Panggung Sastra New York Gempar, Novelis Kontroversial The Satanic Verses Terkapar

”Dari kebebasan berpendapat inilah lahir orang-orang yang berani menghina, mengejek dan menghujat Rasulullah saw. Bahkan, mengotak-atik ajaran Islam yang baku. Tak ayal, pengadilan jalanan bermunculan demi menuntut keadilan, disebabkan tidak adanya hukuman tegas di negeri ini yang menjadikan para pelaku penista agama jera.”

Oleh. Witta Saptarini, S.E.
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-New York dikenal dengan kota yang memiliki banyak nicknames alias julukan. Di antaranya ‘The Big Apple’ dan ‘The City that Never Sleeps’. Tak heran, kota sibuk sejagat raya ini merupakan salah satu wilayah metropolitan terpadat di dunia. Tak hanya itu, julukan surganya mode dan rumah bagi pencinta seni pun melekat padanya. Berbicara tentang seni, belum lama ini kabar menggemparkan datang dari panggung sastra New York. Insiden penikaman terjadi kepada seorang novelis asal Inggris, Salman Rushdie dengan salah satu mahakaryanya yang kontroversial pada tahun 1988, yakni The Satanic Verses alias ayat-ayat setan. Tak lama setelah kejadian, berbagai platform digital ramai menyuguhkan informasi terkait insiden mencekam ini.

Kronologis Penikaman Salman Rushdie

Dikutip dari laman Viva.co.id pada Sabtu (13/8/2022), kejadian penikaman Salman Rushdie penulis buku ayat-ayat setan atau The Satanic Verses, berada tepat di atas panggung sastra Chautauqua Institute, New York, pada Jumat 12 Agustus 2022, saat memberikan materi kebebasan artistik. Rushdie mendapat tikaman di bagian leher dan dada belasan kali. Dengan menggunakan helikopter, Salman pun langsung diterbangkan ke rumah sakit untuk menjalani operasi darurat. Usai kejadian, Rushdie terancam kehilangan salah satu indra penglihatannya, terputusnya saraf di lengan, serta hatinya tertusuk dan rusak. Saksi mata menuturkan kejadian itu awalnya dikira hanya sebuah lelucon atau prank. Sebelum polisi tiba di lokasi kejadian, sejumlah orang bersegera ke atas panggung dan berhasil menangkap pelaku penyerangan.

Profil dan Jejak Kontroversi Salman Rushdie

Penulis kontroversial berkebangsaan Inggris ini lahir di Mumbai, India pada 19 Juni 1947. Salman Rushdie berasal dari keluarga muslim, tetapi kemudian ia menyebut dirinya Ateis garis keras. Pada usia 14 tahun Rushdie dikirim ke Inggris. Di sana ia berhasil menyabet gelar sarjana sejarah di King’s College, Cambridge. Kemudian, ia menjadi warga negara Inggris. Kiprahnya sebagai sastrawan berawal dari penulis iklan sambil menulis novel. Selama Rushdie berkarier sebagai sastrawan, sejumlah mahakaryanya memiliki gaya tulisan campuran unik, yakni history dan magical realism.

Bahkan, 13 dari bukunya pernah memenangkan beberapa penghargaan, dan dinobatkan sebagai salah satu penulis terbaik di Inggris. Hingga, Ratu Elizabeth II menyematkan gelar kebangsawanan padanya. Ia pun menjadi perbincangan dunia setelah merilis novel ke-4, dengan judul The Satanic Verses pada tahun 1988. Novel itu sekaligus membuatnya menjadi sosok kontroversial, karena dianggap menghina Nabi Muhammad saw. Sejak tahun 1989, Salman Rushdie telah lama menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) umat muslim. Sebab, konten bukunya berisikan tuduhan, bahwasanya Nabi Muhammad saw., tidak menerima wahyu dari Allah, melainkan mendapat bisikan setan. Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an dianggapnya sebagai ayat-ayat setan.https://narasipost.com/2022/01/06/semarak-sambut-natal-di-arab-saudi-bukti-salah-kaprah-dalam-toleransi/

Pemilik nama lengkap Ahmed Salman Rushdie, sempat mendapat ancaman pembunuhan dan membuatnya harus bersembunyi di bawah perlindungan otoritas Inggris selama beberapa dekade. Akibat konten novelnya yang terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad saw., dengan plot cerita dan gambaran negatif, buku The Satanic Verses dilarang beredar di India, Iran, Pakistan, kemudian diikuti beberapa negara muslim lainnya. Di Mumbai, novel Rushdie ke-4 ini menimbulkan kerusuhan massal dan menewaskan 45 orang. Rushdie pun sering mendapat kecaman keras dari umat Islam. Lalu, pada tahun 1989 pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini mengeluarkan ultimatum dan fatwa dengan mematok imbalan sebesar 3 juta USD, kepada siapa pun untuk kematian Rushdie.

