Jalan Panjang Sekularisasi sang Pionir Arab Spring

“Maka menjadi sekuler memang merupakan keniscayaan bagi Tunisia bahkan sejak awal ‘kelahirannya’ sebagai sebuah negara baru, mengingat sekularisme adalah ‘warisan’ dari Prancis secara langsung.”

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-“If you use religion to engage in political extremism, we will not allow that.” –Sadeq Belaid (Ketua Dewan Penasihat Nasional Tunisia)

Kalimat Sadeq tersebut cukup menghebohkan Tunisia dan pengamat beberapa waktu terakhir. Kalimat yang menegaskan secara eksplisit bahwa Tunisia tidak menghendaki ekstremisme politik berbalut agama dalam bentuk apa pun, yang membuat petinggi Tunisia hendak melakukan referendum dengan menghapus pasal 1 di konstitusi negara yang mengawali peristiwa Arab Spring tahun 2011 lalu (Middle East Eye, 7/6/22). Pasal 1 yang hendak dihapus itu berbunyi,“Tunisia adalah negara yang merdeka, independen, dan berdaulat; Islam adalah agamanya, Arab adalah bahasanya, dan sistemnya adalah republik”.

Keinginan untuk mereferendum konstitusi dan mengaitkan agenda ini sebagai upaya menjaga Tunisia dari ekstremisme politik menandakan bahwa Islam dianggap sebagai cikal bakal ekstremisme tersebut. Sadeq yang merupakan guru dari Presiden Tunisia saat ini, Kais Saied, bahkan secara jelas menyebut bahwa ia ingin mendepak partai yang bernapaskan Islam, seperti Ennahda –pemilik kursi terbanyak di parlemen- dari perpolitikan Tunisia.

Kehebohan dalam tataran pemerintahan ini merembet hingga ke akar rumput yang mendorong rakyat untuk turun ke jalan menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap rencana referendum konstitusi tersebut. Kondisi ini sebetulnya tak lepas dari kejadian sebelumnya, ketika Presiden Saied membubarkan parlemen yang berisikan oposisi dan berkuasa dengan mengeluarkan dekrit, sehingga dinilai oleh publik sebagai sebuah upaya untuk mengonsolidasikan kekuasaannya sendiri (Aljazeera, 4/6/22).

Keributan seperti ini merupakan hal yang tak anyar di Tunisia, mengingat sebelumnya mereka sudah ‘berpengalaman’ serupa dan disebabkan dengan tuntutan rakyat yang mirip juga. Masalah korupsi yang marak, ekonomi yang merosot, resistensi kubu oposisi dengan rezim incumbent sehingga sulit ada kesepahaman dalam pemerintahan, hingga kekuasaan yang berpotensi menjadi rezim otoriter adalah beberapa masalah yang membuat negara beribukotakan Tunis ini menjadi ‘kartu domino' pertama yang jatuh saat Arab Spring 11 tahun silam. Bagaimana sebenarnya Islam memandang fenomena seperti yang terjadi di Tunisia ini?

Tunisia, Riwayatmu Dulu dan Kini

Berada di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah hingga dijadikan sebagai wilayah protektorat kolonialis Prancis adalah dua fragmen kisah Tunisia dalam urusan pemerintahan. Fase kemerdekaannya dari Prancis pun dapat dikatakan sebagai fondasi pembentukan Tunisia sebagai sebuah republik modern sebagaimana hari ini. Maka menjadi sekuler memang merupakan keniscayaan bagi Tunisia bahkan sejak awal ‘kelahirannya’ sebagai sebuah negara baru, mengingat sekularisme adalah ‘warisan’ dari Prancis secara langsung.

Adapun Islam selalu memiliki porsi tersendiri ketika membahas Tunisia, karena Islam memang merupakan agama yang cukup berkembang sejak abad kesepuluh di sana. Hingga hari ini, muslim adalah populasi mayoritas di Tunisia, meski uniknya, sekitar satu per tiganya mengaku bahwa mereka tidak religius. Persentase tersebut bahkan membuat Tunisia diidentifikasi sebagai negara yang paling tidak religius di dunia Arab (BBC, 23/6/2019).

Data ini tentu menarik, karena agaknya Tunisia tidaklah sendirian jika melihat kondisi dunia Islam secara umum hari ini yang kaum musliminnya tidak merasa bahwa mereka tergolong religius. Sikap nonreligius –atau sebut saja sekuler- dalam bermasyarakat dan bernegara adalah warna yang cukup kentara di Tunisia dan negeri Islam lainnya.

Terkait urusan politik, efek dari perjalanan ini adalah bahwa keberadaan Islam juga tidak jarang menjadi sorotan, bahkan dalam pemerintahan pasca-Arab Spring. Eksisnya Partai Ennahda yang bahkan memiliki kursi terbanyak di parlemen, diakui sebagai salah satu partai Islam tersohor di Tunisia. Meski demikian, sekularisme yang begitu kentara di Tunisia pun akhirnya membuat partai yang digadang-gadang bernapaskan Islam ini berusaha ditekan sedemikian rupa.

Tuntutan yang kerap disuarakan oleh rakyat Tunisia pun seringnya menyuarakan seputar pemerintahan yang bersih dari korupsi serta tidak otoriter, namun di waktu yang sama, sekularisme yang secara tegas memisahkan urusan agama dari kehidupan bernegara tidak dianggap sebagai masalah yang harus dihentikan. Tentu hal ini layaknya sebuah paradoks bagi Tunisia yang mayoritas berpopulasi penganut agama yang memiliki sebaik-baik hukum dan aturan Ilahi.

Amerika Bersikap

Bicara sekularisasi, maka nama AS jelas akan terbahas, karena AS menggadang agenda ini dengan apik sejak lama untuk dunia Islam. Mereka berangkat dari persepsi bahwa dengan menjadi sekuler, maka dunia akan menjadi lebih damai karena urusan agama tidak mendasari langkah politik suatu negara. Kondisi terkini Tunisia pun turut mendapat sorotan dari AS, yang dikatakan bahwa mereka cenderung mendukung pihak oposisi dari Presiden Kais. Hal ini dikarenakan menurut AS, Saied berkuasa melalui jalan yang tidak demokratis dan berpotensi mengancam kepentingan AS.

Sikap AS baik jika mereka mendukung Saied atau mendukung oposisi di Tunisia sebetulnya tidak terlalu berpengaruh terhadap jalannya perpolitikan Tunisia. Hal ini tentu disebabkan karena siapa pun yang menjabat kuasa di Tunisia, sekularisme tetap akan menjadi primadona yang dilanggengkan, dan itu sedikit tidak akan tetap memberikan keuntungan atas AS yang memang meniscayakan hal itu bagi dunia Islam. Langkah AS yang tidak terlalu condong pada kekuasaan Saied yang ‘tidak demokratis' ini juga dapat dilihat sebagai sebuah upaya AS untuk mengintervensi lebih jauh atas politik dalam negeri Tunisia, yang dalam beberapa waktu terakhir, Biden kurang memiliki hubungan yang baik dengan Saied. Lagi-lagi, AS sejatinya tengah menunjukkan pada khalayak bahwa mereka ingin mengokohkan posisinya di negeri Islam.

Perubahan Hakiki untuk Tunisia dan Kita Semua

Tak hanya bagi Tunisia, implementasi syariat Islam yang menyeluruh adalah kebutuhan yang hakiki atas berbagai masalah yang dirasakan kaum muslimin. Tuntutan rakyat yang geram karena wacana penghapusan nilai-nilai Islam dalam konstitusi sejatinya tidaklah cukup. Tuntutan tersebut selayaknya diarahkan pada perubahan yang mendasar dari asas perpolitikan Tunisia itu sendiri. Asas yang semula berdiri atas sekularisme menjadi asas Islam saja.

Islami atau tidaknya sebuah konstitusi bukan hanya diliat dari pasal, ayat, atau bahkan butir-butir yang secara eksplisit memuat nilai Islam saja, tapi harus ada implementasi yang nyata. Syariat Islam seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai esensi dan inspirasi semata, tapi haruslah ada aplikasi riil dalam kancah kehidupan. Populasi yang didominasi muslim adalah bekal awal yang sangat baik bagi Tunisia menuju sebuah perubahan yang hakiki. Namun kuantitas tersebut tidak cukup, karena harus disokong oleh kualitas pemikiran dan perasaan yang hanya menjadikan Islam sebagai landasan hidup di dunia, termasuk dalam urusan sosial-politik. Bila berbagai alarm yang termaktub dalam Al-Qur’an dan disuarakan oleh Rasulullah saw. melalui sabda beliau, bahwa betapa ruginya kehidupan manusia yang jauh dari aturan Ilahi tidak bisa menyadarkan umat, maka jangan sampai kehancuran dan kebinasaan masyarakat yang harus memberikan penyadaran kepada umat Muhammad ini. Wallahu a’lam bisshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
4 Perkara dalam Mendidik Anak Menurut Islam
Next
Demokrasi, Negeri Kampiun, dan Krisis Rasa Aman
1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dyah Rini
Dyah Rini
11 months ago

Masya Allah tulisan world news dari pakarnya. Paham sekularisme memang sudah merata masuk ke negeri - negeri Muslim ya Mbak. Bahkan negeri yang jumlah umat Islamnya sangat banyak. Teringat sabda Rasulullah, bahwa suatu saat nanti umat Islam diibaratkan seperti santapan yang dikerubuti orang- orang kafir. Padahat jumlah mereka saat tu tidak sedikit. Wallahu 'alam

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram