuler.
Dunia saat ini di bawah kepemimpinan pongah kapitalisme sekuler tidak mampu mewujudkan aspirasi mayoritas rakyat dalam bingkai politik demokrasi. Oleh karenanya, masa depan yang lebih baik bagi umat Islam Arab Saudi dan umat Islam di belahan dunia lainnya bisa terwujud bukan dengan cara mengeliminasi nilai-nilai Islam dan mengambil demokrasi hanya karena agar diterima komunitas global, terutama Barat. Umat Islam justru harus semakin mematuhi keyakinan Islam dan mendakwahkannya dalam forum diskusi yang ilmiah dan berbobot tentang syariat Islam kafah di tengah masyarakat.
Islam adalah alternatif tunggal dalam rangka mewujudkan firman Allah Swt. dalam surah Al- Anbiya’ ayat 107, “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Sejalan dengan itu, dunia Islam saat ini membutuhkan pemimpin muslim yang menguasai syariat kafah untuk diimplementasikan dalam bingkai institusi legal dalam rangka menyatukan kekuatan dunia Islam melawan hegemoni kapitalisme dan membendung kebangkitan sosialisme.
Karena itu, butuh keberanian besar sekaligus independensi yang luar biasa dari jemaah kaum muslim untuk menyuarakan anti-demokrasi. Mereka harus mampu meyakinkan umat bahwa perubahan besar menuju keadilan dan kerahmatan akan terwujud jika berpegang pada risalah Islam. Risalah ini adalah ideologi Islam dengan sistem khilafahnya yang memiliki visi politik paripurna untuk peradaban manusia, menggantikan demokrasi dalam memimpin dunia.Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]