Turki Berganti Nama, Lebih Berwibawa?

“Turkiye diharapkan menjadi representasi dan ekspresi terbaik dari budaya, peradaban, dan nilai-nilai rakyat Turki. Padahal, Turki merosot dari kejayaan dan kekuatannya akibat menerapkan tatanan kehidupan sekularisme, menjauhkan kaum muslim dari agamanya, juga meninggalkan ajarannya.”

Oleh. Ahsani Annajma
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Super power, itulah julukan yang pernah disematkan kepada Turki kala Kesultanan Turki Utsmani (Khilafah Utsmaniyah) memimpin. Sebagai salah satu daulah terbesar, Utsmaniyah pernah menjadi salah satu peradaban terhebat di dunia dan menguasai sepertiga wilayah dunia. Kekuasaannya meninggalkan kekayaan warisan sejarah peradaban Islam. Kini, Turki sedang menjadi sorotan dunia lantaran dikabarkan akan berganti nama. Apa motifnya?

Alasan Ganti Nama

Terhitung sejak awal bulan Juni, PBB menyetujui permintaan Turki mengubah namanya menjadi Turkiye yang disampaikan langsung oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan (Cnbcindonesia.com, 3/6/2022).

Dikutip dari laman metro.co.uk, perubahan nama itu merupakan bagian dari kampanye rebranding presiden Erdogan sejak akhir tahun lalu. Alasannya, dalam bahasa Inggris yang merujuk pada Cambridge Dictionary, nama Turkey didefinisikan sebagai sesuatu yang gagal dengan buruk atau orang yang bodoh atau konyol.

Selain itu, seorang jurnalis TRT mengemukakan bahwa serangan xenofobia dan islamofobia sering menyerupakan Turki dengan nama burung kalkun, sehingga tidak sedikit orang yang merasa tersinggung dengan sebutan itu. Alasan inilah yang dianggap logis untuk menjaga nama baik negara dengan mengubah namanya. Turkiye diharapkan menjadi representasi dan ekspresi terbaik dari budaya, peradaban, dan nilai-nilai rakyat Turki. Menurutnya, Turkiye harus menjadi sebuah merek negara secara nasional maupun internasional. Istilah-istilah yang sebelumnya seperti Turki, Turkei, Turquie, dan seterusnya mulai saat ini akan diganti dan dipatenkan menjadi Turkiye dalam hubungan resmi dengan lembaga dan organisasi internasional serta negara lain.

Sekularisme di Turki

Pernyataan Presiden Erdogan yang berharap nama Turkiye merepresentasikan nilai-nilai dan peradaban yang lebih baik dari sebelumnya sesungguhnya membuat kita tergiur. Apa pun namanya tak masalah, mau ganti nama ataupun tidak, juga tidak masalah. Yang paling penting, apakah nama pengganti yang disematkan ini serasi dengan action menuju peradaban yang lebih agung dan gemilang. Ataukah tidak berpengaruh sama sekali? Hal ini justru mengingatkan kita pada tragedi masa kelam yang menimpa kaum muslim. Jika kita menengok kembali pada sejarah yang pernah terjadi di Turki 101 tahun silam, Turki mampu menjadi negara adidaya, maka tidak diragukan lagi bahwa saat itu Turki menerapkan sistem Khilafah Islamiah, sehingga Turki berada di posisi negara nomor satu di dunia dalam waktu yang lama.

Sementara, Turki merosot dari kejayaan dan kekuatannya akibat menerapkan tatanan kehidupan sekularisme, menjauhkan kaum muslim dari agamanya, juga meninggalkan ajarannya. Di balik kelamnya sejarah itu, ada sosok yang berkonspirasi dengan Barat menjelma sebagai pahlawan palsu untuk merongrong daulah Islam, dialah Mustafa Kemal Ataturk. Sejak tampuk kekuasaan ada ditangannya, ia melakukan reformasi besar-besaran. Begitu ambisiusnya Mustafa Kemal mempromosikan Turki sebagai negara modern yang sekuler dan demokratis. Turki yang semula bernapas Islam, digarap dengan penuh kebencian dalam sekejap disulap menjadi negara sekuler. Turki modern mengobrak-abrik ajaran Islam dan merombak habis-habisan sistem pemerintahan Khilafah menjadi Republik Turki yang berhukum dengan hukum selain Islam.

Sejak saat itu, kompas Turki mengarah ke Barat. Pemerintahannya mulai mengekor sejumlah negara Barat, menjalin hubungan mesra dengannya, dan mengadopsi nilai-nilai maupun sistem tatanan kehidupan Barat. Hal ini membuat Turki semakin jauh tenggelam dalam sistem yang lemah dan ketergantungannya, bukan kebesaran dan kekuatannya. Sebagai bagian dari aksi sekularisasinya, Ia mengganti huruf Arab dengan alfabet yang berbasis latin.

Hagia Sofia yang merupakan masjid agung simbol kemenangan Islam disulap menjadi museum, ia juga memperkenalkan kalender Gregorian yang lazim dipakai di dunia Barat. Ia pun memaksa warganya agar mengenakan pakaian yang meniru orang Barat, mengenalkan warganya dengan undang-undang tentang persamaan gender, melarang wanita muslim menutup aurat, mendirikan pabrik miras yang semula dilarang, dan lain-lain. Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan, perubahan nama Turki menjadi Turkiye sesungguhnya tidak akan mampu mengembalikan Turki menjadi negara bersendikan pemerintahan Islam. Erdogan ataupun Mustafa Kemal sama-sama menerapkan konstitusi dan hukum sekuler yang mendominasi kehidupan masyarakat Turki.

Menjanjikan Kejayaan Islam di Turki

Mustafa Kemal telah tercatat di ingatan kaum muslim menjadi mimpi buruk yang panjang. Akibat pengkhianatannya, kaum muslim harus kehilangan sang induk dan kejayaannya di Turki yang telah membersamai selama 1300 tahun. Hal ini menjadi pukulan telak dan nelangsa yang tak berkesudahan bagi kaum muslim, tak cuma muslim, manusia yang hidup pada era itu pun merasakan kesejahteraannya. Tentu ini menjadi wawasan bagi kaum muslimin, bahwa Turki yang saat itu menjadi ibu kota Khilafah dicaplok paksa oleh kafir penjajah lewat pahlawan palsu. Oleh karena itu, kita jangan mudah tergiur dengan iming-iming apa pun yang bukan berasal dari Islam.

Hari ini, penerapan sekularisme di setiap sendi kehidupan telah nyata menutup mata kaum muslimin untuk bangkit. Sekularisme telah membius kaum muslimin dalam kefanaan duniawi. Suatu keniscayaan jika paham sekuler dibiarkan berkembang di negeri ini, maka akan muncul Ataturk selanjutnya dari negeri ini. Sejarah tak selamanya membisu, seiring berkembangnya zaman orang semakin tahu bahwa Turki pernah mencapai abad keemasan di bawah kepemimpinan Islam.

Sepintar apa pun musuh-musuh Islam menutupi dan membendung ingatan kaum muslimin akan kejayaan Islam, faktanya selalu ada peristiwa yang akan menyibak peradaban agung yang pernah bersinar. Semestinya, jika Presiden Erdogan ingin mengembalikan nilai-nilai tatanan kehidupan yang baik dan membawanya kepada peradaban yang gemilang, hendaklah kembali menengok pada sejarah, apa yang membawa Khilafah Islamiah mencapai puncak keemasannya? Yakni saat Islam diterapkan dalam tatanan kehidupan bernegara. Penerapan syariat ini bukanlah utopia, melainkan nyata.

Urgensi Keberadaan Khilafah

Keberadaan seorang khalifah (imam) sebagai perisai umat bagaikan jantung dalam peradaban Islam. Dapat kita saksikan hari ini, betapa menderita dan terpuruknya umat Islam hidup tanpa perisai. Benarlah, sebuah riwayat yang mengatakan bahwa di akhir zaman itu umat Islam bagaikan buih di lautan, jumlahnya banyak namun tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Demikianlah, hanya Khilafah Islamiah yang mampu menghapus jejak dan bayang-bayang sekularisme. Khilafah akan menjadi inti dari persatuan dan kesatuan, serta mengembalikan entitas yang telah dihancurkan oleh Mustafa Kemal. Sehingga, kekuatan Turki berasal dari kekuatan Islamnya, sistem Sang Pencipta, serta kekuatan kaum muslimin yang sangat besar dari kekayaannya yang tidak terbatas. Sudah saatnya, umat Islam sadar bahwa kembali kepada kehidupan Islam adalah solusi dari semua persoalan yang mendera. Tegaknya Khilafah yang kedua, merupakan harapan besar untuk mengembalikan kemuliaan kaum muslimin, dan itu pasti akan terwujud, sebagaimana bisyarah dari Rasulullah saw., "…..Kemudian akan tegak kembali Khilafah yang mengikuti metode kenabian. Setelah itu Rasulullah diam." (HR.Ahmad).

Wallahu a'lam bish-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ahsani Annajma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Melambungnya Harga Tiket Masuk Candi Borobudur, Kapitalisasi Sektor Pariwisata
Next
Hari Ini Tak Sama Lagi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram