"Kebebasan memiliki senjata di AS dipayungi oleh Amandemen Kedua Konstitusi Amerika pada 15 Desember 1971. Ini menjadi dasar hukum bagi siapa saja untuk membeli dan memiliki senjata. Meskipun ada sejumlah persyaratan tertentu yang harus dipenuhi untuk bisa memiliki senjata, namun sulit untuk mengontrol penggunaannya pada masing-masing individu."
Oleh. Deena Noor
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.com- Kebebasan yang dijunjung negara kampiun demokrasi, Amerika, menebarkan badainya. Kepemilikan senjata yang disebut sebagai wujud kebebasan warga berubah menjadi teror penembakan yang tiada henti di sana. Seolah tiada hari tanpa kasus yang melibatkan senjata api.
Kasus kematian akibat senjata api juga terus meningkat setiap tahunnya.
Berondongan Senjata Mengguncang Amerika
Penembakan massal kembali mengguncang Amerika. Yang terbaru adalah di Philadelphia. Insiden ini menambah daftar panjang kasus penembakan di Amerika.
Dilansir dari republika.co.id, peristiwa penembakan terjadi di kawasan South Street, Philadelphia yang saat itu tengah padat manusia pada Sabtu tengah malam (4/6/2022). Akibatnya, tiga orang tewas dan 11 lainnya mengalami luka-luka. Sebelum itu, telah terjadi penembakan massal di sebuah supermarket di Buffalo, New York, pada Sabtu (14/5/2022). Penembakan yang bermotif rasial ini mengakibatkan 10 orang tewas dan 3 orang terluka. Belum hilang ingatan akan kejinya penembakan di sebuah sekolah dasar di Uvalde, Texas, yang menewaskan 19 anak-anak dan 2 orang guru pada Selasa (24/5/2022). Lalu, ada lagi penembakan di sebuah rumah sakit di Oklahoma pada Rabu (1/6/2022). Penembakan brutal ini menewaskan 5 orang termasuk pelakunya.
Education Week, sebuah organisasi yang mencatat peristiwa penembakan yang terjadi di sekolah AS, merilis data bahwa ada 119 penembakan di sekolah dari tahun 2018 hingga 2022. Organisasi ini melacak di mana senjata api diletuskan dan di mana setiap orang (kecuali tersangka) memiliki luka akibat insiden tersebut. Data dari Everytown menambahkan bahwa satu dari empat korban penembakan adalah anak-anak dan remaja. (kompas.com, 25/5/2022)
Organisasi pengumpulan data independen, The Gun Violence Archive mendefinisikan penembakan massal sebagai kejadian penembakan yang melukai atau menewaskan empat orang atau lebih. Data yang dihimpun oleh The Gun Violence Archive menunjukkan telah terjadi 230 kasus penembakan massal hingga pertengahan tahun 2022 ini. Menurut data tersebut, pada bulan Januari tercatat ada 34 penembakan terjadi. Pada bulan Februari terjadi 36 insiden penembakan massal. Lalu, pada bulan Maret angkanya meningkat menjadi 46 kasus penembakan. Pada April, penembakan tercatat sebanyak 57 kasus. Kemudian, pada Mei insiden penembakan mengalami kenaikan hingga mencapai 61 kasus. Untuk catatan kasus per tahunnya, sumber dari The Washington Post mencatat bahwa angka penembakan massal cenderung naik. Rinciannya adalah pada tahun 2014 tercatat 91 kasus, tahun 2015 ada 116 kasus, tahun 2016 terdapat 122 kasus, tahun 2017 ada 141 kasus, tahun 2018 ada 106 kasus, tahun 2019 ada 147 kasus, tahun 2020 tercatat 155 kasus, tahun 2021 ada 240 kasus, dan tahun 2022 (hingga Juni) ada 232 kasus. (cnbc.com, 3/6/2022)
Dari data-data tersebut jelas memperlihatkan bahwa kekerasan berkaitan dengan senjata mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan per minggunya. Tiada minggu tanpa ada kasus penembakan terjadi di Amerika. Bila dihitung secara kasar mungkin ada sekitar 10 kasus lebih tiap minggu. Sebuah angka yang luar biasa mencengangkan. Ini jelas memberikan gambaran betapa buruknya kondisi keamanan di tengah masyarakat Amerika.
Sulit Mengendalikan Senjata
Presiden Joe Biden menyampaikan belasungkawanya setelah tragedi di Robb Elementary School, Uvalde, Texas, yang merenggut nyawa anak-anak sekolah dan dua orang gurunya. Ia kemudian mendesak kongres untuk merombak UU terkait senjata api. Namun, sepertinya upaya ini tak mudah sebagaimana yang sudah-sudah.
Kongres AS berulang kali mengalami kegagalan dalam meloloskan undang-undang pengendalian senjata utama. Sejumlah RUU dirancang untuk lebih memperketat persyaratan dan pembatasan kepemilikan senjata. Namun, kuatnya tentangan dari mereka yang kontra, membuat upaya untuk mengatur pengendalian senjata menjadi tak berarti.
