"Kemenangan telak Marcos Jr tentu membuat banyak rakyat Filipina --terutama pendukungnya-- memiliki harapan baru. Terlebih kejenuhan akut mereka akibat pandemi yang menyebabkan kemiskinan massal. Namun, mereka tampaknya tidak bisa memetik pelajaran meski berkali-kali rezim berganti. Kejumudan telah membuat rakyat Filipina selalu jatuh ke lubang yang sama."
Oleh. Sartinah
(Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Sorotan dunia tengah tertuju pada pemilu di negara yang berjuluk "Lumbung Padi Asia", yakni Filipina. Bukan lantaran batalnya pemilu, namun karena kembalinya keturunan sang diktator ke tampuk kekuasaan. Yang lebih mencengangkan, dukungan rakyat begitu besar hingga posisinya melesat jauh dari para pesaingnya. Yang jadi pertanyaan, begitu putus asakah rakyat Filipina hingga memilih putra sang diktator?
Pemilihan presiden dan wakil presiden Filipina baru selesai digelar pada 9 Mei kemarin. Nyaris dipastikan, Ferdinand Marcos Jr atau dikenal sebagai Bongbong bakal menduduki kursi kekuasaan di negara tersebut. Bongbong merupakan putra dari diktator Filipina dengan nama yang sama, yang digulingkan pada tahun 1986. Namun, naiknya Bongbong ke kursi nomor satu tersebut telah membuat para aktivis, pemimpin gereja, dan pengamat politik khawatir jika dia akan memerintah sama korupnya dengan sang ayah.
Asa Rakyat pada Pemimpin Baru
Pemilu menjadi harapan perubahan dan perbaikan atas nasib rakyat Filipina setelah puluhan tahun hidup dalam kubangan kemiskinan. Terlebih setelah terjangan pandemi Covid-19 yang menyebabkan tingkat kemiskinan melonjak drastis. Misalnya saja pada Desember 2021, sekitar empat juta orang menjadi miskin pada paruh pertama 2021 karena lockdown. Tingkat kemiskinan pun naik menjadi 23,7 persen pada paruh pertama 2021 dari sebelumnya 21,1 persen pada periode yang sama tahun 2018. Ini berarti ada tambahan 3,9 juta orang yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini berdasarkan laporan pejabat ekonomi pemerintah Filipina. (Koran-Jakarta.com, 18/12/2021)
Harapan tersebut tampaknya akan dilabuhkan pada putra sang diktator, Marcos Jr. Pasalnya, dalam jejak pendapat jelang pemilu, Marcos Jr yang berpasangan dengan Sara Duterte-Carpio, disinyalir akan memenangkan lebih dari setengah suara. Marcos disukai oleh 56 persen responden, dibandingkan dengan penantangnya, Leni Robredo yang mendapatkan elektabilitas 23 persen. Ini merupakan rekor yang menjadikannya kandidat presiden pertama, yang memperoleh mayoritas mutlak setelah ayahnya digulingkan.
Kemenangan tersebut sekaligus mengakhiri sepuluh tahun upaya merehabilitasi nama ayahnya yang digulingkan melalui revolusi rakyat. Unggulnya hasil jejak pendapat Marcos Jr tentu menarik untuk diulik. Mengapa anak seorang diktator dan koruptor yang menyebabkan Filipina berada dalam kemiskinan akut, justru unggul dan dipilih mayoritas masyarakat?
Kembalinya Dinasti Diktator
Kemenangan telak Marcos Jr dalam pilpres menjadi kontroversial dan disorot dunia. Hal ini tak lepas dari jejak hitam sang ayah saat menjabat sebagai presiden. Diketahui, ayah Bongbong, Ferdinand Marcos telah memerintah selama 21 tahun sejak 1965. Dengan kharisma retorikanya, dia memenangkan hati rakyat Filipina. Kemudian dia pun menang kembali pada masa jabatan keduanya tahun 1969. Tiga tahun berselang, dia membuat kebijakan darurat militer, yang diklaimnya untuk menyelamatkan negara dari komunis. Dan empat belas tahun berikutnya, dia memerintah dengan diktator.
