”Inilah wajah asli kapitalisme. Meski banyak negara secara masif mengampanyekan pelestarian lingkungan, namun dengan penyelesaian melalui konsep kapitalisme, solusi tersebut ibarat menegakkan benang basah. Sistem yang hanya terfokus mengejar keuntungan sejatinya tidak pernah serius memperbaiki kerusakan alam.”
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kembali digelar. Indonesia pun telah resmi menjadi tuan rumah KTT G20 tahun 2022. Hal ini merupakan pertama kalinya Indonesia terpilih sebagai pemenang kursi presidensi G20, sejak dibentuk pada tahun 1999 lalu. Diketahui, alur kerja G20 terdiri dari beberapa rangkaian pertemuan dan puncaknya adalah KTT KE-17 di Bali pada tanggal 15-16 November 2022 mendatang. Salah satu rangkaian dari agenda G20 adalah Pertemuan Tingkat Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim atau The Joint Environment and Climate Ministers Meeting (JECMM) yang diselenggarakan pada 31 Agustus 2022 lalu.
Pertemuan tingkat menteri tersebut diketuai langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut yakni terkait beberapa kesepakatan tentang lingkungan hidup. Salah satu negara yang turut hadir dalam agenda para menteri tersebut adalah Australia yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Australia, Tanya Plibersek.
Dalam forum tersebut, Tanya Plibersek memperkenalkan konsep ‘Green Wall Street’ demi upaya menyelamatkan lingkungan. Menurutnya, melalui konsep tersebut bisnis dari seluruh dunia dapat datang untuk berinvestasi dalam aksi lingkungan. Tanya pun mengemukakan jika Australia memiliki potensi untuk mengubah krisis lingkungan melalui komodifikasi pekerjaan lingkungan yang positif melalui _‘kredit’& keanekaragaman hayati atau alam. Dengan demikian, pasar diharapkan akan benar-benar menghargai alam, bukan merusaknya. (Detik.com, 02/9/2022)
Bagaimana sebenarnya konsep ‘Green Wall Street’ itu? Apa sejatinya akar masalah lingkungan yang melanda dunia? Bagaimana pula konsep penjagaan lingkungan dalam Islam?
Mengenal Konsep ‘Green Wall Street’
Inti dari konsep ‘Green Wall Street’ yang diinisiasi oleh Australia adalah apabila ada seorang petani, kelompok konservasi, ataupun bisnis lainnya yang melindungi lingkungan mereka, maka mereka berhak menerima kredit yang bisa dijual kepada pasar. Dalam rancangan undang-undang yang diperkenalkan oleh mantan Menteri Pertanian Australia, David Littleproud, di awal tahun ini, pemerintahan Scott Marrison saat itu merancang program tersebut dan memutuskan bahwa hanya para petani yang bisa menghasilkan kredit keanekaragaman hayati.
Proyek-proyek yang mungkin dilaksanakan seperti penanaman pohon di lahan kosong, pengurangan polusi ke saluran air, dan komitmen untuk melindungi habitat yang terancam punah. Kemudian program tersebut akan diperluas oleh pemerintah Australia saat ini di bawah pimpinan PM Anthony Albanese. Perluasan program tersebut akan diterapkan kepada seluruh pemilik tanah, termasuk para pemilik tanah tradisional. Sayangnya, konsep tersebut masih diragukan keberhasilannya oleh Basha Stasak dari Australian Conservation Foundation. Dia skeptis jika nantinya akan ada yang membeli kredit tersebut.
Sejatinya tak hanya Australia yang mengampanyekan konsep-konsep untuk menjaga kerusakan lingkungan. Sebelumnya telah banyak dibentuk lembaga-lembaga yang fokus untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah Greenpeace, yakni suatu lembaga swadaya masyarakat serta organisasi lingkungan global yang berpusat di Amsterdam, Belanda. Organisasi ini dikenal secara langsung dalam melakukan kampanye untuk menghentikan berbagai aksi perusakan lingkungan seperti pengujian nuklir, deforestasi, penangkapan paus besar-besaran, dan lain-lain.
