Krisis imigrasi terjadi karena kemiskinan yang melanda di negara asal mereka, sedangkan kemiskinan tersebut disebabkan oleh rezim-rezim represif yang menjadi kaki tangan Barat. Akibatnya, penguasa zalim tersebut memerangi rakyatnya sendiri dan menjadi penguasa boneka yang tunduk pada kebijakan Barat. Lihatlah, bagaimana kapitalisme menjadikan para penguasa tidak lagi ramah dan amanah terhadap rakyatnya!
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Laut Mediterania Tengah terkenal sebagai penyeberangan maritim paling berbahaya dan mematikan di dunia. Sepanjang tahun 2023, sebanyak 1.848 orang tewas saat melalui rute dari Libya ke Italia dan Malta. Jumlah korban tersebut meningkat jika dibandingkan pada 2022, yaitu 1.417 jiwa. Pada Juni lalu, sebanyak 82 orang tewas karena kapal yang ditumpanginya tenggelam. Pada 11 Agustus, Kapal Ocean Viking telah menyelamatkan 623 imigran yang terombang-ambing di Laut Mediterania, barat daya Lampedusa (CNN Indonesia, 12/8/2023). Lantas, apa yang menyebabkan para imigran terpaksa menerjang maut melewati Laut Mediterania?
Penyebab Maraknya Imigran
Pada umumnya, para imigran berasal dari 20 negara berbeda yang membanjiri Libya untuk menuju ke Eropa. Perang dan konflik yang berkecamuk di Timur Tengah dan Afrika membuat rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan daerah konflik. Merujuk data dari Kementerian Dalam Negeri Italia, mereka telah memulangkan sekitar 31.000 imigran yang berasal dari Pantai Gading, Pakistan, Mesir, Tunisia, dan Bangladesh (CNN Indonesia, 13/4/2023).
Selain itu, para imigran juga kebanyakan berasal dari Suriah, Eritrea, Somalia, Senegal, Mali, dan Guinea. Masing-masing dari para imigran memiliki alasan berbeda. Namun, kebanyakan berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara yang dituju. Ada juga yang berharap bisa berkumpul dengan keluarga atau kerabatnya yang telah berhasil mencapai Eropa.https://narasipost.com/book/keunikan-strategi-maritim-khilafah-abbasiyah-di-laut-mediterania/
Warga Somalia sendiri menjadi negara ketiga terbesar yang melalui rute Laut Mediterania. Kemiskinan, kondisi keamanan yang buruk, maraknya kekerasan seksual, minimnya kesejahteraan, dan kurangnya lapangan pekerjaan merupakan faktor-faktor penyebab mereka pergi dari negaranya. Kebanyakan dari mereka adalah pria lajang berusia 20-an tahun yang menjadi tulang punggung. Mereka berkelana mencari pekerjaan agar bisa mengirimkan uang untuk keluarganya. Namun, nahas, jangankan mengirimkan uang, mereka justru menjadi korban keganasan Laut Mediterania.
Untuk mencapai Eropa, para imigran biasanya membayar sejumlah uang kepada people smuggler yang berasal dari negara mereka. Para imigran kemudian diantar ke Libya, lalu berlayar menuju Italia. Karena ilegal, biasanya kapal yang mereka tumpangi adalah kapal kayu yang tidak layak dan tidak jarang mereka menggunakan kapal karet. Hal inilah yang membuat kapal-kapal banyak yang karam dan terbalik dihantam kerasnya ombak.
Italia sebagai salah satu anggota Uni Eropa yang secara geografis bersebelahan dengan Laut Mediterania Tengah, menjadikannya sebagai sasaran para imigran. Meskipun paling berbahaya, Laut Mediterania Tengah dianggap sebagai rute yang paling mudah dan lebih dekat jika melakukan perjalanan dari Libya ke Pulau Lampedusa, wilayah paling selatan dari Italia.
Antiimigrasi Italia
Sebenarnya sejak tahun 2011, negara Eropa telah kebanjiran imigran, tak terkecuali Italia. Menanggapi banjirnya para imigran tersebut, pemerintah Italia mengeluarkan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat mengurangi jumlah imigran yang datang di negaranya. Upaya pertama adalah Operation Mare Nostum, yaitu program yang dilakukan Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk melacak dan mengintai kapal-kapal yang karam di Laut Mediterania.
Aturan ini mulai berlaku pada 18 Oktober 2013 dan berhasil menyelamatkan 150.000 imigran yang terdampar di Laut Mediterania. Namun, pelaksanaan Operation Mare Nostum hanya berjalan selama satu tahun dan diberhentikan karena pemerintah Italia harus menanggung sendiri biaya 9 juta Euro setiap bulannya. Apalagi setelah melihat jumlah imigran yang terus meningkat dan kurangnya dukungan dana dari negara-negara Eropa terkait kebijakan tersebut.
