Bilateral Indonesia-Kanada, Akankah Memajukan Negeri?

”Hubungan bilateral yang dilandasi asas liberalisasi perdagangan barang dan jasa, sejatinya hanya akan menguntungkan para kapitalis yang notabene adalah negara-negara besar pengemban ideologi kapitalisme.”

Oleh. Firda Umayah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pemerintah Indonesia saat ini sedang dalam perundingan untuk menjalin kerja sama ekonomi komprehensif bersama Kanada atau ICA-CEPA (Indonesia Canada - Comprehensive Economic Partnership Agreement). Perundingan yang telah diluncurkan sejak 21 Juni 2021 lalu, kini memasuki putaran kelima. Kedua negara berharap kerja sama tersebut akan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan investasi, serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kedua negara tersebut. Pada perundingan ICA-CEPA putaran kelima, Indonesia-Kanada akan menyelesaikan perundingan tersebut pada pertemuan yang berlangsung di Otawa, Kanada, pada 29 Mei-2 Juni 2023 (rmol.id, 27/05/2023).

Antusiasme kedua negara dalam hubungan kerja sama ini lantas menyisakan pertanyaan, akankah kerja sama ini memajukan negeri?

Jalan Liku Perundingan ICA-CEPA

Pada peluncuran ICA-CEPA secara virtual, pemerintah menjelaskan bahwa perundingan ini merupakan langkah strategis untuk membuka peluang masuknya produk Indonesia di kawasan Amerika Utara. Karena Indonesia masih memiliki satu perjanjian dagang saja dengan negara di benua Amerika, yaitu Chile di Amerika Serikat (kemendag.go.id, 21/06/2021).

Pada putaran perundingan yang pertama tanggal 14-19 Maret 2022, pemerintah berharap perundingan ICA-CEPA menjadi pintu masuk produk ekspor Indonesia ke wilayah Amerika Utara. Hal ini karena Kanada memiliki perjanjian dagang dengan Amerika Serikat dan Meksiko yang ada di wilayah tersebut. Pada 2021, nilai impor Indonesia dari Kanada, jauh lebih besar daripada ekspor Indonesia ke Kanada. Hal ini bisa dilihat dari nilai ekspor senilai USD1,06 miliar dan nilai impor senilai USD2,05 miliar. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan perluasan wilayah untuk produk ekspor Indonesia (katadata.co.id, 01/09/2022).

Pada perundingan putaran kedua, tepatnya 15-19 Agustus 2022, pembahasan perdagangan digital dan jasa, investasi, ketentuan asal barang, kepabeanan dan fasilitas perdagangan menjadi topik utamanya. Pada perundingan putaran ketiga, pada 31 Oktober-4 November 2022, pembahasan mengenai tingkat liberalisasi serta modalitas perdagangan barang yang akan digunakan dalam skema ICA-CEPA mendatang menjadi pembahasan utama (kemendag.go.id, 04/11/2022).

Hingga akhir tahun 2022, jumlah impor Kanada ternyata tetap jauh lebih besar daripada jumlah ekspor yang dilakukan Indonesia ke Kanada. Ekspor produk Indonesia yang mencapai USD1,27 miliar, hanyalah separuh dari impor Kanada ke Indonesia yang mencapai USD2,99 miliar. Sayangnya, meski sudah tampak defisit anggaran dari hasil kerja sama yang dilakukan, Indonesia masih melanjutkan perundingan hingga putaran keempat dan kelima.

Pada putaran perundingan keempat, pemerintah Indonesia melakukan tatap muka dengan Kanada pada 20-23 Februari 2023 dan membahas isu-isu penting agar proses negosiasi dapat segera diselesaikan. Isu-isu tersebut mencakup liberalisasi perdagangan barang dan jasa, kerja sama teknis, standar, isu kelembagaan, dan perdagangan nontradisional yang meliputi ketenagakerjaan, lingkungan, serta perdagangan inklusif (bisnis.com, 23/02/2023).

