"Adanya pandangan supremasi kulit putih lahir bukan karena perbedaan bangsa, ras, dan warna kulit semata, tetapi karena pemikiran yang dangkal. Pola pikir yang dangkal ini menyebabkan lahirnya fanatisme kelompok, suku, dan bangsa."
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Selama ini, media dan dunia sering merepresentasikan umat Islam sebagai teroris dan ekstremis. Padahal, kelompok ekstremis oleh supremasi kulit putih merupakan ancaman paling mematikan bagi Eropa. Banyak data mengungkapkan bahwa kasus pembunuhan dan penembakan massal oleh kaum supremasi ras kulit putih terus meningkat di beberapa tahun terakhir.
Di tengah meningkatnya ekstremisme kelompok kanan yang mengunggulkan ras kulit putih, pemerintah Australia akan mengajukan RUU Amandemen Legislasi Kontra-Terorisme. Rencananya, undang-undang tersebut akan menguraikan larangan penggunaan simbol Nazi atau SS, baik secara online maupun di depan umum, dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun. (detik.news.com, 9/6/2023)
Lantas, apa yang melatarbelakangi gerakan ekstremisme yang memicu supremasi kulit putih? Apa hubungan supremasi ras kulit putih dengan kelompok neo-Nazi? Bagaimana Islam memandang adanya kelompok supremasi kulit putih?
Jejak Kejam Supremasi Kulit Putih
Nazisme bermula ketika Adolf Hitler dan partai Nazi menguasai Jerman dengan sistem kediktatorannya, antara tahun 1933 dan 1945. Di bawah pemerintahan Hitler, Jerman diubah menjadi negara totaliter karena hampir seluruh aspek kehidupan warga negara dikendalikan oleh pemerintah.
Bangsa Jerman dianggap Nazi sebagai cabang murni dari ras Arya yang merupakan ras unggul. Rasisme, diskriminasi, dan persekusi terhadap jutaan orang Yahudi mulai digalakkan Hitler. Hitler melakukan genosida sistematis yang dikenal dengan peristiwa Holocaust terhadap jutaan warga sipil yang tak berdosa.
Supremasi kulit putih adalah keyakinan bahwa orang kulit putih mendominasi dan lebih unggul dari ras lain. Supremasi kulit putih berakar pada doktrin rasisme ilmiah yang juga mendasari pembenaran kolonialisme bangsa Eropa.
Menurut Sejarawan Geoffrey Blainey, selama masa kolonial, di seribu tempat terpencil kadang terjadi penembakan dan penusukan terhadap suku Aborigin yang merupakan suku asli Australia. Padahal, suku Aborigin telah tinggal 65.000 tahun sebelum kedatangan armada pertama kolonial Inggris pada tahun 1788. Sejak saat itu, penduduk asli tersebut kerap menjadi korban diskriminasi, genosida, pemindahan paksa, dan pembantaian.
Dahulu, supremasi kulit putih pernah diterapkan melalui struktur sosial, ekonomi, dan hukum, seperti perdagangan budak Atlantik, UU Jim Crow di Amerika Serikat, dan Kebijakan Australia Putih dari tahun 1890 hingga pertengahan tahun 1970-an.
Gerakan Neo-Nazi
Neo-Nazi adalah gerakan yang berusaha menghidupkan kembali paham Nazi untuk mempromosikan supremasi kulit putih dengan menyerang ras dan etnis minoritas. Gerakan ini sering menampilkan simbol Nazi atau SS dan mengungkapkan kekagumannya pada Adolf Hitler. Tak jarang, kelompok ini antisemitisme dan islamofobia.
Kelompok ekstremis ini memiliki konsep berbeda tentang siapa yang dianggap berkulit putih dan siapa musuh terbesar mereka. Namun, ciri-ciri paling umum adalah orang Eropa Utara yang secara ilmiah dipandang sebagai ras Arya karena memiliki kulit putih, berambut pirang, dan bermata biru. Sedangkan musuh mereka paling sering adalah keturunan Afrika Sub-Sahara, orang Asia, orang multiras, orang Timur Tengah, Umat Islam, dan Yahudi.
Peneliti dari Universitas Deakin, Dr. Josh Roose mengatakan bahwa selama ini, simbolisme Nazi sering digunakan sebagai bentuk intimidasi yang mengancam masyarakat, dan sebagai mekanisme perekrutan anak muda agar bergabung dengan gerakan mereka.
Kelompok Ekstremis di Australia
Ekstremisme sayap kanan adalah istilah luas yang sering digunakan untuk kelompok fasisme, sosialisme nasional (Nazisme), supremasi kulit putih, anti-demokrasi, neo-Nazi, dan lain-lain. Menurut Intelijen Keamanan Australia, ancaman terorisme sayap kanan oleh kelompok neo-Nazi mulai meningkat sejak akhir 2010-an.
Penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru, pada Maret 2019, merupakan tindakan terorisme sayap kanan yang paling terkenal oleh seorang Australia.
Meskipun kelompok ekstremis sayap kanan mendapat kecaman dari pemerintahan federal, namun peningkatan kelompok rasis terselubung masih sulit dideteksi. Kelompok minoritas seperti umat Islam, Tionghoa, dan pribumi di Australia kerap menjadi sasaran kelompok ekstremis tersebut.
Kegagalan Sistem Demokrasi
Di negara yang berasaskan sekularisme, kekerasan terhadap ras minoritas menjadi pemandangan lumrah. Terutama di negara-negara Barat, di mana angka kekerasan karena alasan rasial dan motif agama cenderung meningkat.
Sistem demokrasi memberi ruang di media sosial bagi siapa pun untuk bersuara melalui tulisan dan lisan. Hal ini sering dimanfaatkan oleh sebagian orang maupun kelompok tertentu untuk melakukan kontroversi termasuk menghina agama, melontarkan sentimen negatif terkait ras, kesukuan, dan golongan.
Tak heran, rasisme, islamofobia, dan ekstremisme kelompok cenderung meningkat setiap tahun. Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi yang konon menjunjung HAM dan menolak diskriminasi, faktanya, masih menjadi tempat bercokolnya masalah rasisme.
Di Amerika Serikat sendiri, organisasi masyarakat sipil ADL (Anti-Defamation League) menyebutkan bahwa hampir 80% penembakan massal berkaitan dengan ekstremisme oleh supremasi kulit putih. Demokrasi yang katanya menjunjung pluralisme dan toleransi, tetapi faktanya, gagal dalam merawat pluralitas. Pada hakikatnya, sistem demokrasi belum matang mengurai persoalan rasisme di berbagai belahan dunia. Sebab, sejak awal, demokrasi merupakan alat negara imperialis Barat untuk memuluskan penjajahan mereka atas bangsa lain.
Rasialisme dalam Islam
Supremasi kulit putih oleh bangsa Eropa memicu rasisme dan menjadi salah satu faktor pendorong kekerasan rasial, genosida, dan terbentuknya kelompok-kelompok ekstremis seperti neo-Nazi.
Padahal, adanya perbedaan warna kulit, rupa, dan postur tubuh merupakan fitrah dari Sang Pencipta. Faktanya, meskipun berbeda-beda, setiap manusia mempunyai kebutuhan jasmani, kecerdasan, dan akal yang sama. Karena itu, tidak ada bedanya antara kulit putih dan hitam. Semua manusia mempunyai komponen akal yang sama seperti fakta, pengindraan, otak dengan kekuatan asosiasinya, dan informasi awal. Keempat komponen tersebut dimiliki oleh semua manusia sehingga potensi intelektual antara orang kulit hitam maupun putih adalah sama.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa adanya pandangan supremasi kulit putih lahir bukan karena perbedaan bangsa, ras, dan warna kulit semata, tetapi karena pemikiran yang dangkal. Pola pikir yang dangkal ini menyebabkan lahirnya fanatisme kelompok, suku, dan bangsa. Sikap rasisme seperti ini diharamkan dan dikecam dengan keras dalam Islam.
