Paham-paham asing menggerogoti syariat. Penyakit cinta dunia pun telah membelenggu kalbu mereka. Inilah benteng tak kasat mata yang membatasi kaum muslim di satu negeri dengan negeri lainnya.
Oleh. Anisa Rahmi Tania
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lagi dan lagi kaum muslim menjerit. Mereka terlunta-lunta dari satu daratan ke daratan yang lain. Tidak ada yang melindungi, tidak ada yang mengayomi. Mereka sendirian dalam kehancuran. Padahal kaum muslim adalah mayoritas di antara kaum lainnya.
Kisah Sendu Kaum Mayoritas
Sungguh miris. Tragedi kemanusiaan kembali berulang, tanpa henti, tanpa belas kasihan. Dilansir dari voaindonesia.com (10–8–2024), lebih dari 200 orang warga Rohingya dilaporkan tewas karena serangan pesawat nirawak. Warga Rohingya ini tengah menunggu perahu yang akan mengangkut mereka menyeberang perbatasan ke Bangladesh. Menurut beberapa saksi, korban yang tewas di antaranya seorang perempuan yang tengah hamil tua dengan putrinya yang berusia 2 tahun. Dokter tanpa batas (Medecins Sans Frontieres) menyebutkan pihaknya merawat 39 orang yang melintasi perbatasan dari Myanmar ke Bangladesh. Mereka mengalami cedera akibat kekerasan dan tembakan mortir. Sejak 2017 warga Rohingya berduyun-duyun meninggalkan Myanmar karena tindakan bengis militer, hingga kini tindakan kekerasan yang tidak berperikemanusiaan terus terjadi.
Tidak hanya muslim Rohingya, muslim di Palestina pun masih mengalami genosida dari Israel. Pada 8 Agustus 2024, Israel menyerang sekolah Al-Taba'een di tengah Jalur Gaza. Sekolah tersebut digunakan untuk menampung pengungsi di wilayah Palestina yang terkepung. Akibat penyerangan tersebut setidaknya 90 orang tewas, dengan sejumlah jenazah terbakar.
Selain itu Israel juga melakukan serangan udara di Kota Khan Younis, Jalur Gaza Selatan pada 8 Agustus 2024. Lebih dari 18 orang tewas. Israel menyatakan akan terus menghancurkan kelompok Palestina sebagai pembalasan serangan terhadap mereka pada 7 Oktober. Upaya-upaya untuk meredam aksi genosida dengan melakukan gencatan senjata hanya terjadi satu kali yakni di bulan November 2023. Para mediator dari negara-negara lain seperti Qatar, Mesir, dan AS telah berupaya mencapai gencatan senjata yang kedua. Namun, hal itu belum terlaksana.
Merobohkan Benteng Tak Kasat Mata
Benteng yang terjal memisahkan kaum muslim. Benteng tersebut membuat kaum muslim mempunyai identitas baru. Semuanya tersibukkan dengan masalah masing-masing. Menganggap muslim di negeri yang lain bukanlah siapa-siapa. Fatalnya saat kondisi muslim di negeri yang lain mendapat ancaman, siksaan, bahkan aksi brutal yang tidak henti, sementara muslim yang lain tidak merasa sakit hati.
Baca: pembantaian-masjid-di-gaza-dan-urgensitas-persatuan-umat/
Lebih fatal lagi, para penguasa muslim yang mempunyai kemampuan lebih karena posisi mereka, tidak bergeming. Hanya marah dan menghujat, padahal kemampuannya tidak sama dengan muslim yang berstatus rakyat biasa. Para penguasa mempunyai kekuatan lebih untuk membela. Mereka pun punya kemampuan untuk mengerahkan segala hal yang tidak bisa dilakukan individu maupun kelompok organisasi. Maka jika lembaga, organisasi atau kelompok hanya bisa marah dan memberi sokongan materi, seharusnya seorang penguasa bisa bertindak lebih.
Namun, apa daya, tidak ada seorang pun penguasa muslim yang berani bertindak lebih. Alih-alih mencoba menyelesaikan masalah, paling besar langkah mereka sebatas pada mencoba melakukan negosiasi atau gencatan senjata.
Mereka terkungkung oleh ketakutan dan egoisme. Itulah gambaran saat nasionalisme telah melunturkan ikatan akidah. Akidah sebatas pada aspek ritual, tidak sampai pada aspek batas-batas negara. Akidah tidak lagi sebagai pemersatu, satu perasaan, satu pemikiran, satu tindakan. Kini akidah sebatas simbol identitas pribadi.