Pembahasan sertifikasi halal juga sempat disinggung Menteri Perdagangan Internasional Kanada Mary Ng. Ia berharap, agar segera mewujudkan komitmen kerja sama halal untuk produk-produk Kanada (antaranews.com, 28/05/2023). Berdasarkan data yang di atas, kondisi Indonesia sebelum dan ketika perundingan ICA-CEPA terjadi, selalu mengalami defisit anggaran dalam hubungan bilateral Indonesia-Kanada. Lantas, mengapa ini terus dijalankan?

Menguntungkan Kapitalis Semata

Hubungan bilateral yang dilandasi asas liberalisasi perdagangan barang dan jasa, sejatinya hanya akan menguntungkan para kapitalis yang notabene adalah negara-negara besar pengemban ideologi kapitalisme. Asas manfaat, di mana setiap hubungan yang terjalin harus mendapatkan keuntungan besar, selalu hadir dalam ideologi ini. Sehingga, negara pengekor hanya akan menjadi sasaran serbuan impor negara kapitalis.

Defisit anggaran, serbuan produk dan tenaga kerja asing, merupakan hal lazim dalam kerja sama antara dua negara yang tak berimbang kekuatan. Negara-negara besar dengan sistem ekonomi kapitalisme juga tak segan melakukan intervensi untuk memandu perilaku ekonomi demi mempercepat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Membuat aturan atau undang-undang yang seakan-akan menguntungkan negara, kerap menjadi alasan agar hubungan kedua negara tetap berjalan.

Faktanya, di balik kerja sama itu, rakyat tak pernah mendapatkan keuntungan seperti yang dijanjikan. Rakyat tetap sulit mendapatkan pekerjaan, membuka usaha dan mengembangkannya, bahkan hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kerja sama atas nama rakyat hanyalah slogan untuk mendapatkan keuntungan materi secara individual bagi para pemangku kebijakan.

Tak kalah pentingnya, dalam sistem ekonomi kapitalisme yang serba bebas, negara juga sah saja ketika menjual komoditas apa pun termasuk komoditas strategis negara. Misalnya dengan mengeluarkan bahan pangan berlebih, barang industri, dan persenjataan negara yang sejatinya justru akan semakin merugikan rakyat dan negara tersebut.

Islam sebagai Landasan Hubungan Bilateral

Islam, sebagai agama yang paripurna memiliki aturan tersendiri terkait bilateral negara Islam dengan negara lain. Sehubungan dengan perdagangan, maka negara Islam memandang perdagangan terdiri dari perdagangan dalam negeri dan luar negeri.

Untuk perdagangan dalam negeri, di mana aktivitas jual beli yang dilakukan adalah antara dua individu rakyat. Hal ini tidak membutuhkan campur tangan negara secara langsung. Negara hanya mengarahkan secara umum agar setiap individu selalu terikat dengan syariat Islam dalam segala aktivitas, termasuk dalam jual beli. Jika terbukti melanggar syariat Islam yang telah ditetapkan negara, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya.

Sedangkan untuk perdagangan luar negeri, ini merupakan aktivitas jual beli yang terjadi antara dua bangsa atau lebih dengan umat. Termasuk adalah hubungan perdagangan antara dua individu yang berasal dari dua negara yang berbeda. Maka negara Islam akan ikut campur dalam mengurus masuk dan keluarnya komoditas barang, serta turut dalam menangani para pelaku bisnis yang berasal dari kafir.

Dalam Islam, prinsip dasar hubungan internasional adalah tidak boleh merugikan negara dan rakyat, serta tidak boleh mendukung keberadaan kaum kafir yang dapat memusuhi negara dan umat Islam. Untuk memahami konsep perdagangan dalam Islam, berikut ini poin-poin penting yang dapat diperhatikan.

Pertama, negara Islam hanya boleh menjalin hubungan kerja sama kepada empat kelompok. Yaitu, orang-orang muslim, orang-orang kafir yang terikat perjanjian dengan negara Islam, orang-orang kafir zimi dan harbi hukman.