Setelah Operation Mare Nostum dihentikan, kasus tenggelamnya kapal di Laut Mediterania terus meningkat. Melihat hal itu, pemerintah Italia menjalin kerja sama dengan Frontex, badan pengamanan batas negara milik Eropa dan melahirkan kebijakan Operation Triton. Namun, sekali lagi, Operation Triton gagal mengontrol dan menghentikan krisisi imigran di Italia. Operation Triton sendiri mulai dijalankan pada 1 November 2014 dan berhenti pada 1 Februari 2018. Selama itu, tercatat sekitar 1.000 imigran hanyut di Laut Mediterania Tengah pada April 2015.https://narasipost.com/world-news/03/2023/kanal-ikonis-venesia-tanpa-air-italia-dilanda-kekeringan/
Selain itu, Italia juga membentuk Operation Sophia yang aktif sejak Oktober 2015. Operation Sophia mempunyai tugas mengidentifikasi, menangkap, lalu menghancurkan kapal yang teridentifikasi sebagai penyelundup atau melakukan kegiatan imigrasi ilegal. Operation Sophia juga berkontribusi dalam pelaksanaan embargo senjata oleh United Nation di daerah lepas pantai Libya, serta membantu Libya melatih pasukan penjaga di perbatasan Laut Mediterania. Namun, Operation Sophia dianggap gagal oleh Uni Eropa setelah dua tahun menjalani misinya.
Sebenarnya telah banyak bentuk kerja sama yang dibentuk untuk mengurangi krisis imigran, seperti pembentukan Memorandum of Understanding (MoU) yang dilakukan oleh pemerintah Italia dan Libya. Namun, selalu berakhir dengan kegagalan. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa sekadar aksi penyelamatan dan pengawasan bukanlah solusi fundamental untuk mengatasi banyaknya imigran yang tewas di laut Mediterania.
Menurut European Court of Human Right bahwa MoU yang dibentuk Italia telah melanggar hukum imigrasi yang dianut oleh anggota Uni Eropa. Sebab, MoU akan membahayakan nyawa para imigran dengan membolehkan pihak berwenang mendeportasi pengungsi dari negara-negara konflik. Namun, tetap saja imigran asal Afrika yang menuju ke Italia tersebut dikategorikan sebagai Ilegal Undocumented Workers karena secara paksa menerobos batas negara tanpa dokumen resmi.
Menurut badan penyelamat laut, tindakan anti imigrasi Italia akan menyebabkan lebih banyak kematian di Mediterania. Sebab, kapten kapal berisiko didenda sebesar $52.760 dan kapal mereka disita jika melanggar aturan pelabuhan Italia. Mereka menyebut bahwa kebijakan Italia justru akan mengurangi jumlah kapal amal dalam misi pencarian dan penyelamatan. (Reuters.com, 5/1/2023)
Tidak Ada Keamanan
Tak dimungkiri, banyaknya kematian imigran yang menyeberangi Laut Mediterania karena kebijakan antiimigrasi Italia yang kapitalistik. Bagaimana sistem ini menghasilkan para penguasa yang tidak berperasaan karena melihat segala sesuatu lewat kacamata dolar. Di mana keamanan keuangan negara lebih diprioritaskan daripada nyawa manusia. Bagaimana bisa orang-orang yang tertindas dan ingin mencari keadilan dan keamanan disebut sebagai imigran ilegal? Perlu ditekankan bahwa para imigran, terlepas dari mana pun asalnya, mereka tetap manusia yang memiliki hak hidup selayaknya manusia lain. Lihatlah, bagaimana kapitalisme menganggap nyawa dan kehormatan umat manusia tidak lebih berharga dari visa!
Padahal, para penguasa Uni Eropa bisa mengirim banyak kapal penyelamat di sekitar Laut Mediterania, atau membuka saluran reguler bagi orang-orang yang membutuhkan agar memasuki wilayah Eropa dengan aman. Sejatinya angka kematian tidak akan turun selama Eropa berpegang pada kebijakan visa dan perjalanannya yang ketat terhadap para imigran. Selama para imigran dianggap dan diperlakukan seperti penjahat dan sebagai penumpang ilegal, maka dapat dipastikan bahwa insiden ini akan terus berulang. Sebab, para imigran akan menggunakan jasa people smugglersdengan kualitas kapal kayu yang tidak memadai dan dinilai minim pengamanan. Jelas, kualitas kapal sangat memengaruhi keamanan saat berlayar menyeberangi lautan luas.
Selain itu, selama negara-negara Barat masih mengintervensi negara-negara Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa konflik, kemiskinan, dan krisis imigran akan terus ada. Terlebih lagi, jika Inggris dan Amerika Serikat masih mengeksploitasi SDA di benua Afrika dan ingin menguasai minyak bumi di Libya. Padahal, krisis imigrasi terjadi karena kemiskinan yang melanda di negara asal mereka, sedangkan kemiskinan tersebut disebabkan oleh rezim-rezim represif yang menjadi kaki tangan Barat. Akibatnya, penguasa zalim tersebut memerangi rakyatnya sendiri dan menjadi penguasa boneka yang tunduk pada kebijakan Barat. Lihatlah, bagaimana kapitalisme menjadikan para penguasa tidak lagi ramah dan amanah terhadap rakyatnya!
