Sri Lanka Bangkrut, Refleksi untuk Indonesia?

"Dari kisah pahit kebangkrutan Sri Lanka, Indonesia seharusnya belajar betapa bahaya dan mengerikan ketika sebuah negara terjebak utang luar negeri. Wajar jika kondisi Indonesia yang memiliki kemiripan dengan jejak  Sri Lanka membuat khawatir rakyatnya. Jumlah utang luar negeri yang kian menggunung, yakni tembus 7000 triliun sebenarnya sulit bagi rakyat untuk bersikap tenang dan percaya begitu saja kepada pemerintah yang selalu menyatakan bahwa posisi utang ini masih terjaga dalam batas aman, wajar dan terkendali."

Oleh. Ita Mumtaz
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Negara Sri Lanka menyatakan diri sebagai negara bangkrut setelah krisis yang terjadi akibat gagal membayar utang luar negeri yang mencapai US$51 miliar. Sebagian dari utangnya digunakan untuk pendanaan infrastruktur tanpa perencanaan yang matang.

Menanggapi kasus ini, ekonom senior, Rizal Ramli, memberikan analisis tentang pemicu kebangkrutan di Sri Lanka. Rizal mengatakan kondisi ekonomi negara tersebut biasa saja, hanya saja pemimpinnya terlalu berlebihan dan ugal-ugalan membangun proyek infrastruktur yang dibiayai oleh negara lain. (Tvonenews.come, 13/07/2022)

Kebangkrutan yang dialami negara kecil ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Sebelumnya telah mengalami krisis, semua harga  kebutuhan pokok tak mampu dijangkau oleh rakyatnya. Beban utang negara semakin berat, diperparah dengan mata uang Sri Lanka jatuh merosot hingga 80 persen berdampak pada pembayaran utang. Sementara kebutuhan di dalam negeri selama ini menggantungkan dari pasokan impor. Sehingga ketika stok pangan menipis, ketahanan pangan negara jebol karena tak lagi memiliki kemandirian.

Ditambah lagi dengan kebijakan yang berlebihan dan ugal-ugalan dalam membangun proyek infrastruktur yang dibiayai oleh negara lain. Sudahlah pembiayaannya dari utang, masih diperparah dengan adanya korupsi dan nepotisme dalam proyek pembangunan tersebut.

Lalu, saat terjadi kesulitan devisa, datanglah penjahat IMF yang berkedok sebagai sang penolong dengan bantuan daruratnya. Padahal itu justru akan menambah beban utang semakin berat, negara pun perlahan terseok, lalu ambruk. Jadi, para pejabat sebenarnya menjalankan proyek besar itu tidak untuk kepentingan rakyat. Tapi rakyat dipaksa menanggung ketika utang tak mampu dibayar dan menambah beban anggaran.

Dalam kondisi dalam negeri yang hancur ini, presiden Sri Lanka menampakan dirinya sebagai seorang pengecut, yakni melarikan diri ke negara tetangga Maladewa menggunakan kapal perang.

Waspada Jebakan Utang

Namanya saja jebakan. Pihak yang dijebak pada awalnya tidak tahu jika sesuatu yang menggiurkan itu ternyata sangat mengerikan dan berbahaya. Demikianlah utang luar negeri selalu dipromosikan secara masif di negara berkembang sebagai jalan efektif demi mempercepat laju perekonomian. Pembangunan banyak infrastruktur merupakan proyek andalan menuju negara maju. Namun, semuanya pasti akan berakhir dengan cengkeraman utang dari negara kapitalis.

Srilanka sebenarnya memiliki tanah yang subur. Tulang punggung ekonomi Sri Lanka bahkan ekspor produk pertanian, juga sebagai negara pengekspor teh terbesar kedua di dunia.
Komoditas ekspor lainnya adalah tekstil dan produk garmen, rempah-rempah, hasil laut, karet dan produk olahannya, kelapa dan produk olahannya. Serta berbagai jenis batu mulia: safir, mirah delima, berlian, zamrud, giok, biduri laut, akik, opal dan sebagainya.