Pada saat itu, sekitar 3.200 orang tewas dibunuh yang sebagian jasadnya dibuang di pinggir jalan untuk menjadi peringatan bagi orang lain. Tak sedikit pula yang mengalami penyiksaan atau dipenjara dengan sewenang-wenang. Tak hanya diktator, keluarga Marcos pun melakukan korupsi besar-besaran. Mereka mengumpulkan kekayaan yang diperoleh dengan cara haram sekitar US$5 miliar sampai US$10 miliar. Perampokan tersebut telah menyerat Filipina pada utang yang berkepanjangan. (Cnnindonesia, 07/05/2022)
Kepemimpinan diktator Marcos Sr menyebabkan kesenjangan sosial antara penguasa dan rakyat semakin lebar. Saat itu, meski banyak rakyat yang hidup dalam kubangan kemiskinan, keluarga Marcos malah membeli properti di New York dan California, lukisan mahal karya seniman termasuk master impresionis Monet, perhiasan mewah, hingga pakaian desainer.
Kemenangan Marcos Jr justru terjadi saat sang ayah belum mampu mempertanggungjawabkan dana rakyat yang diambilnya sebesar US$10 miliar selama masa kepemimpinannya. Setali tiga uang dengan ayahnya, Marcos Jr ibarat pepatah "buah jatuh tak jauh dari pohonnya". Ayahnya diktator dan koruptor, sang anak pun memiliki jejak hitam. Marcos Jr pernah dijatuhi hukuman karena melakukan penggelapan pajak pada 1995 silam.
Meski memiliki jejak hitam dan berasal dari keturunan diktator, Marcos Jr memiliki banyak pendukung fanatik. Dan tinggal selangkah lagi dia akan mengambil alih takhta kepemimpinan. Demi memuluskan ambisinya dan meraih simpatik publik, Marcos Jr menempuh segala cara, salah satunya dengan menjadikan media sosial, terutama Facebook sebagai sarana propaganda. Selama bertahun-tahun, Facebook menyebarkan propaganda yang narasinya selalu membela keluarga Marcos.
Pihak pesaingnya bahkan mengatakan bahwa Marcos menyebarkan berita palsu dan memanipulasi sejarah. Untuk diketahui, manipulasi sejarah yang disebarkan begitu masif akan membuat banyak orang meyakini kebohongan sebagai sebuah kebenaran. Itu pun yang terjadi pada pendukung fanatik Marcos. Mereka menolak fakta bahwa ayah Marcos Jr telah melakukan banyak pelanggaran hak asasi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Rakyat Filipina yang telah 35 tahun hidup dalam balutan demokrasi, tampaknya kian putus asa. Banyak dari mereka yang tetap hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu, janji-janji kampanye Marcos Jr tentang "persatuan dan tidak ada pertengkaran" seolah menjadi oasis di tengah kegersangan hidup. Para pemilihnya bahkan meyakini jika Marcos Jr akan membawa perubahan pada kehidupan rakyat untuk menjadi lebih baik. Begitulah asa mereka.
Jatuh ke Lubang yang Sama
Kemenangan telak Marcos Jr tentu membuat banyak rakyat Filipina --terutama pendukungnya-- memiliki harapan baru. Terlebih kejenuhan akut mereka akibat pandemi yang menyebabkan kemiskinan massal. Namun, mereka tampaknya tidak bisa memetik pelajaran meski berkali-kali rezim berganti. Kejumudan telah membuat rakyat Filipina selalu jatuh ke lubang yang sama.
Sejatinya, siapa pun yang memimpin sebuah negara dengan payung hukum demokrasi kapitalisme, maka dia akan tetap mengambil kebijakan sama, yakni yang menguntungkan diri maupun kelompoknya. Demokrasi memang lihai menjadikan seorang penjahat menjadi pahlawan. Apalagi jika media dikuasai untuk menjadi perpanjangan lisannya.
Selain itu, berbagai problematika yang terjadi di Filipina sejatinya tidak hanya terjadi karena faktor pemimpinnya saja. Namun, yang paling urgen terletak pada sistem yang menaunginya. Jadi, sangatlah keliru jika mengira perubahan terjadi apabila pemimpinnya berganti. Sebab, pemimpin membuat kebijakan sesuai dengan sistem yang diemban.
Pun demikian dengan Filipina. Kemiskinan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kesewenang-wenangan adalah buah dari diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Sistem inilah yang turut berkontribusi dalam memiskinkan negara. Demokrasi pun menjadikan akal manusia yang lemah sebagai acuan dalam membuat aturan. Hal ini sekaligus mengonfirmasi bahwa demokrasi mengebiri aturan Tuhan. Padahal, membuat aturan tanpa campur tangan Tuhan pasti membinasakan dan menyengsarakan.
Islam Sebagai Problem Solving
Berbagai problematika negara-negara di dunia tersebab pada satu hal mendasar, yakni diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Dunia butuh solusi alternatif yang akan memutus berbagai bentuk kezaliman, termasuk kesewenang-wenangan pemimpin. Solusi tersebut haruslah menghasilkan pemimpin amanah dan adil. Sayangnya, setelah diutusnya Rasulullah saw. tidak ada masyarakat atau bangsa mana pun yang mampu menghasilkan kriteria tersebut, kecuali dalam masyarakat yang menerapkan Islam.
Islam menggambarkan kepemimpinan itu seperti dalam hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Nu'aim, "Sayyid al-qawm khadimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." Karena itu wajib kiranya bagi manusia untuk menjadikan Islam sebagai solusi hakiki atas seluruh permasalahan yang membelit dunia, termasuk krisis kepemimpinan.
Dalam Islam, para pemimpin adalah negarawan ulung. Mereka sangat dicintai rakyat sekaligus ditakuti lawan-lawannya. Misalnya saja dalam kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yang sangat masyhur hingga kini. Mereka terkenal karena ketegasan, kearifan, dan keberaniannya dalam membela Islam dan kaum muslim. Pun pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Beliau terkenal sebagai pemimpin yang sangat tegas dan disiplin. Khalifah Umar bahkan tak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang diperoleh melalui jalan ilegal. (Lihat: Tarikh al-Islam, II/388; dan Tahdzib at-Tahdzib, XII/267)
Satu hal yang menarik saat membicarakan Pemimpin dalam Islam adalah mereka umumnya tidak hanya menjadi pemimpin dalam urusan kenegaraan, tetapi juga menjadi imam dalam urusan keagamaan. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Malik, "Imam suatu kaum adalah yang paling banyak membaca/menguasai Al-Qur'an."
Hadis tersebut menegaskan bahwa pemimpin negara idealnya adalah seorang ulama. Termasuk para pejabat di dalamnya. Sebab, merekalah orang-orang yang paling banyak dalam membaca dan menguasai Al-Qur'an. Mereka tidak dipilih karena kepopuleran, kekayaan, maupun nama besar sang ayah. Sebab, kepopuleran maupun kekayaan tidak memiliki korelasi sedikit pun dengan ketakwaan dan keilmuan dalam Islam.
Khatimah
Tolok ukur memilih pemimpin dalam sistem sekuler bukanlah didasarkan pada standar Islam. Tidak heran jika pengurusannya terhadap rakyat tidak amanah, bahkan berpotensi diktator. Rakyat Filipina dan dunia pada umumnya hanya akan merasakan perubahan hakiki jika mencampakkan sistem sekuler demokrasi dan menggantinya dengan Islam.
Wallahu 'alam bishshawab[]