Isu lingkungan pun semakin populer jika dikaitkan dengan agenda global yang dipromosikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui program SDGs (Substainable Development Goals) atau tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. SDGs sendiri merupakan perpanjangan dari agenda MDGs (Millenium Development Goals) atau tujuan-tujuan pembangunan milenium. Agenda tersebut mempromosikan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup yang bertentangan dengan meningkatnya degradasi lingkungan hidup akibat penerapan kapitalisme.
Masih banyak lagi organisasi-organisasi internasional yang terus mengampanyekan penjagaan terhadap lingkungan, baik organisasi pemerintah, antarpemerintah, maupun nonpemerintah. Sayangnya, meski lembaga-lembaga tersebut terus membuat gebrakan untuk penyelamatan lingkungan, namun di sisi lain kerakusan manusia juga tidak pernah ‘puasa’ untuk melakukan perusakan lingkungan.
Akar Masalah Lingkungan
Kerusakan lingkungan memang telah lama menjadi kekhawatiran manusia. Banyak ilmuwan lingkungan dan ahli ekologi yang berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan parahnya kerusakan alam dan lingkungan adalah ledakan penduduk yang terlalu besar (over population) dan eksploitasi sumber daya alam. Ditambah pula dengan peningkatan aktivitas industri yang tidak mampu dikendalikan sehingga kian memperparah kerusakan lingkungan.
Aktivitas-aktivitas tersebut pun menghasilkan berbagai fenomena seperti pemanasan global, erosi, deforestasi, perubahan iklim, dan problematik lingkungan lainnya. Tak bisa dimungkiri bahwa fenomena tersebut turut berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan. Namun, hal lain yang turut menjadi penyebab berlarutnya kerusakan lingkungan yakni penerapan sistem kapitalisme. Untuk mengetahui hubungan antara kerusakan lingkungan dan penerapan sistem kapitalisme, maka perlu dilihat dari sudut pandang industri dan bisnis. Pasalnya, ke duanya menjadi tempat bertemunya berbagai kepentingan. Beberapa hal tersebut antara lain:
Pertama, kapitalisme memerlukan pertumbuhan sebagai katalisnya. Salah satu pihak yang berkepentingan mendorong terjadinya pertumbuhan adalah pemerintah. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pemasukan dari sisi pajak, kemudian akan berdampak pada meningkatnya kapasitas dan sumber daya untuk membiayai pelayanan publik. Tak hanya dari sisi negara, sektor bisnis dan industri pun akan cenderung mengejar pertumbuhan, baik dalam bentuk keuntungan maupun ekspansi usaha. Motivasi ‘profit oriented’ inilah yang mendorong bisnis dan industri terus memburu produktivitas dan efisiensi demi memaksimalkan keuntungan.
Kedua, sejatinya pertumbuhan ekonomi yang pesat memiliki ciri khas tingkat konsumsi yang tinggi. Fakta tersebut secara langsung akan memberikan tekanan yang kuat pada alam dan lingkungan sebagai penyedia sumber daya produksinya. Sementara, kapitalisme membutuhkan pertumbuhan produksi secara terus-menerus agar tetap stabil. Sayangnya, kebutuhan tanpa batas tersebut berbanding terbalik dengan keberadaan sumber daya yang terbatas untuk dieksploitasi demi menopang produksi. Dari sini dapat diketahui bahwa konsep kapitalisme telah merasuk dalam sendi-sendi perekonomian semua bangsa.
Ketiga, jika dilihat dari sisi konsumen, maka sejatinya produksi akan sangat bergantung pada konsumsi. Jika tingkat konsumsi rendah, maka siklus produksi akan lumpuh. Mirisnya, saat ini manusia hidup dengan sumber ekologi yang terbatas dan seharusnya segera dilestarikan. Jika tidak segera dilestarikan -padahal daya dukung alam tidak sanggup lagi menopang produksi- maka pertumbuhan akan mengalami kondisi di mana dia tidak bergerak. Hal ini tentu akan menghasilkan krisis ekonomi dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Keempat, di beberapa negara-negara Barat yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan pasar bebas, justru mereka merupakan negara dengan kualitas lingkungan paling baik. Dengan fakta tersebut, seharusnya tidak ada tarik ulur antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan. Sayangnya, keadaan lingkungan yang baik dan bersih juga bisa terjadi karena mereka telah mengekspor industri pencemar lingkungan milik mereka ke negara-negara berkembang.