Bahkan di tahun 1987 sektor pertanian merupakan sektor andalan ekspor dan memberikan sumbangan sebesar 24,2 persen dari total PDB. Sektor pertanian ini menyerap hampir separuh jumlah tenaga kerja yang ada di seluruh negara. (wikipedia.org)

Namun, kondisinya telah berbalik setelah menjalankan advice dari negara pengutang. Dimulai dari pencabutan subsidi untuk rakyat, peningkatan jumlah dan jenis pajak, penerapan pasar bebas, semakin terbukanya keran impor, hingga penyerahan sumber daya alam.

Dari kisah pahit kebangkrutan Sri Lanka, Indonesia seharusnya belajar betapa bahaya dan mengerikan ketika sebuah negara terjebak utang luar negeri. Wajar jika kondisi Indonesia yang memiliki kemiripan dengan jejak  Sri Lanka membuat khawatir rakyatnya. Jumlah utang luar negeri yang kian menggunung, yakni tembus 7000 triliun sebenarnya sulit bagi rakyat untuk bersikap tenang dan percaya begitu saja kepada pemerintah yang selalu menyatakan bahwa posisi utang ini masih terjaga dalam batas aman, wajar dan terkendali.

Indonesia memang dikaruniai kelebihan dari sisi sumber daya alam, yaitu memiliki komoditas seperti tambang, sawit dan sebagainya dalam jumlah besar. Namun, semuanya tak akan bisa mengimbangi utang jika proyek infrastruktur terus berjalan tanpa perencanaan matang, termasuk ngototnya pengadaan pembangunan ibu kota negara baru. Apalagi jika melihat angka tanggungan negara tahun ini, yaitu harus membayar pokok Rp400 triliun tahun ini, untuk bunga Rp405 triliun, total Rp805 triliun.

Pantas saja jika kondisi kehidupan rakyat dari negara yang dijuluki zamrud katulistiwa ini kian sulit dan terimpit. Semua bahan kebutuhan pokok hampir tak mampu terbeli. Dari bumbu dapur hingga hingga pertamax, iuran BPJS, tarif listrik masih ditambah beban pajak yang makin menggila.

Untuk itu, rakyat tidak boleh larut bersama narasi pejabat yang senantiasa menenangkan hati, namun jauh dari fakta yang harus dihadapi rakyat. Sebab apa pun yang terjadi nanti, lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban. Rakyat harus tetap waspada dan terus mengingatkan serta memberi masukan kepada penguasa.

Terjadinya tragedi kebangkrutan ekonomi adalah akibat dari penerapan ekonomi kapitalis liberalis yang selalu berpihak pada kepentingan para pemilik modal tanpa memperhatikan kebutuhan rakyat. Hal ini tidak mustahil bisa terjadi di Indonesia jika sistem kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Negara kapitalisme menjadikan utang sebagai tumpuan, bahkan menjadi alat penjajahan bagi negara pemberi utang. Hal ini berlawanan dengan Islam yang mengharamkan utang berbasis riba.

Islam juga memiliki aturan sempurna berkaitan dengan kepemilikan. Sumber daya alam yang terkategori kepemilikan umum, haram untuk dikelola swasta apalagi asing. Negaralah yang berwewenang mengelola dan mengembalikan pada kemaslahatan rakyat. Dengan demikian, tanpa utang dan perampokan sumber daya alam oleh asing, kas negara menjadi surplus karena bersumber pada kekayaan alam yang berlimpah sebagai karunia Allah. Negara memiliki kemandiran pangan dan ketahanan politik dengan sosok pemimpin yang amanah dan penuh integritas tanpa intervensi dari negara penjajah. Wallahu a’lam bish-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ita Mumtaz Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Ada Apa dengan Kerupuk?
Next
Luka dalam Karier
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram