”Finlandia beranggapan perang dan agresi Rusia telah meningkatkan ancaman terhadap keamanan negaranya. Sehingga, Finlandia berusaha mencari keamanan di bawah payung NATO.”
Oleh. Amelia Al-Izzah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Finlandia adalah sebuah negara yang terletak di benua Eropa bagian utara. Finlandia dalam sejarahnya merupakan bagian dari negara Swedia dari abad ke- 12 hingga abad ke-19, kemudian Finlandia menjadi bagian dari kekaisaran Rusia pada tahun 1809 hingga terjadi Revolusi Rusia tahun 1917 yang menghasilkan deklarasi kemerdekaan Finlandia. Secara resmi Finlandia memperoleh kedaulatan penuh pada tanggal 6 Desember 1917, yang kemudian diperingati sebagai hari kemerdekaan Finlandia.
Pernah menjadi bagian dari Rusia, tidak menjadikan Finlandia sahabat karib Rusia. Namun yang terjadi, Rusia adalah ancaman berulang untuk Finlandia dalam kancah politik global, terlebih lagi pascainvasi Rusia ke Ukraina pada tanggal 24 Februari 2022 lalu, telah mengubah sikap politik luar negeri Finlandia. Keputusan yang cukup ekstrem diambil oleh Finlandia yang membuat hubungan dengan Rusia semakin menegang yakni keputusan Finlandia untuk bergabung dengan aliansi militer negara-negara Eropa yakni Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menjadi anggota ke-31 yang resmi pada Selasa (4/4/2023).
Respons Anggota NATO dengan Bergabungnya Finlandia
Bergabungnya Finlandia menjadi anggota NATO tidak berjalan mulus, Turki yang merupakan anggota NATO sejak tahun 1952 menolak pengajuan keanggotaan Finlandia, lantaran posisi negara tersebut dituding tidak mendukung perlawanan terhadap Partai Pekerja Kurdistan (PKK) serta Unit Perlindungan Rakyat Kurdi Suriah (YPG) dan juga Finlandia ditengarai menampung sejumlah anggota PKK yang dianggap “organisasi teroris” oleh Turki.
Meski Presiden Erdogan menolak Finlandia menjadi anggota NATO, banyak analis meyakini dia bersedia bernegosiasi dan pada akhirnya Turki sepakat dengan penambahan anggota NATO yang pada keputusan finalnya menyetujui pengajuan Finlandia masuk menjadi anggota NATO yang kemudian diratifikasi oleh parlemen 30 negara anggota.
Finlandia Gabung NATO, Rusia Meradang
Aktivitas luar negeri Rusia terus menghiasi perkembangan isu politik keamanan di wilayah Eropa Utara. Jika kita telisik fakta historis, ambisi perluasan pengaruh Rusia pada masa perang dingin sampai saat ini masih terus menjadi bahan pertimbangan politik global. Manuver politik Rusia pada Ukraina menjadi bahan refleksi penting khususnya bagi negara-negara yang memiliki sentimen historis terhadap Rusia. Aktivitas politik luar negeri Rusia yang dianggap dominan justru mendorong keberpihakan sejumlah negara Eropa untuk lebih mendekat kepada NATO.
Dikutip dari halaman berita WilsonCenter.org, mantan Duta besar Finlandia untuk Rusia, Tuan Rene Nyberg menggambarkan Rusia sebagai “Dilema tak terpecahkan” dari kebijakan luar negeri Finlandia. Tentu saja karena Finlandia hanya memiliki pengaruh terbatas atas pilihan Rusia dan pandangan dunia yang lebih luas. Finlandia beranggapan perang dan agresi Rusia telah meningkatkan ancaman terhadap keamanan negaranya. Sehingga, Finlandia berusaha mencari keamanan di bawah payung NATO.
Dengan bergabungnya Finlandia secara resmi menjadi anggota NATO membuat Rusia tampak geram, karena Rusia beranggapan bergabungnya Finlandia dianggap sebagai bentuk perluasan NATO ke arah timur dan hal tersebut merupakan gangguan terhadap keamanan dan kepentingan nasional Rusia. Respons Rusia untuk menghadapi bergabungnya Finlandia dalam NATO yakni dengan memperkuat kapasitas militernya di wilayah barat dan barat laut, Rusia juga akan menanggapi Finlandia dengan cara yang sama ke Ukraina jika NATO mengerahkan pasukan infrastruktur di Finlandia dan Swedia, jika kedua negara tersebut bergabung dengan aliansi militer yang dipimpin AS tersebut.
Pusaran Negara Kuat dalam Politik Global
Hubungan yang menegang antara Rusia-Finlandia ternyata juga melibatkan banyak negara yang berkepentingan, terutama negara besar yang tak lain adalah Amerika Serikat. Yang perlu menjadi perhatian bersama dalam konstelasi politik internasional, hubungan antarnegara dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi yang menguntungkannya, tak terkecuali negara sebesar AS yang kerap turun tangan dalam sejumlah perang atau konflik yang terjadi antarnegara.
Amerika Serikat merupakan negara yang sejak memenangkan perang dingin dari Uni Soviet merasa menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia. Padahal, dalam kacamata konstelasi politik internasional dunia akan terus berkembang, politik terus mengalir, dan AS tidak bisa menganggap sepele pihak lain yang menjadi lawannya. Walaupun saat ini dominasi AS masih sangat kuat dalam kancah politik internasional, terlebih lagi dengan bergabungnya negara-negara Eropa ke dalam NATO semakin mengukuhkan eksistensi AS sebagai kepemimpinan yang nyata atas NATO dan nantinya tidak bisa dimungkiri akan ada kekuatan adidaya lain yang akan menggerus kedigdayaan AS.
AS dapat dikatakan melalui NATO berusaha menyingkirkan Rusia dan wilayah-wilayah yang ada di bawah pengaruh Rusia di kawasan Balkan, Eropa Timur, dan Asia Tengah agar tidak lagi memiliki pengaruh yang dominan. Bahkan, Turki sebagai negeri muslim yang diharapkan mampu menjadi negara pembangkit peradaban Islam yang dulu hancur, justru menjadi bagian dari NATO sejak lama. Negeri-negeri muslim saat ini tak lain hanya penjadi pengikut negara kuat tanpa mampu berdiri dengan kakinya sendiri. AS dan organisasi-organisasi internasional bentukannya tak lain adalah alat untuk menjadikan AS sebagai kekuatan yang tunggal dan solid dalam kancah politik internasional.
Sistem Islam sebagai Solusi Paripurna
Berkaca pada sejarah, ketika dahulu Islam dijadikan landasan dalam menjalankan roda pemerintahan, sebuah negara mampu menjadi negara super power, kiblat bagi negara-negara yang lainnya dan mampu menjadi negara adidaya yang maju dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun, saat ini Islam tidak ubahnya hanya sebagai simbol ibadah ritual semata. Realitas ini sangat memprihatinkan kaum muslimin, karena tidak menjadikan Islam sebagai ideologi kepemimpinan berpikir dalam mengambil keputusan dan bersikap. Sampai kapan pun umat Islam tidak akan bisa berpengaruh dalam konstelasi politik internasional, selama negeri-negeri muslim tidak bersatu dalam sebuah imperium besar yang dahulu pernah ada dan berakhir di Turki yakni Khilafah Utsmaniyah. Institusi negara yang mampu menyatukan dan memobilisasi segenap kekuatan dan sumber daya di dalamnya.
Institusi besar ini bukanlah utopia atau sekadar romantisme sejarah, institusi yang memiliki kekuatan militer dan armada tempur yang ditakuti dan disegani. Institusi yang memiliki bargaining position, (posisi tawar yang tinggi), sehingga sangat diperhitungkan dalam konstelasi politik internasional. Tidakkah kaum muslimin menginginkan itu?
Sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Ali Imran ayat 104 yang berbunyi :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Tugas kita bersama untuk merealisasikan institusi tersebut. Tentunya ini harus dilakukan dengan dakwah Islam kaffah yang terorganisir dan sistematis. Dakwah dengan memberikan penyadaran politik di tengah-tengah umat oleh para pengembannya yang ikhlas. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]