Paham-paham asing menggerogoti syariat. Penyakit cinta dunia pun telah membelenggu kalbu mereka. Inilah benteng tak kasat mata yang membatasi kaum muslim di satu negeri dengan negeri lainnya. Benteng ini pula yang akhirnya memecah belah persatuan kaum muslimin. Membuat umat tercerai-berai, layaknya buih di lautan. Tampaklah kini dengan jelas bagaimana Rasulullah saw. telah mengisyaratkan kelemahan kaum muslimin.
Rasulullah saw. bersabda, "'Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan.' Seseorang lantas bertanya pada Rasulullah saw., 'Apakah kami saat itu sedikit?' Rasulullah saw. kemudian menjawab, 'Bahkan kalian saat itu banyak, tetapi kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn ke dalam hatimu.' Seseorang bertanya, 'Ya Rasulullah, apa itu wahn?' Beliau menjawab, 'Cinta dunia dan takut mati.'" (HR. Abu Dawud)
Perisai Sejati Kaum Muslim
Saat Islam tidak menjadi sistem kehidupan, umat mengalami kesengsaraan yang tidak bertepi. Kelaparan, kemiskinan, kebodohan, kezaliman, dan berbagai kepedihan lainnya. Saat kaum muslim tidak mempunyai pemimpin yang mempersatukan, umat tercerai berai, individualistis, dan tidak ada yang mampu membela saat menghadapi serangan secara bertubi-tubi. Saat umat tidak mempunyai institusi, maka umat tidak memiliki perisai. Tidak ada benteng perlindungan, tidak ada tempat aman untuk mereka. Sungguh begitulah yang terjadi saat ini pada kaum muslimin.
Kaum muslimin layaknya raksasa yang mati suri. Segala kondisi buruk telah menimpanya. Namun, dia masih enggan terbangun. Inilah yang harus disadari kaum muslimin. Kita bukanlah orang-orang yang harus mengikuti sistem yang hari ini berjalan. Kita, kaum muslim, mempunyai sistem kehidupan sendiri. Sistem kehidupan sempurna dari Sang Pemilik alam semesta. Sistem kehidupan yang akan menyelamatkan kita di dunia maupun di akhirat. Maka tidak pantas kita menggugu apa yang dicanangkan sistem kapitalisme sekuler.
Untuk itu, kita perlu bangkit. Kebangkitan diawali oleh proses berpikir yang meninggi. Bahwa ada aspek penting yang telah dilupakan banyak umat IsIam, yakni Islam sebagai sistem kehidupan.
Di sinilah harus ada roda penggerak yang mengopinikan secara luas pemahaman tersebut. Bahwa Islam satu-satunya sistem yang layak diterapkan untuk umat manusia. Begitu pula alam dan seisinya.
Roda penggerak itu adalah kelompok dakwah. Dakwah untuk mengembalikan identitas kaum muslim yang sesungguhnya. Kaum yang punya spirit satu tubuh. Kaum yang selalu gigih dalam mensyiarkan agamanya untuk menerangi dunia ini. Bukan kaum yang silau dengan keelokan dunia yang sementara.
Kelompok inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan kutlah sahabat. Mereka senantiasa menambah tsaqofah IsIam seiring mereka mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat jahiliah. Dengan pertolongan Allah dan kekuatan kelompok dakwah tersebut, masyarakat Makkah semakin banyak yang berislam. Hingga orang-orang Quraisy geram dibuatnya.
Kemudian Rasulullah tidak berhenti sampai di sana. Rasulullah saw. mendirikan 'benteng' perlindungan kaum muslimin di Madinah. Dari sana syiar Islam terus melesat hingga belasan abad lamanya. Masyaallah.
Oleh karena itu, sekaranglah saatnya gerakan politik dari kelompok dakwah harus bergema. Membangun kesadaran umat dan menyuarakan persatuan umat dalam satu institusi negara. Sehingga perisai yang dinanti berabad lamanya akan kembali tegak menyelamatkan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia. Perisai itu pula yang akan melanjutkan estafet perjuangan mensyiarkan Islam dengan dakwah dan jihad. Saat itulah Islam akan kembali pada masa kejayaannya. Menyelesaikan problematika hidup manusia dan segenap alam.
Wallahu'alam. []