Allah Swt. dan Rasul-Nya sama-sama membentuk pola pikir umat Islam dengan menjadikan ketakwaan sebagai standar. Dengan tegas, Islam tidak menjadikan ras, fisik, dan rupa sebagai patokan menentukan keunggulan seseorang. Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Sungguh yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa.” (TQS. Al-Hujurat: 13)
Islam memandang semua manusia sama, dan yang membedakannya adalah akidah, ketakwaan, dan perilakunya. Pola pikir ini terbukti mampu menghapus rasisme. Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, "Tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab, juga tidak ada keistimewaan orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali dengan takwa." (HR. Muslim)
Islam adalah agama sekaligus ideologi yang diturunkan Allah Swt. dan bersifat universal, tanpa memandang bangsa, suku, dan warna kulit. Pola pikir seperti ini akan membangun ukhuwah (persaudaraan) umat Islam berdasarkan akidah yang bersifat universal.
Terbukti, sepanjang masa kegemilangan Khilafah, Islam berhasil mengikis rasisme dengan mencetak para pemimpin dan ulama hebat dari berbagai bangsa yang berbeda-beda. Banyak ulama-ulama yang berasal dari bangsa non-Arab, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Sibawaih yang berasal dari Persia, serta Zamakhsyari dari Asia Tengah.
Bahkan, banyak pemimpin umat Islam yang menjalin ikatan perkawinan antarbangsa dan suku, seperti Khalifah Al-Ma’mun (Arab) dengan istrinya Barbar (Afrika).
Semua ini membuktikan betapa hebatnya ideologi Islam yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia, tanpa memandang bangsa, ras, dan warna kulit.
Di bahwa naungan Khilafah, Rasulullah saw. menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya ikatan di antara kaum muslim dan menolak ikatan berdasarkan nasionalisme yang terbukti memecah belah umat. Muslim dan nonmuslim diikat oleh kewarganegaraan. Untuk itu, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban antara muslim dan nonmuslim karena negara akan melindungi setiap warga negara tanpa memandang agama dan warna kulit mereka.
Melihat fakta bagaimana masifnya tingkat rasisme di negara Barat dan gagalnya sistem demokrasi menangani pluralitas, seharusnya para penguasa negeri-negeri muslim mulai mempertimbangkan Islam sebagai solusi alternatif. Sebab, hanya Islam yang terbukti mampu menyatukan berbagai bangsa dan ras dengan mengadopsi pendekatan zero rasisme.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]
Allah SWT menciptakan makhluk-Nya dengan beraneka ragam.. Allah SWT tidak melihat rupa para hamba-Nya, melainkan melihat ketakwaannya..
Rasisme tidak akan pernah hilang saat kapitalisme diterapkan.
Hanya dengan sistem Islam rasisme benar benar mendapatkan solusi tuntas. Tidak pernah diajarkan dalam Islam baik buruknya seorang dilihat dari rasnya, melainkan ketakwaan kepada Allah.
Setiap permasalahan hanya sistem Islam yang mampu menyelesaikan, hanya Islam yang terbukti mampu menyatukan berbagai bangsa dan ras dengan mengadopsi pendekatan zero rasisme.
Islam tidak mengenal rasisme. Pemikiran ini jelas lahir dr pemikiran manusia yg dangkal. Sekularisme yang akhirnya menumbuhsuburkan rasisme ini.
Rasisme yang diusung Barat memang banyak membawa bencana di beberapa negara. Berbeda dengan Islam yang memahami perbedaan penciptaan manusia sehingga Islam mudah diterima oleh semua kalangan.
AS negara paling rasis padahal negara yang mengklaim paling demokratis. Semua keburukan terlihat di Barat seharusnya menyadarkan sistem demokrasi yang digadang-gadang terbaik hanyalah zonk.
Ikatan ukhuwah diganti dengan ikatan nasionalisme.. masing2 orang mengangggap muslim di negaranya lebih baik dari muslim di negara lain..
Rasisme di dunia Barat adalah gambaran nyata ketika suatu bangsa tidak diatur dengan syariat Islam. Pada akhirnya, manusia hanya dihargai, dipuja, dan dibenci berdasar warna kulitnya. Padahal, Islam sangat memuliakan manusia tanpa membedakan ras.
Rasisme pola Barat yg masih terus tumbuh hingga kini. Hanya Islam yg tak membedakan ras manusia. Islam justru memuliakan manusia mau dia berkulit hitam, putih, merah, atau coklat. Atau tinggal di belahan bumi mana pun. Sebagai pembagai pembeda hanyalah takwa.