“Apa yang terjadi di Sri Lanka saat ini, tidak tertutup kemungkinan juga akan terjadi di Indonesia. Sebagaimana Sri Lanka, Indonesia juga turut dalam proyek BRI yang digagas Cina. Saat ini, Indonesia juga terjerat utang yang luar biasa besarnya.”
Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sri Lanka memanas! Krisis ekonomi berkepanjangan telah membuat rakyat marah. Negara itu gagal membayar utang luar negeri sebesar 51 miliar USD. Akibatnya, negara di Teluk Benggala itu pun dinyatakan mengalami kebangkrutan. (detik.com, 26/6/2022)
Kerusuhan pun tak dapat dielakkan. Ribuan orang menyerbu istana negara pada tanggal 9 Juli 2022. Mereka menuntut presiden dan perdana menteri untuk mundur dari jabatannya. Gelombang demonstran pun berhasil menguasai istana. Namun, mereka tidak menemukan Presiden Gotabaya Rajapaksa yang telah menyelamatkan diri ke tempat yang aman.
Mendapati istana tak lagi dijaga, para demonstran pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka kemudian mencoba fasilitas mewah yang ada di istana. Mulai dari tidur di ranjang sang presiden, hingga berenang-renang di kolam istana. Tak cukup dengan mendatangi istana negara, mereka kemudian pergi ke kediaman Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dan membakarnya.
Tampaknya, kesabaran mereka telah habis. Penderitaan yang mereka alami dalam beberapa bulan terakhir, membuat mereka tak mampu menahan diri. Setelah demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat, presiden dan perdana menteri Sri Lanka pun menyatakan akan mengundurkan diri pada tanggal 13 Juli 2022. (cnnindonesia.com, 10/7/2022)
Kronologi Krisis Sri Lanka
Sri Lanka adalah sebuah negara di kawasan Asia Selatan yang merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Sejak berakhirnya perang saudara pada tahun 2009, Sri Lanka tidak banyak mengekspor barang ke luar negeri. Negara kepulauan itu fokus menyediakan barang untuk kebutuhan pasar domestik.
Penghasilan terbesar negara ini berasal dari sektor pariwisata dan ekspor beras. Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda dunia serta isu terorisme melalui serangan pada gereja-gereja, membuat turunnya jumlah wisatawan asing ke negara itu. Akibatnya, pendapatan dari sektor pariwisata pun menurun. Cadangan devisa pun berkurang.
Di saat yang sama, pemasukan mata uang asing dari ekspor beras tidak ada lagi. Penggunaan pupuk organik telah menyebabkan turunnya hasil panen beras di negara itu. Akibatnya, Sri Lanka yang awalnya merupakan pengekspor beras, berubah menjadi importir beras.
Tidak hanya itu. Sri Lanka juga mengandalkan impor untuk menyediakan BBM. Hal ini tentu menambah kebutuhan akan mata uang asing.
Dapat dikatakan bahwa Sri Lanka sangat bergantung pada impor. Setiap tahun, negara itu melakukan impor berbagai barang kebutuhan masyarakat sebesar 3 miliar USD. Jumlah itu tiga kali lipat dari nilai ekspornya.
Saat mata uang asing yang dimiliki semakin sedikit, Sri Lanka tidak mampu lagi mengimpor BBM, bahan pangan, serta obat-obatan. Minimnya pasokan bahan pangan dan obat-obatan mengakibatkan harga komoditas tersebut naik tak terkendali. Nilai rupee pun semakin lemah. Terjadilah inflasi tinggi hingga mencapai 54,6 persen pada bulan Juni lalu.
Imperialisme Modern
Krisis di Sri Lanka merupakan akibat dari perpaduan beberapa sebab, yaitu pandemi, kenaikan harga barang, serta kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Namun, banyak pakar ekonomi yang menyatakan bahwa penyebab utama krisis Sri Lanka adalah salah urus keuangan negara. Fithra Faisal Hastiadi, Direktur Eksekutif Next Policy misalnya, menyatakan bahwa kebangkrutan Sri Lanka diakibatkan oleh masalah tata kelola keuangan negara. Pemerintah banyak membuat megaproyek yang sebenarnya tidak dibutuhkan, yang justru menjadi beban bagi negara.
Proyek-proyek itu didanai dari utang luar negeri. Kreditur terbesar adalah Jepang, disusul Bank Pembangunan Asia, dan Cina. Sri Lanka memiliki utang kepada Cina sebesar 3 miliar USD. Untuk mengatasi krisis kali ini, Cina telah menawarkan tambahan utang sebesar 1,5 miliar USD. Namun, pinjaman itu baru dapat diakses jika Sri Lanka memiliki cadangan devisa untuk tiga bulan.
