”Akibatnya, walaupun sebagai negara paling maju di Asia, dan penghasil teknologi yang termasyhur di dunia, Jepang tidak mampu memberikan mahkota berharga yang dimiliki pada pewarisnya.”
Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sungguh tragis. Setelah desa-desa di tinggalkan penduduknya, kini sekolah-sekolah di Jepang kehabisan siswa. Krisis populasi negeri ini kian parah. Kepunahan benar-benar di depan mata. Lantas, salahnya di mana?
Dilansir dari Detik.com (3/4/2023), SMP Yumoto yang berada di bagian pegunungan Jepang utara, ditutup. Sato dan Aoi Hoshi adalah murid terakhir. Upacara kelulusan yang dulunya selalu diadakan dengan ramai dan riuh, kini terasa senyap. Sekolah berusia 76 tahun itu ditutup ketika tahun ajaran selesai pada Jumat (31/3). Tidak hanya SMP Yumoto, tapi beberapa sekolah lain terutama yang berada di wilayah pedesaan, juga ditutup.
Menurut data pemerintah setempat, sekitar 450 sekolah ditutup setiap tahun. Bahkan antara tahun 2002 dan 2023, hampir 9000 sekolah tidak memiliki siswa. Fenomena ini karena angka kelahiran di jepang menurun drastis. Untuk menanggulangi musibah itu, Perdana Menteri Fumio Kishida telah mengambil langkah-langkah guna menaikkan angka kelahiran. Juga menggandakan jumlah anggaran untuk kebijakan yang berkaitan dengan anak, namun gagal. Bahkan, angka kelahiran menurun hingga 800 ribu di tahun 2022.
Sejarah Populasi Jepang
Jepang adalah negara yang dikenal dengan kehebatannya. Negara ini memiliki kemajuan di berbagai bidang, kota yang indah dan modern, kereta tercepat di dunia, juga penduduknya yang rajin, kreatif, dan selalu bersemangat. Namun miris, Jepang mengalami krisis populasi yang sangat serius. Sehingga, negara Matahari Terbit ini terancam punah dalam waktu yang tidak lama.
Hal ini ditandai dengan terjadi penurunan jumlah populasi dan kelahiran selama beberapa dekade terakhir. Data dari Population Reference Bureau (PRB) menyebutkan bahwa persentase usia di Jepang tidak seimbang. Tahun 2020 terdapat 29% lansia di atas 65 tahun. Sementara, jumlah usia di bawah 15 tahun hanya 12%. Walaupun angka harapan hidup sangat tinggi, namun angka kelahiran terus merosot jumlahnya.
Menurut The Japantimes, pada tahun 1800-an tingkat kelahiran di Jepang memang sedikit. Karenanya, Jepang melakukan Restorasi Meiji hingga terjadi modernisasi dan industrialisasi pada tahun 1869. Sejak itu, populasi Jepang berkembang pesat. Pernah sesaat mengalami penurunan karena ada perang dunia. Namun setelah perang dunia selesai, jumlah kelahiran terus melesat hingga meningkat dua kali lipat. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1970-an.
Namun, keadaan benar-benar berubah mulai tahun 2005. Sejak saat itu, terjadi angka kematian yang lebih banyak dari angka kelahiran sehingga populasi Jepang terus menyusut. Sempat naik di tahun 2008 karena terjadi migrasi besar-besaran ke Jepang. Namun menurut PRB, terjadi penurunan kembali di tahun 2009 hingga saat ini.
Penyebab Terjadinya Penurunan Kelahiran
Ada beberapa penyebab merosotnya tingkat kelahiran di Jepang, yang utama adalah masalah ekonomi. Orang Jepang dikenal sebagai penduduk yang gigih, pekerja keras, juga memiliki kedisiplinan yang tinggi. Menurut The Atlantic, hal ini dimanfaatkan oleh banyak perusahaan agar mereka bekerja dengan keras. Tak jarang, perusahaan memberikan jam lembur pada pegawainya. Bahkan walau di rumah atau hari libur, mereka tetap diberi pekerjaan tambahan. Begitu beratnya beban pekerjaan sehingga mereka menjadi terus menerus sibuk dan rentan mengalami stres.
Keadaan itu menjadikan orang-orang Jepang tidak memiliki waktu untuk saling berinteraksi. Jika ada waktu luang, mereka memilih digunakan untuk makan, istirahat, atau tidur. Sampai-sampai untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis pun tidak berantusias. Sementara, walaupun sudah bekerja sedemikian rupa, gaji yang diterima hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Karena, biaya hidup di Jepang sangat tinggi.
Faktor ekonomi ini membuat laki-laki Jepang takut untuk menikah sebelum kehidupannya benar-benar mapan. Lebih memprihatinkan lagi, menurut The University of Tokyo jumlah laki-laki yang belum mapan alias berpenghasilan rendah mencapai 20 kali lipat banyaknya daripada yang berpenghasilan cukup.
Alasan kedua adalah peran keluarga yang tidak seimbang. Budaya Jepang memosisikan perempuan Jepang punya peran lebih banyak dalam mengurus rumah tangga. Hal ini menjadi alasan perempuan Jepang enggan untuk menikah dan punya anak. Mereka berpikir bahwa, menikah dan punya anak hanya akan menambah beban dan tekanan batin saja.
Merosotnya Kelahiran dan Hilangnya Generasi
Merosotnya angka kelahiran dan hilangnya generasi ini menjadi alarm bahaya bagi perekonomian dan pertahanan Jepang. Jika penduduknya sedikit, tentu banyak perusahaan yang akan gulung tikar karena kehabisan tenaga kerja. Akibatnya, pendapatan negara yang dititikberatkan pada hasil pajak akan anjlok. Pertahanan negara pun terancam. Karena tidak ada ketersediaan personil yang cukup dan memadai. Di samping itu, nasib para lansia juga akan lebih menderita karena tak ada orang muda yang mengurusnya.
Selain itu, negara juga akan kehilangan aset terbesarnya yaitu generasi penerus pembangun. Generasi penerus adalah masa depan sebuah bangsa. Jika generasinya berkualitas dan bertakwa, maka akan menjadi bangsa yang hebat. Jika generasinya bobrok, juga akan menjadi bangsa yang bobrok pula. Ketika generasi penerusnya tidak lahir dan tidak ada, maka sehebat apa pun bangsa itu, hanya akan punah dengan waktunya.
Memang, pemerintah Jepang telah menerapkan berbagai kebijakan, seperti memberikan tunjangan kepada pasangan yang punya anak. Mendirikan tempat-tempat penitipan anak dengan harga terjangkau. Bahkan, memberi kelonggaran bagi para imigran untuk bekerja atau kuliah di Jepang. Tujuannya, walaupun populasi terus berkurang setidaknya perekonomian Jepang tetap berjalan meskipun dengan tenaga asing. Namun, semua itu tidak memberi dampak signifikan.
Potret Kehidupan Sistem Kapitalis
Itulah refleksi dari kehidupan ala kapitalisme. Di mana, sistem kapitalisme sangat mengedepankan kapital alias materi. Sementara, mereka mengabaikan nilai-nilai spiritual, sosial, maupun kemanusiaan. Mereka hanya sibuk membangun fisik, tapi lupa membangun manusianya. Standar kebahagiaan mereka pun, kepuasan mendapatkan material secara individu semata. Sehingga, mereka merasa sulit berkomitmen untuk menikah.
Hal ini mengakibatkan rendahnya kelahiran dan hilangnya generasi. Fenomena ini diperparah dengan adanya paham liberalisme (kebebasan) dan sekularisme (tidak melibatkan Tuhan dalam mengatur kehidupan mereka).
Dengan pemahaman tersebut, mereka akan memenuhi kebahagiaan berdasarkan yang diinginkan saja. Sebagian terjerumus dalam LGBT, pun banyak juga yang lebih bahagia memelihara binatang daripada mengasuh anak. Di samping itu, banyak kasus bunuh diri karena tak mampu menghadapi tekanan kehidupan. Akibatnya, walaupun sebagai negara paling maju di Asia, dan penghasil teknologi yang termasyhur di dunia, Jepang tidak mampu memberikan mahkota berharga yang dimiliki pada pewarisnya.
Hakikat Generasi dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, tujuan manusia dilahirkan hanyalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Sehingga, apa pun yang dilakukan harus sesuai dengan aturan yang berasal dari Allah. Dalam Islam, generasi adalah aset berharga. Mereka adalah penerus generasi saat ini yang akan memimpin umat di masa mendatang. Oleh karenanya, generasi tidak hanya dididik agar disiplin, rajin, maupun pekerja keras saja. Namun dipersiapkan untuk menjadi manusia yang cemerlang, berakhlak mulia, dan bertakwa pada Sang Pencipta, Allah Swt. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (TQS. Az-Zariyat : 56)
Mengabdi di sini maksudnya bertakwa, yaitu menjalankan segala yang Allah Swt. perintahkan dan menghindari segala yang dilarang. Sehubungan dengan itu, syariat Islam juga memerintahkan manusia untuk memperoleh anak. Yaitu dengan cara yang sudah diajarkan Islam yakni menikah secara sah. Sebagaimana firman Allah Swt. :
"…. Maka campurilah mereka, dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak)…" (TQS : Al-Baqarah : 187)
Di samping itu, Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya :
"Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)
Dari fenomena ini kita bisa belajar bahwa ketika sebuah kehidupan tidak diatur sesuai dengan aturan Sang Ilahi , maka kerusakan akan terjadi baik fisik maupun rohani. Kehancuran akan datang cepat atau lambat, dan kepunahan mengancam kehidupan. Sebaliknya, kemerosotan jumlah populasi dan kepunahan tidak akan terjadi jika sebuah negara menerapkan sistem Islam dalam kehidupan.
Oleh karenanya, kaum muslimin jangan mudah silau melihat kemajuan dan kemegahan yang dipertontonkan Barat dan negeri-negeri kafir lainnya. Kemasyhuran yang dibangun dengan sistem yang salah dan tidak disandarkan pada Allah Swt., sejatinya hanyalah fatamorgana belaka.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]