Mereka mengambil keuntungan atas negara-negara berkembang dengan dalih investasi, globalisasi, dan efisiensi. Salah satunya adalah industri fashion. Untuk diketahui, industri fashion telah menghasilkan sepuluh persen dari semua emisi karbon di dunia dan memproduksi dua puluh persen dari limbah pencemar air yang berasal dari perawatan tekstil dan pewarnaan. Industri fashion juga menghasilkan sembilan puluh persen air limbah hasil produksi yang dibuang ke sungai tanpa pengolahan yang tepat. Ini artinya, di satu sisi produksi dan konsumsi terus meningkat, namun di sisi lain kerusakan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan.
Inilah wajah asli kapitalisme. Meski banyak negara secara masif mengampanyekan pelestarian lingkungan, namun dengan penyelesaian melalui konsep kapitalisme, solusi tersebut ibarat menegakkan benang basah. Sistem yang hanya terfokus mengejar keuntungan sejatinya tidak pernah serius memperbaiki kerusakan alam. Industrialisasi yang dibangun dengan konsep kapitalisme hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara rakyat hanya menerima imbas dari kerusakan alam.
Penjagaan Lingkungan dalam Islam
Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam yang tidak hanya peduli terhadap manusia saja, tetapi juga sangat perhatian terhadap penjagaan dan pelestarian lingkungan. Bahkan, saking besarnya perhatian Islam terhadap masalah lingkungan, Allah Swt. Sampai melarang manusia merusak dan mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan pemeliharaannya. Allah Swt. pun menyebutkan dalam firman-Nya surah Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia ….”
Islam di bawah sistem Khilafah memiliki solusi fundamental untuk mengatasi persoalan lingkungan. Langkah-langkah tersebut antara lain:
Pertama, dalam sistem Khilafah Islam, pemerintah melayani kebutuhan masyarakatnya secara menyeluruh termasuk dalam hal pembangunan. Sementara pihak swasta hanya boleh berpartisipasi dalam masalah teknis, namun tidak diperkenankan mengendalikan pembangunan. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah saw. dalam riwayat Bukhari: “Iman adalah penjaga dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”
Hadis tersebut menurut Imam Badrudin Al-Aini, menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggung jawab seorang imam (khalifah). Ini artinya, tugas seorang khalifah adalah memikul urusan rakyat dalam memenuhi hak mereka. Karena itulah negara harus memastikan agar setiap warganya hidup di lingkungan yang layak. Masyarakat dapat hidup dengan nyaman, aman dari musibah, dan bisa beribadah dengan khusyuk.
Kedua, pembangunan infrastruktur harus dirancang untuk mewujudkan atmosfer ketakwaan masyarakat. Karena itu, tata kelola negara yang bersumber dari Sang Pencipta akan secara otomatis membuat pembangunan infrastrukturnya memperhatikan kelestarian lingkungan. Contohnya, pembangunan kawasan industri atau hunian tidak boleh dilakukan di daerah resapan. Termasuk pengelolaan transportasi akan dibuat ramah lingkungan, dan lain-lain.
Ketiga, sistem keuangan yang kuat dan stabil di bawah Baitulmal, menjadikan keterlibatan swasta maupun asing dapat dihindari. Besarnya sumber pemasukan kas negara yang salah satunya berasal dari hasil SDA, merupakan konsekuensi dari diterapkannya konsep kepemilikan yang mengharamkan swasta atau asing menguasai harta milik umum. Karena itu, pembangunan infrastruktur yang berfokus pada umat juga tetap memperhatikan ekosistem lingkungan.
Khatimah
Semua konsep pembangunan dan penjagaan lingkungan tersebut hanya bisa direalisasikan jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam sistem politik Khilafah. Di bawah naungan Khilafah, manusia benar-benar dapat berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. Hal ini pun menegaskan bahwa tanpa perubahan sistemis, solusi penyelamatan lingkungan sebanyak apa pun tidak akan berpengaruh pada membaiknya kondisi lingkungan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]