“Karena itu, tidak ada kata ‘hijau’ (ramah lingkungan) dalam kamus kapitalisme. Strategi yang tengah ramai dipromosikan kapitalisme yaitu mengampanyekan lingkungan ‘hijau’, merupakan kecenderungan yang meluas dan mendatangkan keuntungan.”
Oleh. Sartinah
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.com- Pesatnya perkembangan sains dan teknologi, tak pelak membuat kreativitas manusia membubung tanpa batas. Inovasi demi inovasi pun dicipta sebagai solusi atas permasalahan suatu negeri. Singapura misalnya, menjadi salah satu negara yang membuat dunia tercengang dengan inovasi daur ulangnya. Inovasi tersebut seolah menjadi jalan keluar atas krisis air yang melanda Singapura.
Demi turut berkontribusi menyelesaikan masalah lingkungan, Singapura telah mendaur ulang urine (air kencing) manusia dan limbah menjadi minuman beralkohol. Proyek tersebut sekaligus sebagai kampanye mengajak masyarakat menuju gaya hidup ramah lingkungan. Lantas, seberapa krisis Singapura hingga harus mendaur ulang urine manusia menjadi bir? Benarkah inovasi tersebut menjadi solusi mengatasi krisis lingkungan yang kini melanda dunia? Bagaimana pula efek minuman beralkohol terhadap kesehatan?
Mengenal Daur Ulang Urine
Sebuah pabrik di Singapura telah berhasil mendaur ulang urine manusia dan limbah menjadi minuman beralkohol (bir) yang diberi nama NEWBrew. Minuman tersebut secara resmi diluncurkan pada 8 April 2022 oleh perusahaan air nasional Singapura, PUB, yang bekerja sama dengan tempat pembuatan bir lokal, Brewerkz.
NEWBrew sendiri disebut terbuat dari NEWater, yang merupakan merek air daur ulang segar berkualitas tinggi di Singapura. Bahan-bahannya pun diperoleh dari cairan yang didaur ulang dari limbah, kemudian disaring, dan dipompa ke pasokan air Singapura. Dikutip dari The Straits Times, perusahaan menegaskan bahwa air daur ulang tersebut tidak hanya mematuhi standar internasional sebagai air minum yang aman dikonsumsi, tetapi juga cukup bersih untuk digunakan sebagai pembuatan bir.
Brewerkz pun mengeklaim bahwa NEWBrew sangat cocok untuk dikonsumsi di Singapura yang memiliki iklim tropis. Mereka pun menyebut bahwa NEWBrew mempunyai aftertaste seperti madu panggang yang lembut. Selain berbahan urine, bir daur ulang tersebut dibuat dari bahan-bahan terbaik, seperti malt barley Jerman premium, calypso hop, citra aromatik, dan kvei yang merupakan jenis ragi rumah pertanian paling dicari dari Norwegia. (Minews.com, 11/06/2022)
Namun, Singapura bukanlah satu-satunya negara yang mendaur ulang urine manusia menjadi minuman beralkohol. Jauh sebelumnya, produsen minuman beralkohol di Denmark pun telah membuat bir dengan bahan urine manusia. Bir ini berbahan jelai yang difermentasi. Bir yang diberi nama ‘Pisner’ tersebut, sejatinya bukanlah hasil filter dari urine secara langsung. Melainkan bir yang diproduksi dari ladang jelai kemudian dipupuk dengan urine manusia, bukan dari kotoran hewan atau pupuk buatan.
Jelai atau dalam bahasa Inggris disebut barley, merupakan sejenis serealia dan termasuk anggota suku padi-padian (Poaceae). Bahkan, Dewan Pertanian dan Makanan Denmark menyebut, bir yang diolah menggunakan teknik ‘beercycling’ tersebut bisa menjadi minuman yang trendi dan berkelanjutan. (Liputan6.com, 09/05/2017)
Pembuatan bir dari urine manusia di Denmark bermula dari semangat cinta lingkungan. Bir ini awalnya didapatkan dari urine para penonton salah satu festival musik terbesar di Denmark, Roskilde, pada 2015 lalu. Disadari, urine yang dibuang penonton saat berlangsungnya festival memang kerap menjadi masalah tersendiri bagi penyelenggara. Melalui proyek ‘From Piss to Pisner’, mereka akhirnya menyulap urine manusia menjadi bir. Urine yang dikumpulkan dari seratus ribu lebih penonton festival dan menghasilkan 60 ribu bir kemasan botol tersebut, menjadi cikal bakal pembuatan bir dari air seni manusia yang dianggap ramah lingkungan.
