”Dari hal tersebut, sebenarnya masyarakat sadar bahwa pengecaman dan penolakan tidaklah berdampak apa pun. Masyarakat pun ikut tak puas dengan hasil penolakan tersebut. Sebab faktanya Palestina tetaplah diserang, bahkan hal itu terjadi tidak lama dari polemik keputusan FIFA dibuat.”
Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
NarasiPost.Com-Usai gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, ratusan ribu warga Indonesia berbondong-bondong menyerbu sosial media mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan mereka atas hal yang terjadi. Ribuan komentar negatif dilontarkan kepada pihak-pihak yang menentang kedatangan Israel ke tanah air. Komentar negatif tersebut semakin meluas hingga munculnya statement yang mengarah pada dukungan Indonesia terhadap Palestina yang dianggap berlebihan hingga mengakibatkan terkuburnya mimpi anak-anak bangsa.
“Menyusul pertemuan hari ini antara Presiden FIFA Gianni Infantino dan Presiden Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir, FIFA telah memutuskan, karena keadaan saat ini, untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia FIFA U-20 2023.” Bunyi pengumuman di situs resmi FIFA. (29/03/2023)
Buah dari penolakan atas kedatangan Israel ke tanah air mengakibatkan Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia serta tak bisa ikut serta dalam pertandingan bergengsi piala dunia tersebut. Hal inilah yang menyulut amarah masyarakat secara luas di jejaring sosial media. Pasalnya, Indonesia belum pernah lolos dalam kualifikasi Piala Dunia, dan menjadi tuan rumah Piala Dunia tentunya mendapatkan ‘kursi’ khusus yang diberikan untuk bertanding di ajang bergengsi tersebut.
Prinsip Suatu Bangsa
Di antara ribuan komentar yang tertulis, ada pula yang beranggapan bahwa tak ada kaitan antara sepak bola dan konflik Israel-Palestina. Begitu pun mengizinkan Israel berlaga di Indonesia tidak serta merta menjadikan Indonesia mendukung dan menerima tindakan Israel terhadap Palestina. Hal ini tentu saja bersinggungan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 yang setiap minggunya digaungkan dalam upacara pengibaran bendera. Yakni mengenai alinea pertama yang berisi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentulah berisikan prinsip-prinsip dasar suatu bangsa dalam menjalankan fungsi negara itu sendiri. Maka pencantuman tentang penjajahan pada alinea pertama dalam suatu dasar prinsip suatu bangsa bukan tanpa adanya makna atau omong kosong belaka. Pencantuman mengenai penjajahan dalam UUD 1945 ini muncul dari adanya rasa pernah mengalami hal serupa yakni penjajahan. Bahwasanya penjajahan sangatlah merugikan, tidak berperikemanusiaan dan membawa penderitaan. Karena pernah mengalami hal tersebutlah, negara Indonesia menentang dengan tegas dan keras segala bentuk penjajahan yang ada di atas dunia.
Maka, kedatangan Israel dan mengizinkan Israel berlaga dengan leluasa sama saja seperti mengakui penjajahan yang terjadi. Hal ini tentu saja karena Israel bukanlah negara yang berdiri secara legal di atas tanahnya sendiri. Akan tetapi, mereka berdiri atas pertumpahan darah dari negara yang sudah ada, yang tanahnya mereka rampas secara paksa, yakni Palestina.
Meskipun mengalami kerugian dengan dana fantastis, namun kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah ini secara tidak langsung menyelamatkan wajah Indonesia sendiri di mata dunia. Pasalnya, bagaimana bisa sebuah negara yang memiliki prinsip menolak penjajahan dan itu tercantum secara jelas nan gamblang dalam undang-undang, tetapi pada pelaksanaannya menyambut baik datangnya para penjajah? Selain menyelamatkan prinsip bangsa, kegagalan ini juga menyelamatkan anak bangsa itu sendiri dari rasa malu karena telah menggadaikan prinsip bangsa demi kursi yang tak bisa diduduki lewat jalur kemampuannya. Tentu bukan hal yang terlihat elok, andai anak bangsa memaksakan berlaga dengan menggadai prinsip bangsanya sendiri, demi kursi yang tak bisa dimiliki lewat prestasi dan kemampuan diri.
Sepak Bola juga Berpolitik
Tak dapat dimungkiri bahwasanya organisasi sebesar FIFA juga berpolitik. Bukti nyata hal tersebut adalah dengan adanya standar ganda FIFA dalam menanggapi polemik konflik perang beberapa negara. Standar ganda ini menjadi sorotan beberapa waktu lalu saat musim Piala Dunia. FIFA dengan cepat memberikan sanksi setelah Rusia yang melakukan invasi kepada Ukraina pada 28 Februari 2022. FIFA melarang Timnas Rusia tampil di Piala Dunia dan hingga kini sanksi tersebut belum dicabut.
"Saya menolak standar ganda yang ada. Mengapa semua orang bisa seenaknya? Mereka selalu teriak olahraga menolak politik, namun saat berhubungan dengan Rusia, prinsip tersebut terlupakan," kata Arthem Dzyuba selaku Kapten Rusia. (Viva.co.id, 23/03/2023)
Hal ini berbanding terbalik jika dengan sikap FIFA yang seolah bungkam terhadap kekejaman rezim Israel. Sikap FIFA yang bertolak belakang ini tentu sangat menunjukkan adanya perbedaan kepentingan di balik keputusan tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan politik di dalamnya.
Terlepas kepentingan seperti apa yang ada di dalamnya, semestinya masyarakat sadar bahwasanya laga bergengsi sekelas Piala Dunia tidak lepas dari politik para pengaturnya. Meskipun politik tidak berkaitan dengan kecurangan dalam pertandingan atau putusan keikutsertaan berjalan adil berdasarkan kualifikasi, namun tampak jelas perpolitikan itu terjadi saat penentuan keputusan ketika berhadapan dengan masalah di luar pertandingan itu sendiri. Seperti pengambilan keputusan standar ganda yang telah disebutkan tadi.
Masyarakat Tahu, Palestina Butuh Solusi Utuh
Salah satu hal yang menarik dalam perbincangan warganet di berbagai platform adalah statement penolakan Israel datang ke Indonesia yang dirasa tidak akan membuat Palestina merdeka begitu saja. Banyak warganet yang menyayangkan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia karena konflik Israel-Palestina. Sebab hal itu dinilai tidak akan membuahkan hasil apa pun. Terlebih, setelah penolakan tersebut, Israel dan Palestina tetap bisa berlaga di Piala Dunia, hanya Indonesia yang gagal ikut serta.
Dari hal tersebut, sebenarnya masyarakat sadar bahwa pengecaman dan penolakan tidaklah berdampak apa pun. Masyarakat pun ikut tak puas dengan hasil penolakan tersebut. Sebab faktanya Palestina tetaplah diserang, bahkan hal itu terjadi tidak lama dari polemik keputusan FIFA dibuat.
"Akan dibawa ke mana dukungan Indonesia untuk Palestina? Cukupkah penolakan ini? Mengapa saat ajang bergengsi Indonesia seolah paling mengecam, namun tindakan nyatanya hanya berpangku tangan?" Kurang lebih seperti itu ungkapan tanya atas ketidakpuasan masyarakat.
Kesadaran masyarakat akan ketidakmungkinan penolakan Israel berbuah manis merupakan sesuatu yang masuk akal. Nyatanya, Palestina butuh lebih dari penolakan. Palestina butuh lebih dari kecaman. Sebab yang Palestina butuhkan adalah perlawanan dan perlindungan. Hal tersebut tidak akan tercipta tanpa adanya kekuatan. Karena melawan penjajah Israel dengan dukungan dari negara adidaya, mustahil tercipta tanpa adanya perjuangan. Jika yang berjuang hanya Palestina, sulit untuk meraih kemenangan. Meskipun kekuatan Palestina dalam berjuang sudah dilandasi jihad fi sabilillah, namun tak ada naungan di sana.
Sudah menjadi rahasia umum, saat umat Islam berperang dengan bertekad jihad di jalan Allah, maka kuantitas tak jadi penghalang. Umat Islam sering memenangkan perang bahkan dengan jumlah prajurit yang jauh lebih sedikit dibandingkan musuh. Namun kemenangan itu bukanlah tanpa strategi, bukan hanya bersiap tekad lalu pergi. Lebih dari itu, kaum muslim yang merupakan kaum yang terbiasa berpikir cerdas tentu merancang sedemikian rupa sebuah strategi perang, hal ini pula yang diajarkan oleh Rasulullah saw. sebagai panglima perang kala peperangan pertama kaum muslim.
Bagaimana cerdasnya beliau sebagai panglima perang, memerintahkan prajuritnya yang hanya 300 orang di Perang Badar untuk berputar-putar mengelilingi jalan yang sama dengan membawa bendera tauhidnya. Hal ini membuat orang yang melihatnya terperangah dan memiliki persepsi bahwasanya pasukan kaum muslim sangatlah banyak. Dan di tengah medan perang, beliau menciptakan ilusi adanya segerombolan kuda yang amat banyak beserta penunggangnya. Hanya dengan memerintahkan prajuritnya untuk mengentakkan kaki berkali-kali pada gurun pasir itu hingga tercipta debu-debu yang beterbangan, sehingga tercipta ilusi pasukan kaum muslim yang amat banyak siap memerangi kaum kafir.
Kemenangan seperti ini diraih kaum muslim dengan berbagai faktor pendukung di dalamnya. Yakni keimanan, tekad, persatuan, strategi, rasa saling percaya, adanya pemimpin, dan lain sebagainya. Maka, jika kemenangan ingin diraih oleh kaum muslim dalam memerangi Israel dan penjajah lainnya, diperlukan persatuan yang nyata. Persatuan ini tidak bisa tercipta bilamana kaum muslim masih membuat sekat dan pemisah antarnegara, yakni dipisah oleh rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme yang membuat kaum muslim seluruh dunia tidak memiliki kekuatan untuk melawan, juga lupa dengan ikatan persaudaraan. Hal ini disebabkan rasa aman dan tidak ingin terusik, selama bukan negaranya sendiri yang terjajah. Itulah faktanya.
Banyak hati yang cemas kala melihat siksaan terhadap Palestina memanas. Banyak hati yang menangis melihat kekejaman zionis yang sadis. Namun hanya cukup sampai di sana, tak ada perlawanan yang tercipta. Terselip kalimat “Untung bukan negara kita” juga masih tersimpan di dalam banyak dada. Miris memang, mereka seolah lupa bahwa kaum muslim satu tubuh. Lupa akan pesan nabi untuk menjaga saudara sesama muslim seperti menjaga diri sendiri. Tak hanya Palestina, masih banyak kaum muslim yang menderita di belahan dunia lainnya.
Naungan Daulah, Melawan Penjajah
Permasalahan kaum muslim di berbagai belahan dunia tak henti-hentinya menampar kita semua. Bahwa perlu ada solusi yang mengakar, untuk permasalahan yang besar. Tak cukup kecaman dan penolakan. Sungguh, Islam sebagai agama yang diturunkan Sang Pencipta manusia dan alam semesta selalu menyimpan solusi segala permasalahan dalam peraturan yang dibawanya. Seperti permasalahan penjajahan ini, Islam punya solusi.
Berkaca pada hadis Rasulullah saw., beliau bersabda, "Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring. Seseorang berkata, ‘Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?’ Beliau bersabda, ‘Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn." Seseorang bertanya, ‘Apakah wahn itu?’ Beliau menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati.’” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)
Seperti buih di lautan yang tak memiliki kekuatan, itulah kondisi kaum muslim saat ini. Sekat nasionalisme juga menggambarkan cinta dunia dan takut mati. Sebab itulah kaum muslim di berbagai negara hanya memikirkan nasib negaranya sendiri, tak peduli kondisi kaum muslim di luar bagian dari negaranya. Tak ingin terusik kenyamanan dan ketenteraman yang tercipta dalam negara, hingga menolak untuk ikut campur lebih jauh dalam persoalan kaum muslim dunia.
Persatuan antara kaum muslim tak akan tercipta tanpa ada naungan di dalamnya. Inilah yang mewajibkan adanya daulah sebagai induk persatuan kaum muslim seluruh dunia. Dengan adanya daulah, kaum muslim memiliki perisai untuk melawan dan bertahan. Bukan tanpa alasan bahwasanya solusi dari segala solusi adalah dengan adanya daulah, sebab ketenangan dan kedamaian kaum muslim akan tercipta dengan beberapa langkah dengan tegaknya daulah, yakni:
1. Negara akan menjamin kebutuhan masyarakat secara keseluruhan terpenuhi.
Saat ini, jika kita melihat mengapa banyak yang acuh tak acuh dengan kondisi umat muslim dunia, salah satunya ialah polemik kehidupan yang mengungkung diri bak labirin setan yang menjerat. Saat rasanya ingin fokus dalam permasalahan umat, masyarakat disibukkan dengan hal-hal yang tak pernah usai menjadi permasalahan, ekonomi yang mengimpit, biaya kesehatan yang membuat rakyat menjerit, pendidikan yang menyita waktu para pemuda tanpa arah yang jelas akan dibawa ke mana, dan lain-lain. Akhirnya, masyarakat harus memilih untuk fokus pada kondisi umat, atau fokus pada permasalahan diri sendiri dan keluarga yang itu saja tak pernah usai masalah berdatangan. Dengan adanya Daulah Islam yang memenuhi kebutuhan serta menjamin sarana dan prasarana yang ada, satu persatu masalah internal akan terurai tuntas. Hingga kaum muslim lebih siap memikirkan hal yang lebih besar, yakni permasalahan umat.
2. Negara menanamkan dan menjaga keimanan pada setiap warga negara.
Persatuan tanpa keimanan tak akan bermakna apa pun. Sebab landasan kekuatan seorang muslim dalam berjihad adalah dengan adanya keimanan. Maka, menjadi tugas pokok negaralah keimanan dan ketakwaan setiap muslim terjaga. Melalui kontrol dan pengaturan atas beberapa sarana, semisal media televisi yang akan lebih banyak menayangkan tontonan yang dapat meningkatkan keimanan, algoritma sosial media yang berisi informasi bermanfaat seputar agama, hingga pemblokiran hal-hal yang dapat merusak keimanan seperti tayangan-tayangan pengumbar aurat, video porno, dan lain-lain. Menjadikan masjid bukan lagi hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pembelajaran, serta memberikan kurikulum yang dapat mencerdaskan anak bangsa dengan pengaitan ilmu dengan agama, agar semakin tinggi keilmuan seseorang dan semakin kokoh keimanannya.
3. Jaminan perlindungan penuh dari negara.
Saat kejahatan merajalela, kita dituntut untuk menyelesaikan masalah sendiri. Mulai perampokan, pelecehan, tindak kriminal, banyak tak digubris oleh penguasa. Hal-hal yang menurut penguasa adalah hal yang remeh semisal pencopetan, sulit untuk bisa diurus secara tuntas. Bahkan kasus-kasus berat pun bisa tak tembus ke pengadilan saat kita bukanlah orang yang memiliki kekuasaan atau kekayaan. Hal ini jauh berbeda dengan Daulah Islam yang menjamin keselamatan untuk seluruh warganya. Semua masalah kan diproses secara serius dan tidak meremehkan kasus apa pun, untuk siapa pun.
Saat kesejahteraan tercipta, mulai dari selesainya permasalahan-permasalahan internal hingga terjaminnya perlindungan, akan sangat mudah untuk kaum muslim bersama-sama fokus membersamai pemimpinnya dalam menyelesaikan permasalahan umat yang lebih kompleks. Tak ada lagi tanggungan yang membebani kaum muslim. Hingga rasa tenang dan fokus bisa mengantar kaum muslim pada kemenangan yang berstrategi.
Seperti yang kita tahu bahwasanya kaum muslim adalah satu tubuh, maka suatu kewajiban untuk mewujudkan suatu persatuan, tanpa sekat pemisah di dalamnya. Bak tubuh manusia, tak mungkin kepala bisa hidup tanpa badan, tak akan pula badan bisa hidup tanpa kepala. Tak akan sempurna badan tanpa tangan dan kaki serta tak akan berguna kaki dan tangan tanpa badan. Begitu pula dengan kaum muslim, keadaannya cacat, lumpuh, bahkan ‘mati’ tanpa adanya kekuatan dari persatuan dan keimanan, seperti halnya hari ini. Entah, keadaan saat ini tergolong cacat, lumpuh, atau ‘mati’, yang pasti kaum muslim saat itu seperti raga tanpa nyawa. Maka wajib adanya persatuan, di bawah naungan Daulah Islam.
Wallahu a’lam Bish Shawwab.[]