“Thailand menjadi negara pertama di Asia yang mendekriminalisasi ganja. Aturannya bersandar pada sesuatu yang rapuh dan tak pasti. Tak heran bila kehidupan manusia selalu berakhir tragis. Maunya mengatur, malah menjadi hancur.”
Oleh. Deena Noor
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Ganja atau mariyuana yang selama ini kita ketahui sebagai barang terlarang karena mengandung zat berbahaya kini dilegalkan oleh Thailand. Negeri Gajah Putih itu bahkan menganggap ganja bisa berharga seperti emas bila mengetahui cara pemanfaatannya. Karena itulah, pemerintah Thailand kemudian mempromosikan ganja untuk medis dan kesehatan secara luas.
Inilah pemikiran ala kapitalis. Melihat segala sesuatu dari untung dan rugi, tidak berpatokan pada prinsip benar dan salah. Tidak terlampau memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Padahal, bahaya besar telah mengintai di balik gelimang materi yang diraih. Atas nama kapital, semua sah adanya.
Di hadapan kapitalisme, apa pun akan dianggap berharga selama bisa mendatangkan manfaat. Ia akan dipandang selayaknya emas, meskipun pada faktanya rusak dan berbahaya, bahkan bertentangan dengan agama. Seperti halnya ganja yang memiliki efek memabukkan dan merugikan kesehatan nyatanya dinilai bisa menghasilkan keuntungan.
Sebenarnya apa latar belakang legalisasi ganja di Thailand? Benarkah ini akan berdampak baik? Bagaimana pandangan Islam terkait ganja?
Mendongkrak Ekonomi
Sejak Kamis (9/6/2022), pemerintah Thailand secara resmi menetapkan undang-undang yang melegalkan ganja. Aturan baru tersebut membolehkan pembudidayaan, penggunaan, dan kepemilikan ganja untuk keperluan medis dan kesehatan.
Motif ekonomi menjadi alasan kuat dilegalkannya ganja. Thailand ingin membuat gebrakan di pasar ganja medis. Ia berupaya memenangkan pasar mariyuana untuk sektor perawatan kesehatan yang banyak menggunakan ganja dan turunannya. Selama ini industri pariwisata medis Thailand memang telah berkembang dengan baik.
Selain itu, berada di iklim tropis menjadikan Thailand memiliki tanah yang ideal untuk menanam ganja. Tanaman ini dipandang sebagai tanaman komersial baru yang bisa mendatangkan keuntungan. Pemerintah Thailand mempromosikan ganja sebagai penghasil uang dan bisa menjadi sumber pendapatan lain bagi petani. Satu juta bibit ganja dibagikan gratis ke rakyat Thailand guna mendorong penanaman secara masif.
Wakil Juru Bicara Pemerintah Thailand, Traisulee Traisoranakul, mengatakan bahwa siapa saja boleh menanam ganja dan bekerja sama dengan rumah sakit provinsi untuk keperluan medis dengan meminta persetujuan dari pihak berwenang. Ia juga mengatakan bahwa telah ada 2.500 rumah tangga dan 251 rumah sakit provinsi yang telah menanam 15.000 tanaman ganja. (liputan6.com, 9/6/2022)
Aturan baru ini diharapkan bisa mengembangkan perdagangan ganja lokal, sehingga dapat membangkitkan kembali sektor pertanian dan pariwisata. Dua sektor ini amat penting untuk perekonomian Thailand. Julukan "Lumbung Padi Asia Tenggara" untuk Thailand bukan tanpa sebab. Negeri Siam ini memiliki tanah yang subur sehingga pertanian pun menjadi maju. Bentang alamnya juga elok dipandang, sehingga menarik minat wisatawan untuk datang. Materi pun mengalir deras.
Adanya pandemi Covid-19 tak pelak turut menghantam negeri Siam ini, termasuk sektor pariwisatanya yang terkenal ke seantero dunia. Perekonomian jelas terpukul sebagaimana yang dialami oleh negara-negara lainnya. Setelah pandemi mereda, Thailand pun berusaha bangkit kembali dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menjadikan ganja sebagai barang yang legal di sana.