Kedua, negara Islam tidak boleh membawa komoditas strategis keluar dari negara Islam dan dibawa ke negara kafir (ekspor) seperti persenjataan. Sebab, ini akan membahayakan negara Islam dan membantu musuh Allah untuk menguasai umat Islam. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 2 agar umat Islam hanya tolong menolong dalam kebaikan bukan dalam perbuatan dosa yang bertentangan dengan syariat Islam.

Ketiga, negara boleh melakukan impor komoditas yang dibutuhkan negara dan rakyat dari orang-orang kafir zimi dan harbi hukman. Kebolehan ini berdasarkan dalil pada Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 275 tentang kebolehan jual beli.

Ayat tersebut, merupakan dalil umum dalam aktivitas jual beli. Dalil ini tetap berlaku demikian, selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya.

Meskipun negara Islam boleh mengimpor komoditas dari luar, namun negara harus memperhatikan dan memfilter komoditas yang dibutuhkan untuk negara dan rakyatnya. Negara Islam juga tidak boleh terlibat dengan utang luar negeri yang mengandung riba.

Keempat, orang-orang kafir mu’ahid yang melakukan perdagangan luar negeri, akan diperlakukan sesuai dengan naskah perjanjian yang disepakati dengan mereka. Baik terkait dengan ekspor maupun impor. Negara kafir mu’ahid tetap tidak boleh membawa keluar persenjataan negara Islam. Hal ini karena statusnya bisa saja berubah menjadi musuh jika perjanjian itu dilanggar atau telah berakhir.

Allah Swt. berfirman,

"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahui." (QS. Al-Anfal: 60)

Kelima, bagi orang-orang kafir harbi hukman yang mengikat perdagangan luar negeri dengan negara Islam, maka tidak dibolehkan memasuki negara Islam, kecuali ada izin atau paspor khusus dari negara Islam. Ini juga berlaku kepada komoditas kafir harbi hukman yang akan masuk ke negara Islam. Tak hanya itu, untuk komoditas yang masuk, akan dikenai tarif bea cukai sebagaimana negara kafir tersebut memberlakukan bea cukai saat komoditas negara Islam masuk ke dalam negara mereka.

Keenam, bagi para pelaku bisnis perdagangan luar negeri yang tidak memiliki kesepakatan dengan negara Islam dan tidak memiliki izin untuk masuk, maka dianggap sebagai kafir harbi, yang darah dan hartanya tidak dapat dilindungi oleh negara Islam.

Ketujuh, bagi semua pelaku bisnis luar negeri yang merupakan warga negara Islam, baik muslim maupun kafir zimi, maka komoditas mereka tidak dikenakan beban apa pun, termasuk bea cukai. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw.,

"Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai, yakni sepersepuluh." (HR. Abu Ubaidah, Ahmad, dan Ad-Darimi)

Penutup

Dalam Islam, perdagangan luar negeri yang terjalin antara negara Islam dengan negara lain jelas tidak boleh merugikan dan mengganggu keamanan negara. Karena Allah Swt. telah melarang umat Islam untuk memberi jalan bagi kaum kafir dalam menguasai umat Islam. Oleh karena itu, keberadaan negara Islam yang menerapkan semua syariat Islam adalah kebutuhan umat Islam. Selain merupakan sebuah perintah dari Allah Swt. yang bersifat wajib kifayah. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Firda Umayah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com Salah satu Penulis Inti NarasiPost.Com. Seorang pembelajar sejati sehingga menghasilkan banyak naskah-naskahnya dari berbagai rubrik yang disediakan oleh NarasiPost.Com
Previous
RI Sulit Menjadi Negara Maju?
Next
Pabrik Hantu Akibat Tsunami PHK
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Beginilah jika ekonomi kapitalisme diterapkan, selalu merugikan rakyat..

Zahrah luthfiyah
1 year ago

Hmm, dengan jasa ini menguntungkan para kapitalis dan pemilik modal. Padahal rakyat indonesia yang tersiksa. Padahal sumber daya yang di miliki indonesia sangatlah melimpah-ruah. Hanya dengan sistem islam yang dapat mengembalikan dan menyelesaikan persoalan umat hari ini

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram