”Sistem kapitalismelah yang menjadikan para pemimpin tidak amanah dalam mengurusi urusan rakyatnya, sementara di sisi lain para penjajah asing berhasil memecah belah persatuan rakyat lewat isu-isu sektarian.”
Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sudan atau biasa dikenal juga dengan sebutan ”Negeri Dua Nil” merupakan wilayah yang terletak di timur laut Afrika dan juga termasuk salah satu negara termiskin di dunia. Padahal, sebenarnya negara ini memiliki sumber daya melimpah yang dapat digunakan dalam mengelola negara. Sumber kekayaan itu di antaranya adalah komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, termasuk mineral dan minyak bumi. Namun ternyata semua kekayaan alam tersebut tak mampu memberi kesejahteraan pada penduduk Sudan, bahkan pembangunan di negara tersebut masih menyisakan berbagai permasalahan termasuk banjir, bandang yang terus berulang setiap tahunnya.
Anomali Iklim sebabkan Banjir Bandang?
Menurut berita yang disampaikan SUNA melalui Abdel Jalil Abdelreheem selaku juru bicara Dewan Nasional Pertahanan Sipil Sudan, bahwa telah terjadi banjir bandang besar di negara itu yang mengakibatkan tewasnya 52 orang warga sipil dan 25 lainnya luka-luka. Kondisi tersebut diakibatkan hujan lebat sejak awal musim gugur lalu. Tidak hanya itu, banjir pun merusak ribuan rumah serta fasilitas umum, pertokoan, hingga lahan pertanian. Abdelreheem melaporkan sedikitnya 5.345 rumah telah hancur dan 2.862 lainnya mengalami rusak parah (CNN Indonesia, 14/08/22)
Sementara itu dalam unggahan video 20D detikNews 14/08/22, Pejabat Direktur Negara Sudan Selatan Adeyinka Badejo Sanogo, menyampaikan bahwa PBB terpaksa mengambil langkah ekstrem dengan menyetop suplai bantuan makanan ke Sudan pasca bencana banjir. Katanya saat ini PBB mengalami kekurangan anggaran, sehingga terpaksa menyetop suplai makanan kepada sebanyak 1,7 juta orang di wilayah bencana. Mirisnya penghentian tersebut dilakukan saat Sudan, baik utara maupun selatan mengalami paceklik parah. Para pakar pun ikut memprediksi bahwa, akan ada sekitar 1,4 juta anak yang mengalami kekurangan gizi hingga kelaparan akut, selama masa paceklik. Maka dipastikan, akan lebih banyak lagi jatuh korban baik itu orang dewasa terlebih anak-anak.
Agaknya persoalan banjir bandang yang dialami Sudan bukanlah masalah baru, sebab hampir tiap tahun negara tersebut harus menanggung akibat dari besarnya curah hujan. Persoalannya terletak pada perubahan iklim yang cenderung ekstrem, begitu penuturan para pakar. Namun benarkah demikian? Bukankah Sudan memiliki berbagai kekayaan alam yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan, serta mengatur tata kelola negara sehingga dapat mengantisipasi banjir yang katanya disebabkan oleh anomali iklim? Tentu hal ini patut ditelaah secara mendalam.
Menelusuri Sumber Kelemahan Sudan
Nyatanya wilayah Sudan terbilang subur, pun memiliki komoditas yang bisa diandalkan di bidang pertanian, perkebunan, maupun peternakan. Di samping itu banyak potensi bahan tambang seperti emas, biji besi, dan tembaga, termasuk cadangan minyak bumi dan gas alam yang mencapai 631 juta barel dan pertama kali ditemukan di wilayah selatan yaitu pada tahun 1979. Namun potensi yang besar itu belum mampu memberi kesejahteraan masyarakat, serta menjalankan roda pembangunan. Sebab berbagai konflik dan pertikaian internal sering terjadi di sana.
Sebagaimana diketahui Sudan memiliki latar belakang konflik yang cukup panjang. Hal itu dijabarkan secara panjang lebar dalam sebuah jurnal terkait krisis yang terjadi di negara tersebut. Bahwa Perang saudara di Sudan sudah berlangsung dari tahun 1956 hingga 2011. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik di antaranya; perbedaan etnis, agama, dan budaya yang sangat mencolok antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Diketahui bahwa masyarakat di wilayah selatan, melakukan penolakan terhadap penerapan hukum Islam di Sudan. Kesenjangan itu menjalar hingga persoalan ekonomi yang dipicu oleh korupsi, politik, dan pendidikan antara Sudan Utara dan Sudan Selatan.
Konflik dalam negeri telah menjadikan pemerintahan tak kunjung stabil. Salah satu pertikaian paling hebat yaitu yang terjadi antara pemerintah pusat di Khartoum Sudan Utara, dengan kelompok etnis di selatan. Diketahui bahwa Sudan Utara merupakan wilayah mayoritas muslim, di mana Sebagian penduduknya keturunan Arab. Sementara selatan, didominasi etnis kulit hitam, dari beragam suku yang sebagiannya adalah nonmuslim.
Seperti halnya negara-negara Afrika, Sudan pun terdiri dari beragam etnis, suku, budaya, wilayah, agama dan kepercayaan. Tidak ada etnis yang dominan, oleh sebab itu pemerintah menetapkan untuk mempersatukan perbedaan tersebut dengan diberlakukannya penerapan syariat Islam karena dianggap mampu menghadirkan stabilitas, tata kelola, serta pertumbuhan.
Hanya saja dipicu adanya pengaruh negara asing seperti Israel dan USA (sebagai penguasa peradaban), sehingga memunculkan benih-benih konflik, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam hingga motif-motif berbau sektarian. Untuk itulah, Sudan terus berusaha dilemahkan baik itu melalui kekuatan militer, hingga menciptakan adu domba internal berdasarkan isu sara.
Kompleksitas problematik inilah yang menyebabkan Sudan terpuruk menjadi negara dunia ketiga, negara miskin yang bahkan untuk mengatasi permasalahan banjir langganan setiap tahun pun tak mampu.
Tak Cukup Hanya Bantuan Pangan
Untuk itu, tak cukup rasanya jika hanya memberikan bantuan pangan. Sebab yang paling mendasar dibutuhkan oleh Sudan adalah penyelesaian mendasar atas segala permasalahan yang dialami. Dimulai dari melepaskan diri atas cengkeraman hegemoni asing, kemudian melakukan stabilisasi negara lewat para pemimpin amanah yang bertindak sebagai (ra’in) atau pengurus urusan rakyat. Sehingga dari sana akan terwujud kemandirian dalam negeri baik itu secara ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan, hingga pemerintahan. Yang kelak dapat menciptakan terobosan-terobosan dalam bidang teknologi dan sains dan mampu mengatasi beragam permasalahan termasuk banjir tahunan.
Hanya saja, cita-cita itu sulit diwujudkan apabila Sudan masih menggunakan sistem buatan manusia sebagai landasan negaranya. Sebab akar dari segala macam kerusakan yang terjadi di negara tersebut, merupakan efek dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Sistem itulah yang menjadikan para pemimpin tidak amanah dalam mengurusi urusan rakyatnya, sementara di sisi lain para penjajah asing berhasil memecah belah persatuan rakyat lewat isu-isu sektarian.
Tak sampai di situ, adanya paham nasionalisme mengakibatkan negeri-negeri Islam lainnya, tak mampu memberi bantuan secara nyata atas dasar persatuan akidah. Yang dengannya dapat membentuk kekuatan global, sehingga mampu mengirimkan bantuan pangan, pengobatan, dan mengerahkan pasukan serta persenjataan guna stabilisasi keamanan di negara Sudan. Lagi-lagi nasionalisme telah melunturkan rasa persatuan dalam tubuh umat Islam, sebab menganggap bahwa permasalahan yang dialami negara lain itu bukan urusan negara kita. Jika pun ada yang memberi bantuan, itu hanya sebatas bantuan pangan saja, sementara pengaruh asing tak dapat dihilangkan sama sekali. Padahal, hegemoni asinglah yang menjadi sebab keterpurukan atas negara Sudan.
Mengatasi Banjir dengan Cara Islam
Menyoal peradaban manusia, hanya peradaban Islamlah dengan sistemnya yang agung yakni Khilafah Islamiah yang mampu memberi perlindungan terbaik atas seluruh warganya. Nyawa manusia adalah prioritas utama bagi Islam dalam menetapkan dan memutuskan suatu kebijakan. Sebab hal itu adalah merupakan bagian dari penjagaan terhadap nyawa manusia (hifdzu an nafs) yang menjadi bagian dari maqashidu asy syariah. Terlebih lagi perspektif negara dalam Islam adalah sebagai institusi yang meriayah (mengurusi) keperluan rakyat.
Paradigma inilah yang menjadi dasar perbedaan antara pemimpin dalam Islam dan kapitalisme. Pemimpin dalam Islam (Khalifah) tidak akan berpikir dua kali untuk merealisasikan tindakan teknis terkait mitigasi bencana. Ditambah lagi dengan sistem keuangan Islam yang berbasis pada Baitulmal, sehingga menjadikan negara memiliki penopang keuangan yang kuat dan stabil sehingga kuat pula dalam menghadapi bencana.https://narasipost.com/2020/10/31/akhiri-pengkhianatan-berkedok-normalisasi-dengan-khilafah-dan-jihad/
Negara dapat mengambil anggaran dari pos kepemilikan umum dan juga pos kepemilikan negara dari lembaga Baitulmal, maka permasalahan banjir akan lebih mudah teratasi dalam sistem Khilafah. Dalam rangka mencegah banjir, negara akan meneliti penyebabnya terlebih dahulu kemudian memetakan kawasan. Jika banjir disebabkan karena keterbatasan tanah dalam menampung air baik atas curahan hujan, gletser, rob, dan lain-lain. Maka Khilafah akan membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari sungai kemudian hujan, dan lain sebagainya. Bahkan, masih terdapat bukti-bukti fisik atas pembangunan bendungan yang pernah dilakukan semasa Khilafah Islamiah yang hingga kini masih terlihat. Adapun bentukan bendungan-bendungan itu dapat dibangun dengan berbagai tipe, yaitu ada yang digunakan untuk mencegah banjir atau keperluan irigasi. Salah satu di antaranya adalah Shadravan, kanal Darian, dan bendungan Jareh, kanal Gargar, serta bendungan Mizan yang terletak di Khuzestan daerah Iran selatan. Bendungan yang masih berdiri kokoh itu, dibangun demi kepentingan irigasi dan juga pencegahan banjir.
Adapun di daerah Spanyol, Khilafah pun berhasil membangun bendungan di sungai Turia. Yang mana kehebatan konstruksi bangunan itu masih bertahan hingga kini. Bendungan tersebut mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia Spanyol tanpa perlu ada penambahan sistem. Selain itu, Khilafah akan memetakan daerah rendah yang rawan terkena genangan air baik akibat rob, kapasitas resapan tanah yang minim dan lain-lain. Selanjutnya, Khilafah akan menetapkan kebijakan yang melarang masyarakat untuk membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut.
Bisa juga bila ada pendanaan yang cukup, maka Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau membuat resapan. Sehingga air yang mengalir di daerah tersebut dapat dialihkan alirannya, atau dapat diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini maka, daerah dataran rendah dapat terhindar dari banjir atau genangan. Adapun daerah-daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan akan tetapi disebabkan sesuatu dan lain hal sehingga mengakibatkan penurunan tanah, hingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin untuk menangani genangan itu. Jika pun tidak memungkinkan maka Khilafah akan melakukan evakuasi pada penduduk di daerah tersebut kemudian dipindahkan ke daerah lain dan memberikan ganti rugi (kompensasi) kepada mereka.
Langkah selanjutnya, Khilafah akan mengeruk lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Tak hanya sampai di situ, Khilafah pun akan melakukan penjagaan yang ketat atas kebersihan sungai, danau, dan kanal dengan cara memberi sanksi kepada siapa saja yang mengotori atau mencemarinya. Khilafah juga akan membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu, yang digunakan selain untuk resapan, juga sebagai tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan terutama pada musim kemarau atau paceklik air. Upaya mitigasi bencana banjir lainnya adalah Khilafah akan membuat kebijakan terkait master plan agar pembukaan pemukiman atau kawasan baru harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah resapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik dan topografinya.https://narasipost.com/2021/01/20/banjir-melanda-akibat-keserakahan-manusia-rakyat-jadi-korban/
Khilafah juga akan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai wilayah hima atau cagar alam, yang wajib dilindungi. Terakhir, Khilafah akan menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pandang bulu. Cara-cara tersebut diakui sangat ampuh dalam mengatasi persoalan banjir. Misalnya pun ketika terjadi banjir maka, Khilafah memiliki badan khusus yang senantiasa sigap mengatasi bencana yaitu biro At-Thawari. Yang mana mereka akan dilengkapi dengan peralatan berat dalam rangka evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.
Dengan demikian, persoalan yang dihadapi negara Sudan akan dapat teratasi secara komprehensif dan mendasar, jika para pemimpin negara tersebut mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan Khilafah Islamiah. Agar kehormatan, kesejahteraan, dan keamanan seluruh rakyat dapat terpenuhi.
Khatimah
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda:
تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُم يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاء أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
”Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Kemudian Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Bazzar)
Untuk itu bersabarlah wahai kaum muslimin, baik yang ada di negara Sudan maupun negeri-negeri Islam lainnya. Kuatkan serta rapatkan barisan kalian berdasarkan persatuan akidah. Teruslah mendakwahkan Islam kaffah di tengah-tengah umat, sebab tak lama lagi bisyarah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam akan menjadi nyata. Allahu Akbar![]