Sosok Salman Rushdie kerap menyuarakan kritik tentang ekstremisme agama dan juga opresi di India, termasuk pemerintah nasionalis Hindu di bawah pimpinan Perdana Menteri India, Narendra Modi. Pada tahun 2017 silam, pernyataan tak kalah kontroversial pun pernah ia lontarkan dalam sebuah wawancara eeksklusif_“On The Couch with Khoel “,_ India Today TV. Rushdie menyatakan bahwasanya “Merangkul Islam adalah sebuah kesalahan.” Pada tahun 2021 ia lebih sering muncul ke hadapan publik. Kemudian akhirnya, pada Jumat 12 Agustus tahun 2022 kemunculannya di panggung sastra New York, mengantarkannya pada petaka, yakni insiden penikaman dirinya oleh seorang pria yang teridentifikasi bernama Hadi Matar.

Profil Pelaku dan Motif Penikaman

Hadi Matar diketahui sebagai pria berusia 24 tahun asal Fairview, New Jersey. Kini, ia menjadi sasaran perhatian setelah ditetapkan sebagai pelaku penyerangan terhadap Salman Rushdie, hingga novelis tersebut mengalami cedera serius. Pria kelahiran Amerika Serikat ini, berasal dari keluarga imigran Yaroun, Lebanon. Namanya pernah tercantum sebagai member di sebuah pusat kebugaran The States of Fitness Boxing Club, di dekat North Bergen. Menurut manajer club, Rosaria Calabrese, Matar baru saja bergabung pada 11 April lalu, dan ia telah mengikuti 27 babak pada kelas beginner untuk meningkatkan kebugaran fisiknya. Namun, belum lama ini Matar memutuskan untuk hengkang dari keanggotaan club. Ia beralasan akan pergi dan tak kembali untuk sementara waktu.

Desmon Boyle sang owner mendeskripsikan, bahwa tak tampak sosok keras pada diri Matar, justru ia menilai Matar sebagai pribadi yang santun dan tak banyak bicara. Hadi Matar yang telah ditetapkan sebagai pelaku, muncul di pengadilan lengkap dengan pakaian tahanan hitam putih dan lengan terikat borgol. Dia mengaku tidak bersalah atas kasus penikaman itu. Matar telah didakwa pengadilan New York, Amerika Serikat dalam kasus percobaan pembunuhan. Hingga hari ini, penyelidikan masih dilakukan. Pihak kepolisian pun belum memberikan detail terkait identitas serta motif lainnya.

Kebebasan yang Kebablasan Membawa Petaka

Kebebasan berbicara tak membenarkan penghinaan terhadap agama dan kesuciannya. Perlu dipahami, dalam konteks ini kita tidak boleh menggeneralisasi atau stereotip. Artinya, jika ada orang menistakan agama, maka dia tidak mewakili etnis dan agama apa pun, melainkan pandangan apa yang telah memengaruhinya. Berkaca dari kasus ini, Salman Rushdie memang memiliki komunitas menulis. Di mana buah pemikirannya sebagai dampak dari kebebasan Barat yang kebablasan. Sebab, Barat menganggap bahwa menulis adalah bagian dari kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat yang diagung-agungkan.

Celakanya, bagi mereka mengkritik bahkan melecehkan agama serta tokoh-tokoh suci agama, bukanlah suatu masalah. Ya, seperti apa yang mereka terapkan terhadap Islam dan Al-Qur’an hari ini, yang meniscayakan mengantarkan mereka pada petaka. Deret panjang penista agama di berbagai penjuru dunia, tidak akan mungkin mencapai finish line, jika ada sebuah dukungan yang tercipta dari sistem yang diterapkan hari ini, yakni kapitalis sekuler. Sehingga, para penista merasa untouchable, dalam arti diberi fasilitas secara sistemis. Alhasil, terbentuk polarisasi di mana ada orang yang berusaha membela agamanya, dan ada yang menghina agama untuk memperjuangkan hak kebebasan berpendapatnya, serta dengan dalih mengatasnamakan cinta terhadap negaranya.

Pengadilan Jalanan Efek Ketiadaan Sanksi Tegas

Di satu sisi, novel The Satanic Verses jelas memicu kemarahan umat Islam karena menghina Nabi Muhammad saw. Di sisi lain, kejadian penikaman sang novelis menuai banyak respons berlawanan. Sebut saja, respons dari juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran. Nasser Kanaani menyebutkan hal ini merupakan wujud legitimasi hak kebebasan berpendapat. Tak dimungkiri, respons sukacita datang dari sebagian besar umat muslim. Namun, bukan sebagai bentuk SARA ataupun lainnya. Melainkan, sebagai wujud aktualisasi rasa kebersamaan umat Islam, yang tentunya marah dan tidak rida jika agama, Al-Qur’an, dan Rasulullah saw., dilecehkan. Apalagi memfitnah Al-Qur’an sebagai ayat-ayat setan selama bertahun-tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi siapa pun, baik muslim dan nonmuslim yang menghina ayat suci Al-Qur’an. Begitu pun, umat Islam tidak dibenarkan merendahkan kitab di luar agama Islam.

Sementara itu, respons bernapaskan dukungan untuk Salman Rushdie pun ramai dari berbagai kalangan. Salah satunya, cuitan Twitter Presiden Prancis. Emmanuel Macron menyatakan bahwa hal ini merupakan hasil perjuangan universal, mewujudkan kebebasan dan melawan obskurantisme. Bila disimpulkan dari berbagai respons dukungan terhadapnya, bahwasanya Rushdie ditikam saat menjalankan haknya yang tidak boleh dihentikan. Inilah, konsekuensi diterapkannya sistem kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, serta meluhurkan kebebasan berpendapat. Maka, ada jaminan bagi siapa pun dalam menyatakan apa pun yang diinginkan. Dari kebebasan berpendapat inilah lahir orang-orang yang berani menghina, mengejek dan menghujat Rasulullah saw. Bahkan, mengotak-atik ajaran Islam yang baku. Tak ayal, pengadilan jalanan bermunculan demi menuntut keadilan, disebabkan tidak adanya hukuman tegas di negeri ini yang menjadikan para pelaku penista agama jera.

Sanksi Penghina Nabi dalam Tuntunan Islam

Umat muslim bukanlah kaum yang harus memberi respons segala sesuatu dengan amarah. Namun, marah ketika agama kita dihina adalah wajib hukumnya. Kendatipun demikian, respons kita secara pribadi tentunya harus merepresentasikan akhlak dan adab mulia, sebagaimana teladan kita Rasulullah saw. Tapi, bukan berarti kita membiarkan penista terbebas dari hukuman. Artinya, sebagai umat muslim wajib mengawal agar para penista mendapat hukuman maksimal, hingga orang-orang menyadari bahwa di negeri ini tidak ada yang untouchable.

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang pasti benar, sebagai sumber petunjuk kehidupan, aturan hidup, undang-undang, serta sebagai jalan keselamatan baik di dunia dan akhirat. Maka, Al-Qur’an menjadi sumber rujukan umat Islam yang pertama. Jika saat ini negara gagal menghentikan penodaan dan penistaan terhadap agama, tak lain disebabkan sistem sekuler yang telah menempatkan agama tidak pada tempatnya. Bila syariat Islam tidak ditempatkan sebagai sumber konstitusi dan orientasi kehidupan. Melainkan, hanya dijadikan sebagai salah satu alternatif rujukan untuk melahirkan konstitusi dan regulasi buatan manusia. Maka, niscaya kasus penodaan dan penistaan agama akan terus berlanjut.

Dalam kasus penistaan, pencelaan, dan penodaan terhadap agama, Islam memiliki aturan yang sangat tegas. Pun, dalam perkara penghinaan terhadap Rasulullah saw., Allah Swt. di dalam QS. At-Taubah ayat 61 senantiasa telah mengingatkan dengan ayat yang sangat tegas, “Orang-orang yang menghina Rasulullah, maka bagi mereka azab yang pedih.” Jelas, di sini Islam telah memberi ketegasan, bahwasanya ketika ada yang menghina Rasulullah, itu merupakan bagian dari dosa besar yang harus diberi sanksi yang tegas. Kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli mulai dari generasi sahabat dan seterusnya, terkait sanksi bagi penghina Rasulullah saw., adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat dari Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i, Imam al Laits, serta Imam Ishaq bin Rahawaih.

Terbukti, dalam sejarah Khilafah Utsmani, Khalifah Abdul Hamid II mampu menghentikan pementasan drama Voltaire yang menistakan kemuliaan Rasulullah saw. Tanpa tapi tanpa nanti, Sultan Hamid II mengeluarkan ultimatum kepada kerajaan Inggris yang bersikeras menyelenggarakannya, dengan mengobarkan jihad akbar. Alhasil, kerajaan Inggris pun kehilangan nyali. Oleh sebab itu, agama ini benar-benar akan terancam dan tidak terjaga, jika umat tidak memiliki pelindung yang kokoh yakni Khilafah. Islam sebagai agama yang sempurna, akan menjamin terpeliharanya umat dari berbagai pemikiran rusak dan bertentangan dengan Islam. Dengan penerapan syariat secara kaffah, maka penjagaan terhadap agama dan akidah akan terwujud. Di mana, khalifah dalam instisusi Khilafah akan senantiasa melindungi akidah rakyatnya dan menjaga agama dari penistanya.

Wallahu a’lam bish-shawwab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Witta Saptarini S.E Kontributor Narasipost.Com
Previous
Dunia Syirik, Kok Digandrungi?
Next
Paradoks di Balik Penghargaan IRRI
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram