Rasisme di Negeri Rousseau

"Apa yang terjadi di Prancis tidak pernah terjadi di wilayah yang menerapkan sistem Islam. Sebab, Islam tidak pernah memandang kemuliaan manusia dari fisik luarnya. Berbagai bangsa dengan warna kulit mereka, diciptakan oleh Allah Swt. agar mereka dapat saling mengenal."

Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Liberte, egaliti, fraterniti. Itulah semboyan yang digaungkan oleh rakyat Prancis saat Revolusi Prancis. Revolusi yang terjadi karena terinspirasi oleh J.J Rousseau.

Semboyan yang bermakna kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan itu lahir karena saat itu rakyat Prancis berada di bawah penindasan penguasa monarki. Mereka menghendaki kesetaraan bagi semua. Tidak ada perbedaan antara kaum bangsawan dan rakyat biasa.

Sayangnya, ini tidak berlaku bagi Nahel Merzouk, seorang imigran dari Afrika Utara. Seorang polisi Prancis telah melakukan penembakan terhadap remaja berusia 17 tahun ini pada hari Selasa pagi (27/62023). Tak lama setelah penembakan, ia menemui ajalnya.

Peristiwa penembakan ini menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran di Prancis. Demonstrasi itu berlangsung selama empat hari dan baru mereda pada hari kelima setelah aksi penembakan. Polisi kemudian mengamankan 1.311 orang yang mengikuti demonstrasi. Sebagian peserta demo adalah remaja di bawah umur.

PBB pun memberikan tanggapan atas peristiwa ini. Ravina Shamdasani, juru bicara kantor Hak Asasi Manusia PBB menyatakan keprihatinannya. Ia mendorong Prancis untuk menangani masalah rasisme dan diskriminasi dalam penegakan hukum secara serius. (cnnindonesia.com, 1/7/2023)

Kronologi Peristiwa

Peristiwa penembakan itu dipicu oleh pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Nahel. Dua orang polisi berusaha untuk menghentikan mobil yang dikendarainya. Salah seorang polisi menodongkan senjatanya melalui jendela dan menembakkan senjatanya. Mobil masih sempat berjalan sebelum akhirnya berhenti karena menabrak tiang. (detik.com, 2/7/2023)

Masyarakat menduga bahwa penembakan di Nanterre, pinggiran Kota Paris itu dilakukan karena Nahel berwajah kearab-araban. Nahel merupakan keturunan imigran dari Aljazair. Dugaan itu muncul karena peristiwa seperti ini sudah beberapa kali terjadi.

Setelah peristiwa itu, terjadi demonstrasi yang berlangsung rusuh. Para demonstran membakar tempat sampah dan mobil, serta menghancurkan halte bus. Kerusuhan menyebar ke pinggir Kota Paris lainnya dan kota-kota sekitarnya, seperti Toulouse, Lille, dan Dijon. Para demonstran melakukan perusakan pada bangunan-bangunan milik pemerintah, seperti gedung sekolah dan balai kota. Bahkan, markas besar Olimpiade Paris 2024 yang terletak di dekat Seine-Saint-Denis juga dibakar.

Sebanyak 4.500 personel polisi diterjunkan untuk meredakan protes ini. Mereka menyemprotkan gas air mata. Meskipun sudah dilengkapi dengan kendaraan lapis baja, 79 polisi mengalami luka-luka.

Jejak Rasisme di Prancis

Prancis dijuluki sebagai 'surga' para imigran. Negara itu memang banyak didatangi oleh para imigran sejak abad ke-19. Mereka datang dari negara-negara Eropa lainnya seperti Inggris, Jerman, Italia, Irlandia, serta kawasan Skandinavia. Kedatangan mereka ke Prancis untuk mencari pekerjaan dan menetap di sana.

Setelah Prancis meratifikasi Perjanjian Schengen, imigran yang datang makin banyak. Puncaknya terjadi pada akhir abad ke-20. Mereka tidak hanya berasal dari wilayah Eropa, tetapi juga dari Asia, Afrika Utara, serta Amerika Latin. Konflik yang terjadi di wilayah asal, menjadi salah satu alasan kedatangan para imigran ini ke Prancis.

