“Dengan liberalisme ekonomi dan sosialnya, serta nilai-nilai individualis kronis, telah mencetuskan epidemi kesehatan mental menyebar kian parah. Inilah cerminan negara dalam kendali sistem kapitalisme, Jepang pun tak seindah sakura.”
Oleh. Witta Saptarini, S.E.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Semua cantik bermekaran menghiasi taman. Ini menjadi pertanda awal datangnya musim semi. April adalah waktu terbaik untuk menikmati indahnya sakura. Ya, jika berwisata ke Jepang pada bulan April, setiap mata akan dimanjakan dengan pemandangan bunga sakura yang menawan. Tak hanya jutaan wisatawan asing, warga Jepang pun menanti pesona alam tahunan ini, sekaligus menjadi momentum berkumpul bersama keluarga, lengkap dengan pakaian tradisional Kimono, yang biasa disebut Hanami.
Tak hanya di taman sudut kota, siapa pun bisa menikmatinya di kastel tua, di atas perahu dayung, tergantung daerah mana yang dikunjungi. Tak heran, negeri sakura menjadi salah satu julukan yang disematkan untuk negara Jepang. Di balik pesonanya, mampu menarik daya pikat jutaan wisatawan asing untuk berkunjung. Namun siapa sangka, negeri samurai ini telah bertahun-tahun menyimpan hal yang sangat menyentuh hati, yaitu berjuang menghadapi krisis populasi penduduk yang kian kronis dan menjadi sorotan dunia.
Negeri Sakura Terancam Punah
Penyusutan populasi penduduk merupakan masalah global. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bagi sebuah negara maju. Menurut laporan status populasi dunia yang dirilis PBB. Defisit populasi penduduk tengah melanda beberapa negara dengan predikat The East Asian Miracle. Sebut saja Cina, Korea Selatan, Singapura, termasuk Jepang. Negara dengan citra orang-orangnya yang energik, ekonomi pesat, teknologi tinggi, gemerlapnya jantung kota yang tidak pernah tidur, jutaan turis. Ternyata, tak luput dari terjangan badai krisis populasi penduduk sejak tahun 1899, hingga menembus rekor terendah, dan terancam punah. Hal ini ditandai dengan dropnya angka kelahiran di negeri sakura, dengan pergerakan yang sangat cepat di awal tahun 2000. (CNBC Indonesia, 2/3/2023)
Desa Berpenduduk Boneka
Kisah pilu dampak kolapsnya populasi penduduk negeri sakura ini, bisa kita saksikan di salah satu desa unik yang terletak di Shikoku, bagian barat daya Jepang. Desa itu bernama Nagoro, dikenal dunia dengan sebutan Nagoro Doll Village alias desa boneka. Ya, keunikannya bukan terletak pada keindahan alamnya, melainkan pemandangan boneka-boneka berukuran manusia yang terkesan aneh dan menakutkan. Pasalnya, di desa ini perbandingan boneka dengan manusia 10 berbanding 1, yakni 270 boneka dan hanya dihuni 27 lansia. Tak ada anak kecil yang tersisa. Oleh sebab itu, sudah tak terdengar lagi suara tangisan, canda, dan tawanya di desa ini.
Untuk mengatasi rasa sepi yang menyelimuti, seorang warga bernama Ayano mencoba menghidupkan kembali Nagoro. Ayano meletakkan boneka-boneka Kakashi di tiap sudut desa sesuai kegiatan karakternya. Seperti bermain ayunan, duduk di teras, beraktivitas sekolah, menunggu di halte, bertani, dan lainnya. Boneka-boneka ini merepresentasikan warga yang telah meninggal dunia dan pindah ke luar kota. Keadaan di Nagoro pun direplikasi di beberapa daerah Jepang lainnya, bahkan diberi julukan desa dan kota mati. Dengan putusnya generasi penerus, sekolah dasar di Nagoro pun telah ditutup sejak 2012, hanya dengan meluluskan 2 siswa terakhirnya, tanpa seremoni kelulusan.
Sembilan Ribu Sekolah Tutup Gerbang Permanen
Dampak krisis populasi penduduk secara otomatis menghasilkan potret suram pada dunia pendidikan. Dilaporkan setiap tahunnya hampir 450 sekolah di Jepang terpaksa harus tutup gerbang permanen, disebabkan tidak ada lagi murid. Bahkan, banyak yang telah beralih fungsi. Data terakhir di tahun 2020 sudah ada 9000 sekolah resmi ditutup.
Belum lama ini, sekolah menengah pertama Yumoto di Fukushima yang telah berdiri selama 76 tahun, dikabarkan akan segera ditutup setelah kelulusan 2 siswa yang tersisa. Suasana sekolah yang sepi telah dirasakan sejak mereka duduk di tingkat dasar. Tak ayal, hanya derap langkah mereka yang mampu memecah kesunyian lorong sekolah megah itu. Riuh ramai hanya dapat dikenang melalui deretan potret alumni yang terpajang di dinding sekolah. Sekarang di ruang kelas pun hanya ada meja, kursi, dan papan tulis yang menjadi saksi bisu.
