”Mengapa pengakuan normalisasi dengan Yahudi Israel dianggap pengkhianatan? Karena normalisasi adalah sebuah bentuk pengakuan entitas penjajah Yahudi sebagai sebuah negara yang berdaulat, dan pengakuan negara inilah yang dibutuhkan oleh Israel.”
Oleh. Mariam
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Israel Yair Lapid berencana akan bertemu saat Sidang Umum PBB di New York nanti. Hal itu diungkapkan langsung dari kantor Lapid, Sabtu (17/9/2022). Reutres melaporkan bahwa pertemuan ini akan melahirkan tonggak sejarah baru bagi negara-negara yang bersangkutan untuk memperbaiki hubungan mereka yang telah lama renggang. Kedua pemerintahan ini sering mengusir duta besar pada tahun 2018 dan selalu bertikai atas konflik Israel-Palestina.
Bulan Maret lalu Presiden Israel melakukan kunjungan ke Turki atas undangan dari Presiden Erdogan. Dua bulan kemudian Menteri Luar Negeri Turki mengunjungi Israel dan kekuatan regional yang dimilikinya dengan mengungkapkan bahwa keduanya berharap untuk bisa memperluas hubungan ekonomi. hubungan baik menjalin kerjasama antara Turki dan Israel ini mendapat kecaman keras dari Hamas. Hamas menegaskan bahwa hal yang dilakukannya ini sama saja dengan normalisasi antara Turki dan Israel, dan Hamas menolak terhadap semua bentuk normalisasi karena bertentangan dengan konstanta nasional Palestina dan kepentingan rakyat Palestina.
Sikap ini disambut oleh pernyataan dari Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu dalam wawancaranya bersama Haber Global yang mengatakan bahwa normalisasi hubungan Turki dan Israel tidak akan melemahkan Ankara untuk terus memperjuangkan Palestina. Bahkan, Mevlut menegaskan bahwa dialog hubungan baik ini akan terus berlanjut bahkan jika Hamas memang tidak menyetujuinya. (Sindonews, 18/9/2022)
Kontradiktif Hubungan Diplomatik
Normalisasi hubungan Turki dan Israel cukup mencengangkan masyarakat internasional, pasalnya Turki merupakan negara mayoritas penduduk muslim yang selalu membela rakyat Palestina dan mengecam tegas aksi Israel yang selalu membombardir masyarakat Palestina dan mengusir mereka dari kampung halamannya. Namun ternyata perselisihan Turki dan Israel hanya dalam kancah perpolitikan semata, faktanya hubungan mereka masih tetap harmonis dalam bidang ekonomi.
Berdasarkan data dari Trading Economics mengungkapkan bahwa Turki mempunyai nilai ekspor besar ke Israel dan selalu meningkat setiap tahunnya, dibandingkan dengan ekspor dari Israel ke Turki. Bahkan, Turki menempati peringkat pertama sebagai pengekspor tertinggi ke Israel. Barang yang diekspor berupa besi baja, mutiara, batu mulia, reaktor nuklir, dan berbagai perabot rumah tangga.
Normalisasi menjalin hubungan dengan pihak Israel merupakan tindakan pengkhianatan terhadap rakyat Palestina, Yerusalem, dan Al-Aqsa. Mengapa pengakuan normalisasi dengan Yahudi Israel dianggap pengkhianatan? Karena normalisasi adalah sebuah bentuk pengakuan entitas penjajah Yahudi sebagai sebuah negara yang berdaulat, dan pengakuan negara inilah yang dibutuhkan oleh Israel. Padahal, di tahun 2020 Turki mengecam dan menolak keras ketika UEA melakukan normalisasi dengan Israel, bahkan juru bicara kepresidenan mengatakan bahwa sejarah akan selalu mencatat kekalahan mereka yang telah mengkhianati rakyat Palestina. Namun saat ini, Turki seolah menelan ludahnya sendiri.
Asal Muasal Bangsa Yahudi Menduduki Tanah Palestina
Memang pasca kekalahan Daulah Utsmani pada perang dunia I mengakibatkan daulat kini terjebak untuk melakukan perjanjian Sykes-Picot yang membuat daerah-daerah Jazirah Arab termasuk tanah suci para nabi ini sangat memilukan. Negara Eropa yakni Inggris dan Prancis secara licik menyusun siasat untuk menjadi dalang dalam perjanjian ini dengan membagi-bagi wilayah timur tengah untuk dikuasai. Wilayah ini akan dibagi untuk kepentingan negara Inggris dan Prancis serta sekutunya. Dengan wilayah Palestina yang akan ditetapkan sebagai perbatasan kedua dan menjadi wilayah pusat internasional. Dari sinilah awal mula nestapa bagi kaum muslimin terutama Palestina.
Sejak menjadi negara internasional melalui perjanjian Balfour pada 2 November 1917 telah menyepakati bahwa penyerahan wilayah Palestina akan diberikan kepada komunitas Yahudi dan mendirikan sebuah negara Israel di atas tanah Palestina, inilah permulaan datangnya bangsa Yahudi ke Palestina hingga banyak masyarakat Palestina yang terusir dari negerinya sendiri.
Terlebih setelah Khilafah Utsmani runtuh pada 3 Maret 1924, kini Islam tidak lagi mempunyai perisai untuk melindungi kaum muslimin dari penjajahan yang dilakukan orang-orang kafir yang ingin memecah belah umat. Kini negara-negara Islam terpecah belah dengan sekat-sekat perbatasan atas nama national state, mereka memperjuangkan nilai-nilai nasionalisme dan menjadi negara-negara pengekor negara Barat yang tidak bisa memberikan kebijakan luar negeri secara mandiri, hingga selalu mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan para penguasa.
Wajar jika saat ini tidak ada penguasa negeri muslim yang ingin benar-benar menyelamatkan dan membantu Palestina secara murni dari resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada 29 Oktober 1947. Sebuah kebijakan yang menyatakan bahwa 55% wilayah Palestina akan diserahkan kepada pihak Yahudi hingga kelak Yahudi mencaplok sebagian penuh wilayah Palestina bahkan mendeklarasikan sebuah negara Israel pada tahun 1948. Kini Israel terus memperluas wilayah jajahan yang dikuasainya dengan cara yang ilegal dan kriminal, hingga membunuh banyak korban yang tidak bersalah seperti kaum wanita, anak-anak dan para orang tua. Bahkan tidak segan, Israel menghancurkan dan mengebom gedung-gedung setiap tahunnya di pemukiman Gaza.
Dukungan terhadap Palestina
Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan keterpurukan yang dialami umat muslim di Palestina dan negeri muslim yang lain, kecuali dengan mengembalikan sebuah institusi negara Islam yakni Daulah Khilafah untuk mempersatukan umat muslim melawan penjajahan kaum Yahudi Israel.
Khilafah kelak akan bisa mencegah musuh untuk menyerang dan menyakiti kaum muslimin, mencegah masyarakat satu dengan yang lainnya dari serangan-serangan fisik dan pemikiran, melindungi keutuhan umat Islam. seperti yang dicontohkan oleh Sultan Abdul Hamid II yang tegas menolak segala bentuk penyerahan tanah Palestina kepada kaum kafir walau hanya sejengkal, karena Palestina merupakan tanah yang diberkahi dan tempat Isra Mikraj Nabi. Bahkan, Allah berfirman dalam QS. Al Isra : 1 yang artinya “Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Negara Khilafah akan mudah menyusun dan mengirim pasukan jihad sebagaimana yang pernah dilakukan dulu untuk menggentarkan kaum kafir. Adanya jihad berada dalam satu komando khalifah bersama puluhan juta tentara dari seluruh wilayah dalam naungan Khilafah hingga kelak mampu untuk mengusir tentara Israel dari tanah Palestina bahkan negara adidaya yang mendukung dan melindunginya seperti Amerika Serikat akan dengan mudah dikalahkan jika kita bersatu padu dalam sebuah naungan intitusi negara Khilafah.
Jadi kita tidak bsia mengharapkan pada Turki maupun negara Arab lainnya yang jelas-jelas telah mengakui kedauatan Israel dan melakukan pengkhianatan dengan kebijakan normalisasi yang mereka buat. Umat perlu kembali bersatu, tidak ada lagi sekat wilayah yang membatasi kita. Sehingga, dengan hal ini kita akan bisa membebaskan negeri Palestina.
Jadi tidak bisa kita mengharapkan presiden negeri-negeri yang walaupun mayoritas Islam saat ini, karena mereka banyak bermuka dua, mengaku membela dan ingin membebaskan Palestina namun malah saling bergandeng tangan secara harmonis bersama musuh.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]