Ganja dalam Aturan Absurd
Thailand menjadi negara pertama di Asia yang mendekriminalisasi ganja setelah menghapusnya dari daftar obat-obatan terlarang pada bulan Januari lalu. Masyarakat boleh menanam ganja di pekarangan rumah masing-masing. Mereka juga boleh mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung ganja. Gerai-gerai pun ramai oleh pembeli yang ingin menikmati ganja dalam berbagai rupanya.
Meskipun legal, masyarakat tetap tidak diperbolehkan menggunakan ganja untuk kesenangan semata. Pemerintah Thailand melarang rakyatnya untuk mengisap ganja di area publik karena bisa mengganggu kepentingan umum. Kepemilikan dan penjualan ekstrak ganja yang mengandung tetrahidrokanabinol, bahan psikoaktif ganja, lebih dari 0,2 persen juga dianggap ilegal. Akan ada sanksi dan denda bagi yang melanggar aturan tersebut. (cnbc.com, 10/6/2022)
Menteri Kesehatan Thailand, Anutin Charnvirakul, menyatakan bahwa tujuan penggunaan ganja hanya untuk medis dan kesehatan. Sama sekali tidak dimaksudkan untuk tujuan rekreasi dan mengganggu orang lain. Mereka yang melanggar larangan merokok ganja akan dipidana 3 bulan dan denda 25 ribu baht atau sekitar Rp10 juta. (health.detik.com, 11/6/2022)
Aturan yang melegalkan ganja ini tampak lemah dan tak tegas. Di satu sisi membolehkan ganja untuk tujuan kesehatan dan medis, sementara di sisi lain melarangnya bila digunakan untuk bersenang-senang. Bukankah makan permen ganja itu termasuk bersenang-senang? Orang merasa senang dan menikmati saat mengonsumsi ganja. Bagaimana jika setelah mengonsumsi makanan dan minuman yang berganja, kemudian malah memicu terjadinya tindakan tak biasa dan mengganggu orang lain?
Aturan ini juga terdapat banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab yang hanya mementingkan keuntungan semata. Siapa saja bisa membuat alasan supaya aksinya tak terjerat hukum. Bila ketahuan melanggar larangan pemerintah tersebut, pelaku masih bisa berdalih bahwa yang dilakukan dalam rangka pengobatan misalnya.
Betapa absurdnya aturan dalam sistem manusia kapitalis. Aturannya bersandar pada sesuatu yang rapuh dan tak pasti. Tak heran bila kehidupan manusia selalu berakhir tragis. Maunya mengatur, malah menjadi hancur.
Setelah Ganja Dilegalkan
Gloria Lai, Direktur Regional Asia dari Konsorsium Kebijakan Narkoba Internasional mengatakan bahwa hasil positif utama dari perubahan hukum adalah bahwa setidaknya 4.000 orang yang dipenjara karena pelanggaran terkait ganja akan dibebaskan. Mereka yang menghadapi dakwaan terkait ganja akan dijatuhkan, dan uang serta ganja yang disita akan dikembalikan kepada pemiliknya. (cnbcindonesia.com, 10/6/2022)
Tampaknya motif untuk mengurangi kepadatan penjara bisa terakomodasi lewat aturan yang melegalkan ganja ini. Seperti yang diketahui, Thailand memang terkenal dengan penjaranya yang padat di ASEAN. Salah satu faktornya adalah karena kasus yang berkaitan dengan narkoba dan ganja. Namun, adanya aturan yang baru ini, orang tak akan dengan mudah ditangkap karena memiliki atau menggunakan ganja.
Tak berapa lama setelah aturan baru tersebut ditetapkan, masalah mulai muncul. Empat orang dirawat di rumah sakit di Bangkok karena overdosis ganja. Satu di antaranya adalah seorang pria berusia 51 tahun yang kemudian meninggal dunia akibat gagal jantung. Tiga lainnya ada remaja berusia 16 tahun dan 17 tahun serta pria berumur 25 tahun yang mengalami sesak napas setelah mengonsumsi ganja. (dunia.tempo.com, 15/6/2022)
Bukan tak mungkin ke depannya kasus-kasus seperti ini makin meningkat seiring kian bebasnya peredaran ganja di tengah masyarakat. Masalah-masalah baru akan terus bermunculan.
Inilah efek dari penerapan aturan ala kapitalisme yang berfokus pada materi. Aturan dibuat dengan mempertimbangkan aspek untung dan rugi saja. Baik atau buruk bukan menjadi dasar utama.