Krisis Air Singapura
Inovasi daur ulang urine dan limbah tampaknya menjadi keharusan bagi sebagian negara-negara di dunia, termasuk Singapura. Pasalnya, Singapura memang menjadi salah satu negara yang mengalami persoalan pasokan air. Proyek tersebut sekaligus menjadi ajang promosi untuk menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup dari produk daur ulang. Sekaligus menekankan untuk menggunakan kembali air yang sudah dibuang. Badan air negara Singapura pun berasumsi, peluncuran minuman daur ulang tersebut menjadi salah satu solusi mengatasi krisis air di Singapura. Lantas, seberapa krisis Singapura sampai harus mendaur ulang urine dan limbah?
Meski menjadi negara maju, Singapura tak sama dengan Indonesia yang memiliki sumber air tawar melimpah. Karena itu, segala upaya ditempuh pemerintah Singapura demi mewujudkan ketersediaan pasokan air. Termasuk meluncurkan minuman beralkohol dari daur ulang air seni manusia sebagai bentuk penghematan air.
Perlu diketahui, konsumsi air negara tersebut tidak sebanding dengan pasokan air yang tersedia. Hal ini pun berdampak terhadap minimnya ketersediaan air untuk pembuatan bir. Sebab, bahan yang digunakan untuk membuat bir, sembilan puluh persennya adalah air.
Karena itu, Singapura menempuh empat cara untuk memenuhi pasokan air di negaranya yang disebut sebagai empat keran nasional (four national taps). Yakni melalui daur ulang limbah dengan NEWater, desalinasi (mengolah air laut menjadi air tawar), pemanfaatan resapan air lokal, dan impor dari Malaysia. (Kompas.com, 24/12/2019)
Delusi Kampanye ‘Proyek Hijau’
Kerusakan bertubi-tubi yang disebabkan pengelolaan ala kapitalisme menyebabkan lingkungan berada pada posisi mengkhawatirkan. Kondisi ini akhirnya membuat banyak negara ikut mengampanyekan ‘proyek hijau’ (ramah lingkungan) sebagai solusi penyelamatan lingkungan. Salah satunya adalah kampanye daur ulang air seni dan limbah yang tengah digalakkan saat ini. Sayangnya, kampanye ramah lingkungan melalui daur ulang urine, bertolak belakang dengan prinsip dasar kapitalisme.
Kapitalisme adalah sebuah sistem yang diprogram hanya memiliki satu tujuan yakni maksimalisasi keuntungan. Di sisi lain, kapitalisme juga berupaya secara konsisten mengubah apa pun yang ada di bumi menjadi komoditas yang memiliki harga. Karena itu, tidak ada kata ‘hijau’ (ramah lingkungan) dalam kamus kapitalisme. Strategi yang tengah ramai dipromosikan kapitalisme yaitu mengampanyekan lingkungan ‘hijau’, merupakan kecenderungan yang meluas dan mendatangkan keuntungan. Para korporat pun membuat citra diri agar semakin ‘hijau’ sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Misalnya saja dengan mengajak masyarakat untuk membeli dan mengonsumsi bir daur ulang demi menciptakan gaya hidup ramah lingkungan. Masyarakat kemudian dengan senang hati membeli dan mengonsumsi produk tersebut. Sebab, dengan menjadi konsumen komoditas ‘hijau’, mereka merasa telah menjalankan gaya hidup konsumerisme dan berbuat kebaikan. Sayangnya, upaya ‘menghijaukan’ perilaku konsumen ini justru akan menyebabkan kenaikan tiada henti atas ‘pasar hijau’ dari para ‘konsumen hijau’ tersebut. Maka bisa ditebak, muara dari semua itu tetaplah keuntungan.
Memang benar, upaya menciptakan teknologi untuk konservasi, mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan, mengurangi bahan toksik, ataupun mengurangi pemakaian sumber daya, merupakan perkara yang patut diapresiasi. Namun sekali lagi, memperbaiki dan menciptakan lingkungan hijau tanpa embel-embel, bukanlah karakter kapitalisme.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa apa pun produk yang dihasilkan dan memakai cara paling ramah sekalipun, tetap tidak akan mengubah fakta bahwa kapitalisme adalah sistem yang mengharuskan segala sesuatunya bertumbuh secara terus-menerus. Ini artinya, akan tetap terjadi pelonjakan penggunaan sumber daya alam, produksi lumpur limbah, sampah, dan lain-lain. Di sisi lain, kapitalisme tak pernah memperhitungkan dampak kerusakan pada tubuh manusia akibat mengonsumsi minuman beralkohol (bir).