Perjanjian Schengen mengharuskan Prancis menerima para imigran yang terusir dari negara mereka. Di samping itu, Prancis juga harus memberikan status kewarganegaraan kepada mereka. Pemerintah Prancis pun membangun proyek perumahan untuk mereka di pinggiran kota. Wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan banlieue.

Sebenarnya, banlieue merupakan sebutan bagi wilayah di pinggiran kota yang memiliki otonomi secara administratif. Namun, pada tahun 1970-an, istilah ini mengalami penyempitan makna. Istilah banlieue hanya digunakan untuk wilayah pemukiman para imigran yang miskin.

Meskipun diakui sebagai warga negara, para imigran ini hanya menempati posisi sebagai warga negara kelas dua. Mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan maupun tempat tinggal yang sama seperti warga negara lainnya. Hal ini menyebabkan sulitnya terbentuk integrasi antara penduduk asli dengan para imigran ini.

Sikap ini terus dilanggengkan oleh penguasa Prancis. Prancis menganggap para imigran ini seolah-olah tidak ada. Karena itu, mereka tidak dicantumkan saat pendataan populasi. Hal ini menunjukkan bahwa Prancis ternyata menjadikan semboyan libertí, egaliti, fraternití hanya sebatas semboyan tanpa bukti.

Perbedaan perlakuan ini menjadi sebuah bom waktu hingga memunculkan kerusuhan. Pada tahun 1979, terjadilah kerusuhan banlieue yang pertama kalinya. Kerusuhan ini terjadi di pinggir Kota Lyon, Vaulx-en-Velin. Penyebabnya adalah dilakukannya penangkapan terhadap seorang remaja keturunan Afrika Utara.

Namun, kerusuhan terbesar terjadi pada tahun 2005. Kerusuhan yang berlangsung selama tiga minggu itu dipicu oleh meninggalnya dua remaja akibat tersengat listrik saat menghindari polisi. Nicolas Sarkozy yang saat itu menjadi presiden menyebut para pemuda yang melakukan unjuk rasa sebagai sampah yang harus dibersihkan.

Tak hanya melakukan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki kulit berwarna, sikap diskriminasi ini juga dilakukan terhadap kaum muslimin. Prancis yang mendukung sekularisme, menerjemahkan makna sekuler ini sesuai dengan keinginannya. Bukannya membiarkan urusan agama di ranah pribadi anggota masyarakat, Prancis justru mengarahkan makna sekularisme ini ke arah tertentu. Umat Islam di sana dipaksa untuk mengambil budaya Eropa, dilarang memakai hijab dan nikab. Sikap islamofobia pun berkembang di kalangan warga lokal.

Islamofobia kemudian dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan oleh partai sayap kanan. Islam digambarkan sebagai ideologi yang berbahaya dan harus diperangi. Partai National Rally mempropagandakan ancaman Islam dan kaum muslimin. Partai ini terus memunculkan ketakutan masyarakat akan dominasi kaum muslimin di Eropa yang akan menggerus nilai-nilai asli Eropa serta menghancurkan kekuatan sosial ekonomi masyarakat lokal. Inilah yang mereka sebut dengan The Great Replacement.

Namun, sebagian politisi juga memanfaatkan suara para imigran untuk meraih kekuasaan. Seperti yang dilakukan oleh Emmanuel Macron. Ia menyatakan menolak rasisme dan islamofobia, meskipun pernyataannya itu merupakan suatu paradoks.

Semua fakta ini menunjukkan sikap hipokrit dari para pengusung HAM. Mereka selalu berteriak tentang penjagaan hak asasi manusia saat umat Islam melaksanakan syariat. Namun, mereka justru pelaku utama pelanggaran HAM. Mereka menyerukan pemisahan agama dari kehidupan. Nyatanya, merekalah yang memaksakan ideologi mereka diterapkan oleh setiap orang, termasuk umat Islam. Jadi, siapa sebenarnya yang pantas disebut sebagai intoleran?