Haram Mutlak
Ganja memiliki dampak buruk bagi kesehatan manusia. Mengonsumsi ganja secara berlebihan bisa menimbulkan gangguan pernapasan, peningkatan detak jantung, perubahan struktur otak, masalah kesuburan, melemahkan sistem imun, menghambat tumbuh kembang janin dan bayi, mengurangi kecerdasan kognitif hingga berisiko memunculkan gejala psikotik. Ini yang membuat ganja termasuk barang terlarang di berbagai belahan dunia.
Namun, bukan hal itu yang menjadikan ganja dilarang dalam Islam. Tidak ada illat (alasan penetapan hukum) keharaman ganja. Hukum ganja dalam syariat tidak mengikuti ada atau tidak adanya manfaat atau pun bahaya yang terdapat padanya. Tidak melihat pula apakah ganja tersebut memberikan efek negatif atau tidak bagi masyarakat. Syariat telah mengharamkan berdasarkan nas yang ada. Dari Ummu Salamah r.a, dia berkata: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang tiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis di atas menjadi dalil keharaman ganja. Para ulama menjelaskan bahwa kata “mufattir” dalam hadis tersebut bermakna setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha’) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, hlm. 342)
Jadi, ganja hukumnya haram secara mutlak. Baik itu menanam, mengonsumsi, menjual, membeli, atau sekadar mencicipi ganja haram hukumnya. Meskipun hanya memakai ganja sedikit sebagai penyedap makanan misalnya, tetaplah ganja itu haram. Sedikit atau banyaknya jumlah, hukum keharaman ganja tak berubah.
Bila syariat telah menetapkan keharamannya, maka wajib bagi setiap muslim untuk mengikutinya. Alasan apa pun tak dibenarkan untuk kemudian boleh memanfaatkannya dalam berbagai bentuk dan cara. Alasan kesehatan atau karena bisa mendatangkan keuntungan sama sekali tak menjadi pertimbangan untuk menghalalkan ganja.
Toh, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menghasilkan materi yang halal sesuai syariat. Ini sangat mendasar bagi muslim karena hukum perbuatan terikat pada aturan syariat.
Syariat Mengatur demi Kebaikan
Alasan melegalkan ganja demi mendongkrak ekonomi yang anjlok karena pandemi merupakan tipikal kapitalisme. Sudah jamak diketahui bahwa aturan dalam sistem ini hanya mengejar keuntungan semata. Solusi yang diambil bersifat pragmatis dan tambal sulam. Bahkan tak sampai menyentuh pada akar persoalan. Akibatnya, masalah menjadi terus bertambah. Alih-alih terselesaikan, yang ada masalah malah makin runyam dan menyengsarakan.
Persoalan ekonomi yang merosot akibat pandemi adalah persoalan sistemis sehingga harus diselesaikan dari sistemnya. Selama sistemnya kapitalisme, maka tak akan menemui ujungnya. Penerapan kapitalisme justru menjadi biang permasalahan yang menimpa umat manusia. Maka, bagaimana mungkin sistem yang bermasalah ini akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada?
Berbeda halnya dengan Islam yang merupakan sistem kehidupan hakiki karena bersumber langsung dari wahyu Allah, Sang Khalik. Karena itulah, negara yang menerapkan syariat Islam kaffah akan merumuskan setiap kebijakannya dengan spirit takwa, bukan untuk mengejar harta dan tahta. Tak ada kepentingan yang bermain dalam menetapkan setiap kebijakan negara selain demi menggapai rida-Nya.
Tidak ada yang namanya melegalkan haram demi meraup keuntungan sebagaimana yang terjadi dalam dunia yang dikuasai kapitalisme sekarang ini. Halal menjadi hal mendasar bagi setiap muslim yang tak bisa ditawar. Kemaslahatan dilihat dari pandangan syariat Islam semata. Kebaikan adalah setiap yang bersesuaian dengan titah-Nya.
Terang cahaya Ilahi melingkupi seluruh sisi Daulah Khilafah Islamiah. Meletakkan kedaulatan senantiasa di genggaman syarak. Tidaklah setiap peraturan negara lahir, kecuali dari rahim syariat. Fokus pada capaian ukhrawi akan menuntun setiap langkah pemerintah yang bertakwa menjalankan amanah sebaik mungkin.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]