“Jadi, walaupun tidak mengikuti perilaku LGBT dan hanya mendukungnya berarti telah menyepakati sesuatu yang dilaknat Allah. Meskipun bukan pelaku tetap saja kita mendukung kemaksiatan dan memilih aturan manusia dibandingkan dengan aturan Allah. Memang inilah manusia dalam sistem kapitalisme.”
Oleh. Mariam
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Masjid Ibn Ruschd-Goethe membuat geger jagat maya karena aksinya mendukung kaum penyimpangan seksual dengan mengibarkan bendera pelangi sebagai bentuk aspirasi dan dukungan bagi kaum LGBTQ. Pengibaran bendera yang dilakukan pada Jumat (1/7) ini menuai kontroversi di kalangan netizen Indonesia, pasalnya banyak pula kejanggalan yang terjadi pada masjid yang mengaku liberal ini.
Bukan hanya itu, namun tata salat yang dipraktikkan pun jauh dari landasan syariat Islam. Di masjid tersebut, perempuan tidak boleh menutup aurat saat salat, bahkan diperbolehkan untuk menjadi imam. Shaf dalam salat pun bercampur baur tanpa adanya hijab. (Republika.co.id, 5/7/2022)
Awal Mula Masjid Ini Didirikan
Masjid yang pertama kali diresmikan pada tahun 2017 ini, didirikan oleh seorang perempuan berdarah Turki bernama Seyran Ates. Beliau seorang pengacara yang sering mengkritik kecenderungan ekstremisme Islam dan selalu mendeklarasikan diri sebagai 'imam perempuan’ di masjidnya.
Masjid dengan nama Ibn Ruschd-Goethe ini diambil dari nama pemikir Arab Ibnu Rusyd dan nama pemikir serta penyair dari Jerman Johann Wofgang von Goethe. Masjid yang terbuka untuk umum ini, mempraktikkan Islam dengan pendekatan historis-kritis. Menurut Seyran, mayoritas Islam saat ini mempraktikkan Islam sesuai ajaran pemerintah Turki masa lalu, mayoritas imam tidak memahami makna kebebasan beragama, kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan serta hal berorientasi seksual. Inilah sebabnya Seyran sejak dulu selalu bercita-cita mendirikan masjid liberal.
Akar Permasalahan
Sungguh ironi, padahal masjid sebagai tempat suci bagi kaum muslim, tentu mempunyai nilai kesakralan tersendiri. Dan Islam sendiri pun tidak mungkin bersatu atau menerapkan liberalisme (prinsip kebebasan). Kasus ini sebenarnya disebabkan pula oleh beberapa faktor eksternal yang menjadi akar permasalahan.
Faktor utama bermula dari kondisi umat muslim saat ini, individu muslim hari ini banyak yang tidak memahami agamanya sendiri. Mereka dibuat bingung dan tidak tahu arah tujuan hidupnya ke mana. Mereka telah terjangkit oleh pemahaman asing yang berbahaya bagi pemikirannya seperti pemahaman liberalisme atau sekularisme. Sekularisme sendiri adalah paham yang memisahkan antara aturan agama dari kehidupan, paham inilah yang banyak menimbulkan perilaku yang menuntut akan adanya kebebasan. Jadi orang-orang sudah tidak peduli dengan standar halal-haram dalam berperilaku, asasnya hanya kesenangan duniawi dan kepentingan semata.
Ketidakpahaman kaum muslim pun dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan negara, masyarakat sekuler dan liberal ini adalah masyarakat yang sakit. Mereka sudah tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah, mereka menjunjung tinggi asas kebebasan, menoleransi segala sesuatu dan tidak mempunyai tujuan kehidupan. Akhirnya, mereka tidak peduli dengan kondisi sekitar, tidak berpikir kritis apalagi saling mengingatkan ketika ada kemaksiatan.
Dalam sistem ini kebebasan selalu dijadikan landasan, walaupun seseorang LGBT atau tidak yang penting masih bersikap baik, suka menolong, dan tidak merugikan siapa pun, itu tidak menjadi persoalan bahkan banyak diapresiasi banyak pihak. Dan karena negara pun tidak memandang kasus penyimpangan ini sebagai masalah, bahkan diberikan pelegalan hukum dan diakui oleh seluruh dunia maka tidak ada tindakan hukum yang tegas kepada kaum pelangi ini.
Padahal, Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, Rasulullah hingga menyampaikan tiga kali dalam hadis riwayat Nasa’i dalam As-Sunah Al-Kubra IV/322 (no.7337) tentang perilaku LGBT ini Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan andaikan pelaku homoseksual mandi dengan setiap tetesan air langit, maka ia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak suci.
Jadi, walaupun tidak mengikuti perilaku LGBT dan hanya mendukungnya berarti telah menyepakati sesuatu yang dilaknat Allah. Meskipun bukan pelaku tetap saja kita mendukung kemaksiatan dan memilih aturan manusia dibandingkan dengan aturan Allah. Memang inilah manusia dalam sistem kapitalisme.
Pandangan Islam dalam Menyikapinya
Berbeda jika aturan dalam Islam, masyarakat dalam sistem Islam tidak boleh ikut mendukung meskipun bukan pelaku. Ketika melihat kemungkaran dan kemaksiatan seharusnya ditegur dan dinasihati, dan harus bisa mengubahnya. Dari Abu Said Al-Khudriy r.a. ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah mencegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Namun memang, eksistensi LGBT ini tidak akan lepas dari kehidupan umat manusia jika sistem yang masih diterapkan justru mendukung dan membelanya. Sistem yang berasaskan sekularisme yakni pemisahan antara agama dan kehidupan sehingga manusia bisa berbuat sewenang-wenang sesuai hawa nafsunya. Karena itu solusi yang terbaik harus dihapuskan dari akar-akarnya, yaitu meninggalkan sistem kapitalisme ini dan kembali kepada syariat Islam.
Islam memandang perilaku LGBT merupakan perilaku dosa yang tidak boleh dilindungi serta didukung oleh siapa pun, terlebih oleh negara. Penerapan syariat Islam akan mampu mencegah dan memberantas perilaku LGBT serta memberikan pemahaman kepada masyarakat dengan beberapa langkah sebagai berikut :
Pertama, negara yang berlandaskan syariat Islam dalam bingkai Khilafah ini akan menanamkan iman dan takwa kepada seluruh anggota masyarakat agar menjauhi semua perilaku menyimpang dan maksiat. Negara juga akan menanamkan dan memahamkan nilai-nilai moral, budaya, pemikiran, dan sistem dalam Islam terutama sistem pendidikan baik formal maupun nonformal untuk bisa mengendalikan rakyat dan menghalanginya dari perilaku menyimpang atau bahkan hanya mendukungnya.
Kedua, negara Khilafah akan memberantas akun-akun yang menyebarkan segala bentuk pornografi dan pornoaksi, baik yang dilakukan sesama jenis maupun lawan jenis. Negara akan menyensor semua media yang mengajarkan dan menyebarkan pemikiran dan budaya yang rusak, seperti LGBT.
Ketiga, jika masih ada yang melakukan LGBT tersebut maka perlu adanya sistem uqubat (sanksi) untuk menjadi benteng agar bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan hal serupa. Pelaku LGBT ini diberlakukan hukuman mati, berdasarkan hadis Rasulullah saw. “Siapa yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homoseksual seperti kaum Nabi Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya.” (HR. Ahmad)
Inilah tindakan yang akan dilakukan oleh negara, untuk memberantas perilaku LGBT agar tidak ada lagi orang yang melakukannya dan mendukung perilaku menyimpang tersebut. Negara juga akan memberikan peran kepada orang tua untuk terus melindungi anak-anaknya dari perilaku LGBT tersebut dengan pemahaman akidah dan pembelajaran syariat Islam dalam ranah keluarga. Islam juga memberikan penegasan kepada masyarakat untuk bisa ikut andil dalam berdakwah, menegakkan amar makruf nahi mungkar agar bisa memberikan peringatan, menasihati, dan menegur kepada perilaku LGBT ini bukan malah memberikan ruang kepada mereka dengan alasan hak asasi manusia. Dengan cara seperti ini, hubungan masyarakat akan diwarnai suasana iman dan ketaatan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]