Sri Lanka merupakan salah satu negara yang ikut dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang dicanangkan Presiden Cina Xi Jinping. Melalui program ini, Cina kemudian mendanai berbagai proyek di Asia dan Afrika. Cina telah memberikan pinjaman sebesar 1,1 miliar USD untuk Sri Lanka. Sebagian dari pinjaman itu digunakan untuk membangun pelabuhan prestisius di distrik Hambantota.
Sayangnya, pelabuhan ini tidak berhasil mendatangkan devisa bagi Sri Lanka. Negara itu pun gagal mengembalikan utangnya. Sebagai gantinya, Cina mendapatkan hak pengelolaan pelabuhan tersebut serta ribuan hektar tanah di sekitarnya selama 99 tahun.
Krisis di Sri Lanka membuat India bersegera memberikan bantuan. Ada obat-obatan, susu bubuk, serta bahan bakar diesel dan bensin. India juga memberikan pinjaman sebesar 4 miliar USD dengan persyaratan ringan. Namun, semua itu tidak cuma-cuma. Menurut Sreeram Chaulia, direktur School of International Affairs di OP Jindal University di Sonipat, India, tidak ada amal politik internasional. India melakukan hal itu dengan tujuan memperkuat pengaruhnya di Sri Lanka dan mengurangi pengaruh Cina terhadap negara tersebut.
Hal itu tidak mengherankan. Sebab, telah menjadi tabiat para kapitalis yang hanya mendasarkan pada manfaat dalam melakukan segala sesuatu. Dengan cara itu, mereka dapat menguasai negara tersebut. Utang ribawi yang diberikan akan menjerat negara tersebut sedikit demi sedikit. Hingga pada suatu saat, negara itu tak mampu lagi membayar utangnya. Saat itulah mereka dapat menguras kekayaan negara yang mereka bantu.
Alarm bagi Indonesia
Apa yang terjadi di Sri Lanka saat ini, tidak tertutup kemungkinan juga akan terjadi di Indonesia. Sebagaimana Sri Lanka, Indonesia juga turut dalam proyek BRI yang digagas Cina. Saat ini, Indonesia juga terjerat utang yang luar biasa besarnya.
Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2020, Indonesia berada di peringkat ketujuh sebagai negara yang memiliki utang luar negeri terbesar. Utang luar negeri Indonesia sekarang mencapai 7.000 triliun rupiah. Utang itu juga banyak digunakan untuk membiayai pembangunan megaproyek yang berpotensi membebani negara.
Indonesia mulai terjerat utang sejak tahun 1949. Saat itu, sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar, Indonesia mewarisi utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 4 miliar USD atau setara dengan Rp56 triliun.
Utang itu semakin membesar seiring dengan bertambahnya usia negeri ini. Krisis ekonomi pun telah beberapa kali dialami oleh Indonesia. Krisis yang pertama terjadi pada tahun 1997-1998. Krisis itu menyebabkan demonstrasi besar-besaran hingga Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun turun dari jabatannya. Saat itu, rezim Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi.
Meskipun rezim telah berganti, kondisi Indonesia tidak banyak berubah. Sekarang, 24 tahun setelah era reformasi berjalan, kondisi Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Bahkan, utang Indonesia semakin menggila. Indonesia pun kembali diterjang badai krisis ekonomi pada tahun 2008 dan 2013.
Saat ini, utang Indonesia mencapai Rp7.002 triliun. Cicilan utang pada tahun 2022 sebesar Rp84,83 triliun. Tahun ini, bunga utang yang harus dibayar diperkirakan mencapai Rp405,9 triliun. Ini berarti menelan 20 persen dari APBN.
Nilai rupiah juga semakin lemah akibat tekanan dolar Amerika. Hal ini memicu kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Di saat yang sama, pemerintah telah menaikkan harga BBM dan pajak.
Berhenti Berutang Adalah Jalan Terbaik
Jika Indonesia masih terus berutang, kondisi Indonesia bisa semakin buruk. Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan menghentikan utang luar negeri. Di samping merugikan, utang berbasis riba diharamkan dan akan mengundang murka Allah Swt.
Kemudian, negara juga harus mengelola sendiri sumber daya alam yang ada di Indonesia. Sumber daya alam itu merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh swasta, apalagi asing. Dengan mengelola sendiri sumber daya alam ini, Indonesia akan memiliki sumber pendapatan sendiri. Dengan pendapatan itulah, Indonesia dapat menyejahterakan rakyat.
Di samping itu, negara juga harus menggerakkan ekonomi riil. Dengan cara ini, sendi-sendi perekonomian akan kuat. Maka, kondisi perekonomian pun akan stabil.
Sayangnya, hal ini tidak mudah. Butuh keberanian para pemimpin. Keberanian untuk melepaskan diri dari tekanan asing serta oligarki. Sikap seperti ini hanya dapat dilakukan oleh para pemimpin yang memahami amanah mereka sebagai pemimpin. Mereka memahami bahwa mereka kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim,
"Setiap dari kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
Wallaahu a'lam bishshawaab.[]