Dampak Alkohol terhadap Kesehatan
Sejatinya, mengonsumsi minuman beralkohol berdampak buruk bagi kesehatan. Seramah apa pun proses pembuatannya, namun bir tetaplah minuman yang berpotensi merusak tubuh. Bir dikenal dapat memicu terjadinya obesitas. Selain itu, mengonsumsi bir akan berdampak pada kesehatan otak. Area yang akan terdampak pada otak adalah grey matter dan white matter. Hal ini sebagaimana dilansir oleh Times Now News pada 13 Maret 2022.
Dalam sebuah studi bertajuk ‘Nature Communications’, para partisipan telah menganalisis hasil pemindaian terhadap sekitar 36 ribu orang dewasa. Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan berusia di atas lima puluh tahun dan memiliki kebiasaan mengonsumsi bir setiap hari, akan memiliki otak yang berumur sepuluh tahun lebih tua daripada partisipan yang tidak mengonsumsi bir.
Tak hanya itu, masyarakat kapitalis telah menjadikan aktivitas meminum bir sebagai kebiasaan turun-temurun. Padahal, meminum alkohol secara rutin dalam jangka pendek akan meningkatkan risiko kecerobohan dan relaksasi. Sedangkan jika kebiasaan minum alkohol dilakukan dalam jangka panjang, dapat memicu problem yang lebih serius bahkan bisa bersifat permanen. Selain otak, organ tubuh yang berisiko rusak adalah hati. Bahkan, alkohol bisa mengganggu kesehatan kognitif yang akan memengaruhi kemampuan berkonsentrasi dan mengingat. (Republika.co.id, 13/03/2022)
Selain merusak kesehatan, bir (khamar) merupakan minuman beralkohol yang jelas diharamkan untuk dikonsumsi umat Islam. Hal tersebut termaktub dalam surah Al-Maidah ayat 90, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (miras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan ….”
Konsep Lingkungan dalam Pandangan Islam
Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Artinya, kerahmatan Islam tercurah kepada semua yang ada di bumi dan di langit termasuk seluruh makhluk, baik hewan, tumbuhan, jin, dan manusia. Islam pun melarang manusia berbuat zalim terhadap seluruh makhluk Allah Swt. Termasuk larangan membuat kerusakan terhadap lingkungan. Sebagaimana tertuang dalam surah Al-Qashash ayat 77, “ … Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dalam Islam, pelestarian lingkungan bukan semata-mata demi tuntutan ekonomi, politis, atau yang lainnya. Namun, upaya tersebut harus disadari sebagai titah Tuhan yang wajib dilaksanakan oleh manusia. Upaya manusia mengelola dan memelihara lingkungan dengan baik dan benar merupakan bentuk ibadah kepada Allah Swt.
Tak seperti kapitalisme yang terus menciptakan kerusakan alam secara permanen, Islam memiliki konsep yang khas dalam memperhatikan kelestarian lingkungan. Bahkan, hal ini sudah dibuktikan saat kekhilafahan Islam menjadi mercusuar peradaban dunia. Misalnya saja dalam melaksanakan pembangunan. Konsep tata ruang yang diterapkan Khilafah tidak hanya memperhatikan aspek sosial, tetapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan. Satu konsep pembangunan wilayah yang tidak hanya megah, tetapi mampu mengeluarkan sisi spiritual kepada siapa pun yang tinggal maupun yang datang ke tempat itu.
Khatimah
Proyek daur ulang urine manusia menjadi bir dan masifnya kampanye menuju hidup yang ramah lingkungan, sejatinya bukan semata kepedulian terhadap masalah lingkungan. Jika dunia tiba-tiba berbicara tentang pentingnya kesehatan lingkungan, sejatinya itu hanyalah pemanis demi membuka lahan baru para korporasi mendulang keuntungan. Disadari atau tidak, belum ada satu sistem pun yang memiliki konsep pelestarian lingkungan dengan benar, kecuali Islam.
Wallahu a’lam bi ash shawwab.[]