”Tampaknya, asas kekuasaan berada di tangan rakyat hanya berlaku jika rakyat tidak menghendaki penerapan Islam. Slogan demokrasi dari rakyat untuk rakyat hanyalah sebuah ilusi. Faktanya, yang boleh memegang kekuasaan adalah mereka yang tidak menerapkan Islam.”
Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sudah 10 bulan rakyat Irak tidak memiliki pemerintahan. Pemilu yang dilaksanakan pada Oktober tahun lalu tidak berhasil membentuk pemerintahan baru. Kubu-kubu yang bersaing dalam pemilu tidak mencapai kata sepakat tentang siapa saja yang akan menempati posisi penting dalam pemerintahan.
Rencana kelompok Syiah pro-Iran untuk membentuk pemerintahan yang baru ditentang keras oleh kelompok Syiah pimpinan Moqtada Al-Sadr. Mereka yang berada dalam kelompok Kerangka Koordinasi hendak mencalonkan Mohammed Shia Al-Sudani sebagai PM yang baru. Pendukung Sadr menolak Sudani karena faksinya didominasi oleh musuh-musuh politik Sadr, seperti mantan PM Nuri Al-Maliki dan Hashed Al-Shaabi.
Al-Sadr menilai mereka telah berlaku korup. Karena itu, ia pun menyerukan pendukungnya untuk menduduki parlemen. Al-Sadr memang sempat meminta pendukungnya untuk keluar dari gedung parlemen. Namun, ia kembali menyerukan kepada para pendukungnya untuk melanjutkan aksi hingga tuntutan mereka dipenuhi. (voaindonesia.com, 4/8/2022)
Demokrasi Bukan Jalan Kita
Sistem demokrasi telah diterapkan di Irak sejak wilayah itu beralih dari bentuk pemerintahan monarki menjadi republik pada tahun 1958. Presiden pertamanya adalah Jenderal Abdul Karim Qasim yang memimpin kudeta militer terhadap Raja Faisal II. Ia menduduki jabatan itu hingga tahun 1963. Setelah itu terjadi beberapa kali pergantian presiden, baik karena digulingkan, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya.
Pada masa rezim Saddam Hussein, pejabat Irak berasal dari kalangan Sunni. Namun, sejak Saddam Hussein jatuh, kekuasaan di Negeri Seribu Satu Malam itu pun dibagi. Partai politik yang mewakili kaum Syiah mendapat posisi perdana menteri. Suku Kurdi mendapatkan posisi sebagai presiden. Sedangkan, jabatan sebagai ketua parlemen diberikan kepada kaum Sunni.
Kaum Syiah sendiri terpecah antara yang anti campur tangan asing dengan yang pro. Salah seorang ulama Syiah yang menolak campur tangan asing adalah Moqtada Al-Sadr. Ia mendirikan Laskar Mahdi pada tahun 2003. Ia sangat gigih dalam menentang pendudukan Amerika Serikat pasca penggulingan Saddam Hussein. Berbagai label buruk diberikan kepada Al-Sadr dan pendukungnya. Mereka dituduh melakukan pembunuhan serta memicu pertempuran antarkelompok. Majalah berita Newsweek bahkan menjulukinya sebagai “pria paling berbahaya di Irak”.
Karena merasa terancam, pada tahun 2003, Al-Sadr pindah ke Iran. Namun, ia tetap memberikan komando kepada kelompoknya. Al-Sadr kembali ke Irak pada tahun 2008 dan melanjutkan perjuangannya. Amerika Serikat akhirnya meninggalkan Irak pada tahun 2011.
Al-Sadr yang pada awalnya berniat untuk meninggalkan dunia politik, membentuk Brigade Perdamaian pada akhir 2014 untuk melindungi tempat-tempat suci kaum Syiah dari serangan ISIS. Setelah ISIS berhasil dikalahkan, Al-Sadr berjuang melawan pemerintah yang korup dengan mengikuti pemilu.
Partainya berhasil memenangkan pemilu yang diadakan pada tanggal 10 Oktober 2021 silam, mengalahkan Aliansi Fatah. Dari 329 kursi, 74 di antaranya berhasil direbut partai Al-Sadr. Sedangkan Aliansi Fatah hanya mendapatkan 17 kursi.
Meski mendapatkan kemenangan, Al-Sadr gagal melakukan negosiasi untuk membentuk koalisi dengan partai lain. Karena itu, mereka gagal membentuk pemerintahan yang baru. Hingga 10 bulan setelah pemilu, upaya negosiasi tidak menemukan titik temu.
Akibatnya, berbagai layanan publik tidak dapat diberikan karena tidak ada anggaran belanja negara yang disahkan. Tidak ada perbaikan infrastruktur. Listrik dan air menjadi barang yang langka. Layanan kesehatan serta pendidikan juga buruk.
Kondisi yang sama pernah dialami oleh FIS di Aljazair. Front Islamic du Salut berdiri pada tahun 1989. Dua tahun kemudian, FIS memenangkan pemilu dengan memperoleh 54% suara. Partai yang dipimpin oleh Abassi Madani dan Ali Belhadj ini mendapat 188 kursi yang merupakan 81% kursi di parlemen.
Sayangnya, demokrasi tidak berpihak kepada mereka yang berjuang untuk menegakkan Islam. Presiden Benjedid yang partainya kalah dalam pemilu kemudian mengundurkan diri. Namun, ia melakukan konsolidasi dengan mereka yang tidak menginginkan FIS berkuasa.
Kemenangan FIS kemudian dibatalkan melalui kekuatan militer. FIS pun dinyatakan sebagai partai terlarang. Ribuan anggota serta pendukungnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. (eramuslim.com, 25/8/2009)
Tampaknya, asas kekuasaan berada di tangan rakyat hanya berlaku jika rakyat tidak menghendaki penerapan Islam. Slogan demokrasi dari rakyat untuk rakyat hanyalah sebuah ilusi. Faktanya, yang boleh memegang kekuasaan adalah mereka yang tidak menerapkan Islam.
Meski kasusnya berbeda, kedua fakta itu membuktikan bahwa teori demokrasi tidak seindah kenyataannya. Berharap kepada demokrasi hanya akan mendatangkan keputusasaan. Bahkan, hanya kesengsaraan yang tidak berujung.
Islam Jalan Kemenangan
Berbagai fakta yang ada telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak layak menjadi solusi. Baik bagi Irak maupun negeri-negeri Islam lainnya. Bahkan, ia tidak layak bagi umat manusia seluruhnya. Sebab, sistem ini memang cacat sejak kemunculannya.
Sebagai sistem buatan manusia, demokrasi memiliki banyak kekurangan. Terutama pada asas sekularismenya yang memisahkan agama dari kehidupan. Dengan asasnya ini, manusia bebas membuat aturan hidupnya sesuai kehendaknya.
Justru karena inilah, demokrasi tidak pernah mampu mengakomodasi kepentingan semua manusia. Akibatnya, akan selalu timbul pertentangan dan perselisihan di antara mereka. Sebab, semua menginginkan terwujudnya kepentingan diri atau kelompoknya.
Berbeda dengan demokrasi, Islam adalah aturan yang berasal dari Sang Pencipta manusia. Karena itu, aturan Islam merupakan aturan yang paling tepat bagi manusia, termasuk dalam mendapatkan kekuasaan.
Hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat Beliau diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menerapkan Islam secara kaffah, Beliau melakukan perubahan terhadap masyarakat terlebih dahulu. Beliau mendakwahkan Islam selama 13 tahun di kota Makkah. Namun, kejumudan penduduk Makkah membuat Beliau belum berhasil menerapkan Islam.
Pertemuan Beliau dengan beberapa kepala kabilah dari kota Madinah kemudian mengubah kondisi tersebut. Merekalah yang menerima dakwah Islam secara kaffah, hingga mereka bersedia menyerahkan kepemimpinan kepada Rasulullah saw.
Inilah jalan yang seharusnya ditempuh untuk meraih kemenangan yang hakiki. Yakni, melalui dakwah pemikiran kepada umat. Bukan melalui demokrasi dan parlemennya. Sebab, itulah metode yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Beliau berasal dari wahyu. Allah Swt. berfirman,
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحيٌ يوحى**
”Dan tidaklah yang diucapkannya itu dari hawa nafsu. Hal itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm [53]: 3-4)
Seharusnya jalan inilah yang ditempuh kaum muslimin, termasuk mereka yang berada di Irak. Melalui jalan itu, mereka akan mendapatkan kemuliaan sebagaimana mereka dulu mendapatkannya saat berada di bawah naungan Khilafah Islam.
Wallaahu a’lam bishshawaab.[]