Islam Menghapus Rasisme

Apa yang terjadi di Prancis tidak pernah terjadi di wilayah yang menerapkan sistem Islam. Sebab, Islam tidak pernah memandang kemuliaan manusia dari fisik luarnya. Berbagai bangsa dengan warna kulit mereka, diciptakan oleh Allah Swt. agar mereka dapat saling mengenal. Allah Swt. telah menyatakan hal ini dalam surah Al-Hujurat [49]: 13. Di ayat ini juga dinyatakan bahwa yang menjadikan seseorang mulia di hadapan Allah Swt. adalah ketakwaannya.

يَآيُّهَا النَّاسُ إِناَّ خَلَقْناَكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَاىِٔلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian seorang laki-laki dan seorang wanita. Dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."

Inilah yang diterapkan oleh Rasulullah saw. dan para pengganti Beliau. Beliau tidak pernah merendahkan Bilal bin Rabah yang berkulit hitam. Padahal, Bilal awalnya adalah budak keturunan Abyssinia. Beliau juga menerima Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia. Hal ini membuat proses penyatuan kaum muslimin lebih cepat dilakukan. Ikatan akidah yang membuat hal itu mudah dilakukan.

Hal ini juga dilakukan oleh para khalifah pengganti Beliau. Saat melakukan futuhat, para khalifah itu tidak membedakan antara penduduk asli dengan pasukan kaum muslimin. Tidak ada perbedaan dalam hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Semua mendapat hak dan kewajiban yang sama. Mereka mendapatkan kesempatan untuk belajar, bekerja, menerima layanan kesehatan, dan sebagainya.

Di samping itu, sistem Islam juga menghormati hak penganut agama lain. Mereka dibiarkan untuk beribadah sesuai dengan agama mereka. Namun, mereka tidak diperkenankan untuk melakukan syiar agama mereka.

Demikianlah, Islam yang sering dituduh intoleran sejatinya telah mengamalkan sikap toleran jauh sebelum HAM dicantumkan dalam Mukadimah Piagam PBB pada tahun 1945. Sebaliknya, mereka yang menuding Islam intoleran, justru menunjukkan intoleransi mereka. Karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim kembali mengambil Islam untuk mengatur kehidupan kita. Maka, kebahagiaan hidup dunia dan akhirat akan kita dapatkan, rida Allah Swt. pun kita raih.

Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]

 

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
TPS Liar Ditutup, Apakah Cukup?
Next
Kala Aneksasi Israel Dikecam Barat
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

7 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Ragil
Ragil
1 year ago

Judulnya cakep. Prancis memang terdepan kalo urusan Islamofobia. Memang hanya Khilafah yang bisa membungkam Prancis.

Dyah Rini
Dyah Rini
1 year ago

Benar Mbak Mariyah, sesungguhnya Islam telah menjamin hak semua manusia tanpa membedakan bangsa, keturunan, warna kulit untuk mendapat predikat mulia. Islam hanya melihat dari sisi ketakwaannya. Ketika sistem Islam diterapkan oleh khilafah, semua rakyatnya mendapatkan perlakuan yang sama termasuk kepada kafir dzimi.

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

Rasisme akan terus subur di belahan dunia manapun selama sekuler tetap dijadikan asas bagi kehidupan. Hanya, Islam yang mewujudkan toleransi sesungguhnya.

Hanum Hanindita
Hanum Hanindita
1 year ago

Yes, di Prancis memang bukan sekedar rasisme biasa...tapi bentuk kebencian Barat terhadap Islam yg teramat sangat...pada sub judul Jejak Rasisme di Prancis, banyak memberikan informasi utk saya...trma kasih penulis artikel

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Miris ya, rasisme akut sudah menggerogoti Barat. Fakta-fakta rasis dan ambigunya HAM seharusnya menyadarkan manusia, bahwa hanya ideologi Islam yang memiliki sikap toleran terhadap semua manusia. Dan rasisme tidak akan menggurita dalam sistem Islam.

Wd Mila
Wd Mila
1 year ago

Mereka mempropagandakan pluralisme, tapi gagal merawat pluralitas di negerinya

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
1 year ago

Akhirnya sebebas apapun suatu negeri, akan tergelincir juga tanpa adanya penerapan aturan dari Allah Swt

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram