"Adanya ketergantungan negeri-negeri muslim terhadap negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Rusia, menandakan bahwa tidak adanya institusi negara yang kuat pasca runtuhnya kekhilafahan Islam, menjadikan tidak berdayanya kaum muslim melawan kekuatan imperialisme modern dengan sistem kapitalisme globalnya."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Salah satu janji Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang baru saja terpilih kembali setelah lebih 20 tahun berkuasa, yaitu tidak akan melanggar supremasi hukum dan prinsip sekularisme yang ditanamkan oleh Mustafa Kemal Ataturk saat mendirikan Turki pada 100 tahun lalu (CNN Indonesia, 3/6/2023).
Hal ini menegaskan, bahwa sekularisme tetap menjadi pijakan kepemimpinan Erdogan yang dianggap berbagai kalangan kian otoriter setelah ia berkuasa lebih dari dua dekade, yakni menjadi perdana menteri pada tahun 2003, menjadi presiden sejak tahun 2014 dan terpilih kembali setelah menang Pemilu Turki pada Ahad, 28/5/2023.
Selama kepemimpinan Erdogan sebenarnya banyak memberikan perubahan dalam berbagai aspek politik, ekonomi, dan hubungan internasional Turki. Misal di bidang politik, Erdogan telah memperkuat kekuasaannya melalui perubahan konstitusi dan penghapusan hambatan-hambatan politik yang menghalangi dominasi partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Sementara di bidang ekonomi, Erdogan telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kebijakan ekonomi yang mengarah pada pengeluaran besar-besaran dan intervensi pemerintah yang kuat telah menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan ekonomi Turki. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2018 dan penurunan nilai mata uang lira Turki telah menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.
Pengaruh Negara Adikuasa
Dari segi keamanan, Turki masih menjadi bagian anggota NATO dan memiliki kepentingan strategis dengan Amerika Serikat, terutama dalam konteks geopolitik Timur Tengah. Dua pangkalan militer Amerika Serikat masih bercokol di Turki, yaitu Incirlik Air Base dan Izmir Air Base.
Di bidang hubungan politik luar negeri, Turki juga menjalin kerja sama ekonomi dan politik dengan negara adidaya rival Amerika, yaitu Rusia dan Cina. Ketiga negara ini memiliki kepentingan bersama dalam beberapa isu regional, seperti konflik di Suriah. Turki telah membeli sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia, tentu hal ini menyebabkan kekhawatiran dari sekutu NATO lainnya, termasuk Amerika Serikat.
Sementara dengan Cina, Turki juga telah menjadikan Cina sebagai "teman setia" dalam beberapa tahun terakhir. Turki dan Cina telah meningkatkan kerja sama ekonomi dan investasi, Cina menjadi salah satu mitra perdagangan terbesar bagi Turki. Bahkan, Erdogan telah mendukung inisiatif Cina seperti Proyek Jalur Sutra Ekonomi.
Amerika di Balik Pemilu Turki
Menjelang Pemilu Turki, terjadi manuver politik yang dilakukan duta besar Amerika Serikat untuk Turki, Jeff Flake dengan oposisi sekaligus rival Erdogan dalam pemilu, Kilicdaroglu dan Koalisi Kebangsaan (Millet Ittifaki) di markas Partai Rakyat Republik pada April 2023 lalu. Manuver politik tersebut sejalan dengan orientasi Joe Biden saat kampanye Pilpres Amerika Serikat di tahun 2020. Manuver ini tentu memicu emosi Erdogan dan menuding Amerika telah mencampuri urusan pemilu di Turki.
Seolah ada kecemburuan Amerika terhadap Turki. Kecemburuan tersebut bukan hanya soal kebijakan Erdogan yang memberangus demokrasi, keluar dari pendulum ekonomi pasar berbasis neoliberal, menendang investor Amerika dan sekutu Barat. Melainkan lebih dari itu karena adanya keakraban Turki dengan Cina dan Rusia. Adanya "orang ketiga" telah berbuntut pada meningkatnya perlawanan Turki terhadap kepentingan Amerika dan NATO di beberapa benua. Isu terakhir Turki menjegal Swedia masuk NATO.
Selain itu, Erdogan berulang kali telah membuat bingung Joe Biden terkait perang Rusia-Ukraina. Sepak terjang Erdogan membuat Biden geram karena telah menjadi mediator krisis Ukraina. Lebih jauh lagi, Turki malah menjadi tuan rumah pembicaraan damai Rusia-Ukraina. Amerika Serikat telah gagal mencegah Turki untuk berpaling dari Rusia karena faktanya Erdogan tidak sedikit pun mengambil jarak dari Putin.
Dengan demikian, kemenangan Erdogan memasuki periode ketiga, sejatinya melanjutkan ketidakharmonisan hubungan Turki dengan Amerika, NATO serta Blok Barat. Namun, tetap tidak mengubah arogansi kapitalisme yang dijalankan Turki yang kini mengarah dan bersandar pada pengaruh kepentingan Rusia dan Cina dengan segala dukungan yang diberikan dua negara tersebut. Rusia dan Cina saat ini menjadi rival kekuatan kapitalisme Amerika Serikat dengan rasa yang sedikit berbeda, yaitu sosial-kapitalisme.
Butuh Negara Supremasi Hukum Islam
Adanya ketergantungan negeri-negeri muslim terhadap negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Rusia, menandakan bahwa tidak adanya institusi negara yang kuat pasca runtuhnya kekhilafahan Islam, menjadikan tidak berdayanya kaum muslim melawan kekuatan imperialisme modern dengan sistem kapitalisme globalnya.
Seperti yang dialami Turki saat ini, meskipun memiliki figur penguasa yang baik secara individual, namun selama masih terjebak pada kubangan sistem kapitalisme Amerika Serikat atau sosialisme Rusia maupun Cina, tidak akan menemukan momentum kebangkitan. Kaum muslim di Turki dan dunia secara keseluruhan tetap akan berada pada kehidupan sekularisme dengan tekanan penjajah asing yang dikendalikan kekuatan oligarki kapitalisme global.
Dari sini harusnya kita bisa memahami akan pentingnya kesadaran politik dalam sudut pandang syariat Islam, yaitu pandangan terhadap dunia dengan sudut pandang akidah Islam terhadap berbagai situasi politik, konstelasi internasional dan segala aktivitas politik lainnya.
Hanya negara dengan supremasi sistem hukum Islam yang mampu melawan hegemoni dan arogansi negara-negara kapitalis saat ini. Negara tersebut tidak lain adalah Khilafah Islam yang akan menyatukan seluruh kekuatan kaum muslim untuk merefleksikan sabda Rasulullah saw. untuk melawan segala arogansi atau keangkuhan penjajah,
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berkata, 'laa illaha Illa Allah Muhammad Rasulullah'. Jika mereka mengucapkannya berarti mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan alasan yang benar." (HR. Bukhari Muslim)
Wallahu a'lam bish Shawwab.[]
jangan berharap pada selain Islam..
Saya jadi berpikir betapa rumitnya kehidupan politik dan ekonomi turki mengingat Turki menjalankan hubungan yang cukup harmonis kepada 3 Negara dengan Ideologi yang saling berlawanan, hmm....
Ketika berkunjung ke sana ternyata masyarakat Turki ssngat sekuler. Masjid kosong kecuali saat salat Jumat dan hai raya. Banyak yang tidak puasa. Padahal peninggalan peradaban Islam.dimana-mana tapi tidak membangkitkan keinginan untuk mewujudkannya kembali. Membaca buku menjelang keruntuhan khilafah, kepemimpinanya memang sudah sangat lemah saat itu akibat sudah banyal lepas dari Syariat Islam. Karenanya memori warga Turki ttg Kekhilafahan juga hampir tidak tersimpan kecuali bagi yang mau membaca. Faktor internal dan eksternal mengakibatkan keterperukan umat hingga titik nadir.
Membahas negara mah tak akan ada habisnya. Hanya dengan Islami Kaffah lah Solusinya untuk bisa melawan arogansi kapitalisme.
Pemimpin hari ini peradaban masa depan. Itulah pentingnya memilih pemimpin yang bukan hanya memiliki politik kuat namun keislaman dan pemahamannya pun harus kuat. Sehingga arogansi kapitalisme dapat terkalahkan dengan hukum khilafah islam
Umat Islam harus sadar politik Islam sehingga mampu menyikapi bagaimana sepak terjang pemimpin negeri Islam sesungguhnya.
Kekuatan politik kapitalisme hanya bisa dilawan dengan kekuatan politik Islam dengan sistem khilafahnya.. karena negara-negara muslim hari ini masih tunduk dan masih bersahabat dan bekerjasama dengan mereka yang sejatinya memerangi umat Islam... Biasnya siapa kawan dan lawan dalam sistem Kapitalisme. Sedangkan dalam Sistem Islam jelas ada kafir muhariban fi'lan ( wajib diperangi) dan kafir hukman yg masih bisa diajak kerjasama/perjanjian
Sudah saatnya umat Islam membuka mata, bahwa siapa pun penguasanya, seislami apa pun tampilannya, jika masih mengemban politik dan ekonomi kapitalisme, hakikatnya dia tidaklah condong apalagi membela Islam.
Hanya dengan daulah Islam yang bisa melawan arogansi kapitalisme. Yang harus dilakukan bersungguh-sungguh berdakwah ideologis untuk mengembalikan kehidupan Islam