Dari pihak yang kontra terhadap aturan pengendalian senjata, ada NRA yang sangat menentang segala bentuk kontrol senjata. NRA (National Riffle Association of America) adalah sebuah organisasi yang paling kuat melobi pemerintah dan daerah terkait kepemilikan senjata di AS. Organisasi ini didirikan oleh dua orang veteran perang saudara AS, William Conant Church dan George Wood Wingate pada 17 November 1871.
Awalnya organisasi ini untuk memajukan keahlian menembak senapan. Namun, NRA di masa modern telah berubah menjadi pelobi hak senjata yang terkemuka. Mereka melakukan lobi-lobi khusus terkait senjata dengan dukungan dana yang cukup kuat. Pada tahun 2020, NRA mengeluarkan anggaran sekitar US$250 juta atau Rp3,6 triliun. Dalam hal lobi, NRA secara resmi menghabiskan dana sekitar US$3 juta atau Rp43 miliar per tahun. Jumlah anggota NRA juga cukup besar, yakni sekitar tiga juta orang. Di antara yang pernah menjadi anggotanya adalah mantan Presiden AS, George HW Bush. (bbc.com, 27/5/2022)
Dengan latar belakang seperti itu, tak mengherankan bila sangat sulit mengendalikan peredaran senjata api. Mereka yang kontra berdalih bahwa kepemilikan senjata adalah kebebasan yang dilindungi oleh undang-undang.
Kebebasan yang Mematikan
Kebebasan memiliki senjata di AS dipayungi oleh Amandemen Kedua Konstitusi Amerika pada 15 Desember 1971. Ini menjadi dasar hukum bagi siapa saja untuk membeli dan memiliki senjata. Meskipun ada sejumlah persyaratan tertentu yang harus dipenuhi untuk bisa memiliki senjata, namun sulit untuk mengontrol penggunaannya pada masing-masing individu.
Mengatur kepemilikan senjata di Negara Paman Sam adalah sangat sulit karena berkaitan dengan kebebasan. Kepemilikan senjata adalah kebebasan yang sama dengan kebebasan lainnya seperti kebebasan berekspresi, berpendapat, beragama, dan berkumpul. Kebebasan ini dijamin oleh undang-undang.
Menurut data dari Statista, jumlah pemilik senjata legal dan ilegal di AS ada 393,3 juta orang pada tahun 2017. Sementara menurut data dari American Gun Facts menyebutkan bahwa 32% warga AS memiliki senjata pribadi. Data yang diperoleh dari survei senjata api nasional di tahun 2021 menunjukkan ada sekitar 81,4 juta warga AS yang memiliki senjata api sendiri. Jumlah ini membuat AS berada di urutan pertama negara dengan warga yang memiliki senjata api. (news.okezone.com, 15/4/2022)
Jumlah senjata api yang beredar di AS lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan populasinya. Ada 120,5 senjata api untuk tiap 100 orang di Amerika. Besarnya peredaran senjata api di tengah masyarakat tentu berpengaruh terhadap tingginya kriminalitas. Hal ini juga menjadi penyebab meningkatnya kematian karena senjata api dan penembakan massal sebagaimana yang terjadi di AS.
Kultur Kekerasan yang Melekat
Penembakan massal yang terjadi di AS merupakan tindak kekerasan yang setiap tahunnya selalu meningkat. Aksi-aksi bak koboi jalanan kerap terjadi. Apalagi dengan film-film laga ala Hollywood yang menampilkan sosok pahlawan atau protagonis dengan senjata di tangannya. Seolah menunjukkan tidak mengapa melakukan kekerasan demi meraih suatu tujuan.
Kultur kekerasan melekat di tengah masyarakat Amerika. Bahkan, sejak awal berdirinya, negara ini telah dimulai dengan kekerasan.
Bila kita melihat sejarah masa lalu, sesungguhnya Amerika berdiri di atas kekerasan yang menimpa bangsa Indian. Benua Amerika yang kala itu didiami bangsa Indian sebagai penduduk aslinya kedatangan orang-orang dari Eropa. Bangsa Eropa inilah yang kemudian mengusir dan membantai orang-orang Indian demi menguasai tanahnya. Amerika yang sekarang ini adalah hasil dari penjajahan dan pembantaian bangsa Eropa terhadap bangsa Indian di masa lalu. Negara adidaya Amerika berpijak pada genangan darah dan air mata orang-orang Indian.
Demokrasi Mengekspansi Kekerasan
William Blum dalam bukunya Demokrasi, Ekspor Amerika Paling Mematikan menyebut bahwa sejarah Amerika adalah sejarah suatu pembentukan imperium sejak pendatang Inggris yang pertama membunuh orang asli Amerika yang pertama. Kekerasan sejak awal ini terus dilanggengkan melalui berbagai cara demi mempertahankan eksistensinya. Ini menjadi sebuah keharusan bagi suatu kekuasaan agar bisa terus berjaya.
Dalam buku tersebut, Blum juga menyatakan bahwa salah satu tujuan abadi dan paling inti dari kebijakan luar negeri Amerika adalah mencegah pihak mana pun untuk bisa bangkit supaya tidak menjadi contoh yang baik bagi alternatif lain di luar model kapitalis. Prinsip menghalalkan segala cara menjadi dasar untuk melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan agar tujuan
tercapai.
Penjajahan merupakan metode kapitalisme untuk menyebarkan ideologinya. Dengan cara kekerasan dan peperangan, negara kapitalis menyerang dan menjarah bangsa lain. Mereka mengambil kekayaan alam dan menjejali tanah jajahannya dengan ide-ide yang mendukung kekuasaan kapitalis. Cara bisa saja berubah, dari secara fisik langsung menduduki suatu wilayah hingga memaksakan pemikiran Barat agar diikuti dan diemban bangsa jajahannya. Intinya tetap sama, yakni melakukan penjajahan kepada bangsa lain.
Kita ingat bagaimana Amerika menginvasi Irak dengan alasan adanya senjata pemusnah massal Irak. Mereka mengirimkan tentaranya untuk menyerang wilayah Negeri Seribu Satu Malam itu hingga menjadi porak-poranda. Belakangan diketahui bahwa alasan itu hanyalah bualan pemerintah Bush yang sama sekali tak terbukti. Senjata pemusnah massal tak ada, justru rakyat Irak yang menjadi korban akibat invasi yang semena-mena.
Islam Sistem Menawan
Berbeda halnya dengan Kapitalisme yang menyebarkan ideologinya melalui penjajahan dan kekerasan, Islam tersebar ke seluruh dunia melalui jalan futuhat (pembebasan). Daulah Islam yang mengemban risalah Islam untuk seluruh alam membebaskan negeri-negeri yang masih diliputi sistem rusak dan merusak agar masuk pada terangnya syariat Islam.
Bila penjajahan ala kapitalisme adalah untuk menguasai dan mengeksploitasi negara jajahannya, maka futuhat Islam adalah untuk menerapkan aturan Islam yang agung. Tak mengherankan bila negeri jajahan kapitalisme rakyatnya menderita dan miskin. Sementara negeri-negeri yang berada di wilayah Daulah Islam justru makmur sejahtera.
Keberhasilan Islam ini tercatat dalam sejarah peradaban dunia.
Dalam Islam memang ada perang, namun perang itu adalah upaya terakhir ketika negara lain menolak tunduk pada syariat Islam. Ada dakwah terlebih dahulu untuk menjelaskan bagaimana kebaikan dan keunggulan aturan yang berdasarkan wahyu Allah.
Peperangan dalam Islam pun juga tidak dengan melakukan perusakan dan pembunuhan secara membabi buta. Dilarang bagi muslim untuk menyerang mereka yang lemah seperti anak-anak, orang tua, wanita dan mereka yang telah menyerah. Tidak diperbolehkan pula melakukan penyerangan pada fasilitas publik, rumah penduduk, merusak pohon ataupun membakar hutan.
Aturan Islam sangat menjaga setiap kehidupan. Tidak memandang ras dan agama. Siapa saja yang berlindung di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiah akan dijamin keselamatannya, sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya (mendukung) dan menjadikannya pelindung.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasai, dan Ahmad)
Sistem hukum yang berlandaskan pada syariat akan menciptakan keamanan dan keadilan tanpa diskriminasi. Sistem hukum Islam berorientasi pada aspek pencegahan dengan sanksi yang tegas. Ada efek jera yang dirasakan masyarakat ketika hukum ditegakkan berdasar syariat Islam.
Negara akan memastikan syariat diterapkan secara kafah. Setiap sisi kehidupan berjalan sesuai syariat dengan pengawasan dari negara. Setiap hal yang bertentangan dengan akidah Islam akan dihilangkan. Pemikiran yang menyimpang akan dibasmi. Suasana keimanan selalu diciptakan dan dijaga di tengah masyarakat. Ketakwaan akan senantiasa dihidupkan. Kesadaran sebagai hamba Allah akan menjadi pengendali setiap perbuatan manusia.
Akhirnya, ketaatan pada hukum akan muncul dengan kesadaran yang benar bahwa Allah Maha Melihat dan setiap perbuatan akan dihisab kelak. Ini menjadi kesadaran setiap insan dalam daulah, baik dia penguasa, pejabat, atau rakyat biasa. Masing-masing akan menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan pertimbangan syariat. Maka, penyalahgunaan senjata seperti yang terjadi di Amerika tidak akan terjadi. Negara telah menjamin keamanan dan keselamatan bagi setiap warganya dan rakyat pun juga patuh pada hukum yang diterapkan.
Inilah yang terjadi bila negara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Bila ingin mendapatkan kehidupan yang baik secara lahir dan batin, maka haruslah Islam yang menjadi aturan.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]
Photo : Unsplash