”Tampak kesengsaraan secara sistematis hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal atas keserakahan penguasa. Hal ini akan memicu “distrust” masyarakat terhadap monarki dan penguasanya.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Berpuluh tahun menyandang gelar sebagai putra mahkota, kini Pangeran Charles resmi menjadi Raja Inggris menggantikan Ratu Elizabeth II saat usianya 74 tahun. Upacara penobatan Raja Charles III dan istrinya Camilla sebagai Raja dan Ratu Inggris Raya, diselenggarakan pada Sabtu (6/5/2023), di Westminster Abbey.
Penobatan yang teramat megah tersebut diawali dengan perjalanan kereta kencana berlapis emas yang melewati jalan-jalan dibalut bendera merah, putih, dan biru Union Jack. Tampak Uskup Agung Canterbury Justin Welby meletakkan mahkota Santo Edward seberat 5 pon, dilengkapi bingkai emas padat, dan 444 batu permata di atas kepala Charles.
Dilansir dari Sindonews.com, penobatan dilanjutkan dengan pesta seks oleh sebuah klub swingers Vanilla Alternative, yang akan digelar di Tempsford, Bedfordshirre, lebih dari 50 mil dari istana Buckingham. Pesta seks tersebut berlangsung selama 7 jam (dimulai pada pukul 20.00 malam hingga Minggu pukul 03.00 pagi). Pesta yang melibatkan Chic Events ini diklaim sebagai “Nomor 1” untuk pesta dewasa di Inggris. (6/5/2023)
Penobatan Raja Charles III yang teramat megah di saat lonjakan inflasi global melanda, tampaknya memicu kontroversi. Bagaimana tidak, penobatan termasuk acara kenegaraan yang sebagian besar biayanya berasal dari pajak tersebut menghabiskan biaya ratusan juta hanya dalam waktu dua hari.
Memicu Reaksi Kelompok Antimonarki
Sistem pemerintahan yang dipimpin oleh Raja (monarki) yang berdasarkan garis keturunan sangat populer di Eropa, setidaknya hingga abad ke-19. Namun memasuki abad ke-20 dan seiring perkembangan zaman, popularitas monarki menurun.
Dalam sebuah penelitian terbaru oleh National Center for Social Research, menunjukkan bahwa oposisi dan sikap apatis terhadap monarki terus meningkat. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa hanya 29% responden yang menganggap monarki “sangat penting”. Ini merupakan tingkat terendah selama 40 tahun terakhir. Bahkan, hasil survei YouGov menyebutkan bahwa 78% dari kelompok anak muda (usia 18-24 tahun) di Inggris tidak tertarik lagi dengan monarki.
Visualisasi kemewahan upacara penobatan Raja atau Ratu Inggris tidak banyak berubah dalam 900 tahun terakhir. Pasalnya, pada penobatan Ratu Elizabeth II (1953) juga menghabiskan biaya sebesar £912 ribu (setara dengan £20,5 juta atau $26 juta hari ini).
Kemudian, banyak pihak mengkritik upacara penobatan Raja Charles III yang terjadi di saat krisis global yang sedang melanda. Mereka berpendapat bahwa jutaan dolar untuk kemegahan dan arak-arakan tidak bijak dilakukan oleh pemimpin, terlebih di tengah krisis biaya hidup yang telah mengalami inflasi sebesar 10%.
Menurut Graham Smith, Kepala Eksekutif kelompok antimonarki, bahwa penobatan ini adalah perayaan dari sebuah institusi korup. Akibatnya, upacara penobatan megah tersebut menuai kecaman 1.500 pengunjuk rasa, mereka berpakaian kuning sambil berteriak “Not my King”, di samping Trafalgas Square. (Kompas.tv, 5/5/2023)
Untuk kenyamanan upacara, 20.000 personel keamanan berseragam dikerahkan menjelang upacara penobatan. Alhasil, 6 anggota dari kelompok antimonarki yang dipimpin oleh Graham Smith tersebut ditangkap sebelum upacara penobatan. Hal ini semakin membuat publik menganggap monarki tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, melainkan kelanjutan dari kolonialisme.
Kekayaan Monarki di Atas Penderitaan Rakyat
Menurut TUC (Studi Trades Union Congress), menemukan satu juta anak dari keluarga pekerja finansial hidup dalam kemiskinan. Di mana penyebabnya adalah gaji yang rendah dan jam kerja yang tidak pasti. Selain itu, besaran iuran pajak yang kian meningkat, kenaikan harga kebutuhan pokok, krisis, bahkan resesi makin menambah derita mereka.
Saat yang sama, menurut konsultan penilaian bisnis, Brand Finance bahwa kerajaan Inggris memiliki kekayaan sebesar $95 miliar (setara Rp1.356 triliun). Pun Raja Charles III yang memiliki kekayaan fantastis, yakni £2 miliar (Rp37 triliun) kekayaan bersih. Bahkan sebagai raja, ia berhak atas sejumlah tanah beserta properti, fasilitas, kastel, dan mewarisi kekayaan Ratu Elizabeth II.
Tak dimungkiri, hedonisme kerap mewarnai keluarga kerajaan, tak terkecuali kehidupan Raja Charles III. Salah satu skandal finansialnya adalah ia terkenal boros akibat pernah mengadakan makan siang mewah bertema Natal dengan para selebritas Inggris (14/12/2022).
Publik menilai bahwa kekayaan fantastis dan gaya hidup hedonis keluarga kerajaan akan mengganggu terlaksananya pembangunan infrastruktur dan memicu kesenjangan ekonomi sosial di masyarakat. Tampak kesengsaraan secara sistematis hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal atas keserakahan penguasa. Hal ini akan memicu “distrust” masyarakat terhadap monarki dan penguasanya.
Hasil Kolonialisme Bukan untuk Rakyat
Dahulu, selama masa kolonialnya yang berlangsung pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20, Inggris berhasil mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar. Dari situlah, jumlah kekayaan yang terakumulasi diperkirakan mencapai triliunan poundsterling. Diketahui, Inggris adalah salah satu negara Eropa yang telah menjajah sekitar 94 negara di dunia.
Beberapa metode utama yang dilakukan untuk mengumpulkan kekayaannya adalah dengan mengeksploitasi SDA, seperti minyak, kayu, dan logam mulia. Selain itu, Inggris juga mengadakan kerja paksa, perbudakan jutaan orang, pengadaan pajak, pembentukan jaringan perdagangan, dan penggunaan kekuatan militer untuk menguasai lokasi strategis. Kemudian selama periode tersebut, Inggris memaksakan dominasinya atas negara-negara bekas jajahannya dengan memanfaatkan SDA dan tenaga kerja negara-negara tersebut untuk memajukan pertumbuhan dan ekspansi ekonominya.
Meskipun triliunan berhasil dijarah, namun London yang merupakan jantung kekuatan kolonial masih memiliki rakyat yang berkubang dalam kemiskinan, kelaparan, dan tunawisma. Artinya, kekayaan hasil praktik kolonialisme tersebut tidak terdistribusi dengan adil ke masyarakat.
Mari kita bandingkan dengan kota lain yang dahulu terkenal dengan kedamaian dan kesejahteraannya, yakni Madinah. Kota yang menjadi tempat lahirnya sistem pemerintahan Islam, yang dipimpin Rasulullah Muhammad saw.. Diketahui bahwa Rasulullah sebagai Nabi dan kepala negara membagikan harta rampasan perang secara adil. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Swt. dalam surah Al-Hasyr ayat 7 yang artinya, “…Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.
Misalnya, pada kemenangan perang Hunain, umat muslim memperoleh 6.000 tawanan, 24.000 unta, 40.000 domba, dan 4.000 awqiyah (476 kg) dari perak. Semua itu dibawa ke Ji’ranah untuk dibagikan kepada rakyat, bukan untuk membiayai gaya hidup mewah Beliau beserta keluarganya.
Bahkan, Fathimah putri tercinta Beliau saw. pernah mengadu karena kedua tangannya capek membuat adonan tepung gandum, lalu ia meminta seorang pelayan untuk membantu pekerjaannya. Namun Rasulullah saw. tidak memberikannya, melainkan menganjurkan Fathimah agar berzikir sebelum tidur. Kemudian sistem pemerintahan Islam dan pola hidup sederhana tersebut diteladani oleh Khulafaur Rasyidin, dan beberapa Khalifah setelahnya.
Keadilan Sistem Pemerintahan Islam
Penerapan hukum dan kebijakan dalam sistem sekularisme, baik dalam bentuk monarki maupun republik, sejatinya dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk menguntungkan para penguasa dan segelintir orang. Kondisi negara sejatinya sangat dipengaruhi oleh 2 hal, yakni sistem yang diterapkan dan siapa yang memimpin. Sistem sekuler yang berasal dari akal dan hawa nafsu manusia terbukti melahirkan pemimpin yang haus materi dan terjebak gaya hidup hedonis. Hal ini berbeda dengan Khilafah yang bersumber dari wahyu Ilahi, yakni Al-Qur’an dan sunah. Inilah yang membuat sistem pemerintahan Islam tidak bisa diintervensi oleh manusia.
Kolonialisme maupun imperialisme sama-sama bersifat eksploitasi, dan membuat negara yang berada dalam cengkeramannya terbelakang, miskin, dan menderita. Adapun dalam konsep Islam, terdapat praktik futuhat yang berbeda dengan penjajahan. Futuhat terbukti memberikan kebaikan bagi negara yang telah ditaklukkan dengan menerapkan sistem Islam kaffah. Misalnya saja Libya, Mesir, Suriah, dan Bosnia tidak pernah menganggap Islam sebagai penjajah, padahal pernah ditaklukkan oleh negara Islam. Hal ini karena tujuan Islam melakukan futuhat untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan yang diakibatkan oleh sistem kufur.
Dalam Islam, pengangkatan Khalifah dilakukan dengan proses baiat. Mekanisme pengangkatannya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (paling lama 3 hari 3 malam). Tidak seperti monarki yang mengharuskan adanya upacara penobatan yang mewah, proses baiat dilakukan secara singkat dan sederhana demi memangkas biaya politik yang mahal. Kandidat yang terpilih adalah orang-orang yang paham akan syariat Islam dan memiliki integritas, tanpa memandang keluarga, suku, maupun ras.
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Khalifah tetap menjadi kepala negara selama ia tidak melanggar syariat dan kapan saja boleh diberhentikan jika terbukti menyalahi aturan. Melalui metode baiat, negara tidak lagi mengeluarkan anggaran besar dalam mengangkat pemimpin, seperti halnya sistem sekuler yang menguras dana dan energi. Kemudian terdapat Mahkamah Mazhalim yang akan mengadili dan mengawasi perselisihan antara rakyat dan penguasa, sehingga khalifah tidak memiliki celah menjadi diktator.
Adapun yang membuat sistem ekonomi Islam bebas dari penjajahan dan penjarahan karena dalam Islam mengatur soal kepemilikan, seperti kepemilikan publik, kepemilikan negara, dan individu. Sektor publik tidak boleh dikuasai oleh individu, pihak swasta, dan perusahaan asing. Semua aturan kepemilikan tersebut jelas tuntunannya dalam syariat Islam, sehingga kebijakannya tidak pernah menguntungkan penguasa maupun korporasi. Oleh karena itu, dalam Khilafah tidak akan ditemukan sektor publik diswastanisasi, seperti halnya dalam sistem kapitalisme.
Ekonomi Islam juga memiliki mata uang dinar dan dirham (emas dan perak) yang terbukti bebas dari ancaman inflasi dan penjajahan dolar oleh Barat. Keunggulan sistem ekonomi Islam terbukti surplus selama 1.400 tahun. Pertanyaannya maukah negara Inggris maupun negara-negara muslim lainnya hijrah ke arah yang lebih baik dengan menerapkan sistem Islam kaffah di berbagai aspek kehidupan? Sebagai seorang muslim tentu tidak boleh menolak ajakan mulia ini karena melaksanakan hukum Islam adalah bagian dari ketaatan yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Terlebih tidak akan terwujud “rahmatan lil ‘aalamin” jika sistem Islam secara kaffah tidak diterapkan.
Wallahu a’lam bishawwab.[]