Rentetan insiden yang memakan korban di Laut Mediterania Tengah menguak banyaknya tragedi yang disaksikan umat saat kapitalisme mencengkeram dunia. Saat dunia dibanjiri oleh slogan-slogan kebebasan dan HAM. Namun, saat yang sama banyak manusia yang tidak berhasil menemukan keadilan. Bangsa Eropa yang dicitrakan menjunjung HAM, ternyata masih menyimpan pemikiran primitif yang rasis dan telah mengakar sejak mereka menjadi penjajah. Nilai-nilai keadilan, humanitas, HAM yang dipaksakan itu, sekali lagi hanya tipuan untuk membungkus kemunafikan ideologi mereka. Hal ini terbukti ketika ketidakadilan begitu mahal terhadap ras yang berbeda dari mereka.
Khilafah Melindungi Pengungsi yang Mencari Suaka
Melihat banyaknya imigran yang tewas, seharusnya kaum muslim berpikir untuk mencampakkan konsep korosif nasionalisme beserta sistem politik kapitalisme. Sejatinya, umat manusia membutuhkan sistem yang memberikan kewarganegaraan, perlindungan, dan kehidupan yang baik bagi siapa pun yang ingin hidup di bawah pemerintahan yang adil. Umat manusia juga membutuhkan sistem pemerintahan yang tidak pernah mengesampingkan perlindungan hidup dan martabat manusia hanya demi keuntungan finansial.
Dalam Islam, imigran maupun pengungsi yang mencari suaka dan perlindungan di dalam Khilafah disebut sebagai ahlu dzimmah (orang-orang yang diberi jaminan keamanan). Selama mereka taat terhadap aturan Khilafah, maka mereka berhak mendapat naungan dan perlindungan. Tidak boleh ada seorang pun yang melanggar aturan tersebut, seperti berkata kasar, memfitnah, melukai, dan membunuh para ahlu dzimmah. Barang siapa yang sengaja menzalimi mereka sama dengan melanggar aturan Allah Swt. dan Rasul-Nya.
“Ketahuilah, bahwa siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (kaum kafir yang berkomitmen untuk hidup damai dengan kaum muslim), membebaninya di atas kemampuannya, maka saya (Rasulullah) adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi)
Pemberian jaminan pada imigran di dalam Khilafah bukanlah retorika kosong tanpa bukti. Sejarah Khilafah terbukti mampu menyediakan suaka dan melindungi para pengungsi tanpa memandang agama, ras, dan suku. Misalnya pada 1492, Khalifah Bayezid II mengirim kapal untuk menjemput 250.000 pengungsi Yahudi yang terusir dari Spanyol akibat ditindas oleh Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella. Tidak hanya itu, khalifah juga memerintahkan dekret untuk memberikan perlindungan dan keamanan di Istanbul.
Sejarah juga mencatat bahwa pada 1845, Khalifah Abdul Majid I membantu Irlandia saat penduduknya dilanda wabah kelaparan besar. Khalifah Abdul Majid I menyebut bahwa kaum muslim sudah lama memiliki konsep beramal tanpa pamrih yang disebut sebagai sedekah. Saat Khilafah memberi bantuan dan melindungi jutaan pengungsi semata-mata untuk menunjukkan keadilan Islam kepada dunia. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surah At-Taubah ayat 6:
“Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya.”
Tentu saja, konsep sedekah tidak mungkin ada dalam pemerintahan sekuler yang menerapkan kapitalisme. Lihatlah, bagaimana Khilafah telah memiliki kebijakan untuk melindungi para pencari suaka dengan kekayaannya, jauh sebelum PBB mengaturnya. Oleh karena itu, umat manusia membutuhkan penerapan ideologi Islam yang akan melindungi, menjaga, dan menyejahterakan rakyatnya, sehingga mereka tidak harus mencari kehidupan di negara asing. Selain itu, Khilafah juga akan menyelamatkan pengungsi yang masuk di wilayah daulah dengan memberikan tempat tinggal, jaminan keamanan, dan kesehatan. Terlebih lagi jika pengungsi tersebut adalah muslim, maka tidak ada kompromi, mereka akan dianggap saudara sendiri yang wajib dilindungi. Wallahu a’lam bishawab.
Kasihan sekali para pencari suaka itu...
Saya pikir hanya Samudra Atlantik yang berbahaya, ternyata Laut Mediterania juga ya. Mirisnya nasib pengungsi di sistem kapitalisme, mereka harus bertaruh nyawa demi bisa bertahan hidup.
Lagi-lagi kapitalisme menelan korban nyawa.. saatnya khilafah memimpin dunia.
Masyaallah memang hanya sistem Islam yang sangat tepat mengatasi segala problematika kehidupan. Sungguh rugi orang-orang yang negatif thinking terhadap Islam aturan yang datangnya dari Allah Swt Sang Maha Kuasa bumi dan seluruh isinya.