Faktor Penyebab Depopulasi Jepang
Semakin anjloknya populasi penduduk dalam rentang 10 tahun terakhir, menjadi pukulan telak bagi otoritas Jepang, dunia pendidikan, serta fungsi sosial bangsanya. Lantas apa yang menjadi penyebabnya? Perlu diketahui, menurut data Japan Ageing Population World Bank. Jepang menempati posisi tertinggi kedua setelah Monako terkait proporsi penduduk lansia. Hal ini dipicu oleh biaya hidup yang tinggi, namun tidak sepadan dengan pendapatan dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, berimplikasi pada angka kelahiran yang rendah. Pasalnya, menurut data Yuwa Population Research, Jepang menempati posisi ke-3 negara termahal di dunia untuk membesarkan anak. Kemudian, tingkat inflasi yang mencapai rekor tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Alhasil, menambah berat beban hidup sehari-hari.
Pemerintah Jepang pun melakukan survei terkait hal ini, dan ditemukan faktor kompleks di baliknya. Di antaranya, ketidakstabilan finansial di kalangan muda, minimnya intensitas pertemuan sosial, peningkatan tren menunda pernikahan, fenomena childfree, bahkan tidak ingin menikah sama sekali. Kemudian, faktor stres kelelahan bekerja berujung pada tingkat kematian yang cukup tinggi turut berkontribusi. Sebab, Jepang memiliki waktu bekerja terlama di dunia, terutama bagi wanita.
Sistem Kapitalisme Pionir Krisis Demografi
Bila kita cermati lebih mendalam, sederet faktor yang disinyalir sebagai penyebab depopulasi Jepang, justru merupakan implikasi dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadi faktor radikal sesungguhnya. Dengan liberalisme ekonomi dan sosialnya, serta nilai-nilai individualis kronis, telah mencetuskan epidemi kesehatan mental menyebar kian parah. Sehingga, secara mengakar mampu merobohkan bangunan keluarga, serta menciptakan padang tandus demografi di berbagai negara. Inilah cerminan negara dalam kendali sistem kapitalisme, Jepang pun tak seindah sakura.
Upaya Otoritas Jepang
Keresahan yang dihadapi otoritas Jepang mengingatkannya kembali akan lembar sejarah. Pasalnya, pada tahun 1941, Jepang memanfaatkan momentum fase demografinya untuk menyerang dan menguasai wilayah. Seperti pengeboman Pearl Harbour pangkalan Angkatan Laut terbesar milik Amerika Serikat, serta pertempuran Shanghai di Cina. Begitu pula saat terjadi serangan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Negeri samurai mampu memulihkan berkat potensi bonus demografinya. Kini, Jepang menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di dunia.
Oleh sebab itu, dalam beberapa tahun terakhir otoritas Jepang terus mendorong masyarakatnya untuk memiliki banyak anak, dengan menjanjikan ekstra uang tunai, serta insentif setelah kelahiran anak. Namun, banyak masyarakat tidak tergugah. Pasalnya, pendapatan yang cukup untuk menghidupi keluarga dinilai faktor yang jauh lebih berkontribusi, dibanding berbagai insentif dan besaran uang tunai yang digelontorkan otoritas Jepang, mengingat biaya hidup yang besar.
Hal ini menegaskan, bahwa pemerintah Jepang telah menyadari, bahwa bonus demografi merupakan investasi masa depan. Berdasarkan hasil proyeksi akan ada pergerakan dua kali lebih cepat penurunan angka kelahiran di tahun 2030. Maka dari itu, Menteri Kebijakan Anak Jepang, Masanobu Ogura, dalam 3 tahun ke depan akan berupaya keras mematangkan kebijakan perubahan struktur sosial Jepang, terkait dukungan pengasuhan anak dan perencanaan keluarga. Menurutnya, meningkatkan income generasi muda dan mengharuskan wanita meninggalkan karier adalah esensi dari penanggulangan anjloknya angka kelahiran.
Regenerasi Aset Berharga Penerus Peradaban
Dalam Islam, urusan anak bukanlah soal kalkulasi finansial, melainkan investasi akhirat. Sebab, ada korelasi kuat dengan pahala yang akan terus mengalir, baik untuk orang tua dan anak. Oleh sebab itu, memiliki anak adalah perintah Allah Swt. kecuali jika adanya uzur. Maka, keputusan untuk memilki keturunan atau tidak, wajib disandarkan pada rida Allah Swt. bukan pertimbangan lemahnya akal manusia dan hawa nafsu. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, Imam an-Nasai, Imam Baihaqi, dan Imam at-Thabarani. Bahwasanya, Rasulullah saw., pun memerintahkan umat Islam untuk memiliki banyak keturunan yang berkualitas, karena merupakan kebahagiaan jika umatnya lebih banyak dibanding umat-umat lainnya.
Islam menempatkan betapa terhormatnya peran ibu, sebagai pencetak generasi pembangun peradaban Islam cemerlang. Sebab, regenerasi dalam Islam berpotensi menghasilkan bonus demografi dalam evolusi kependudukan yang berjalan alami. Artinya, ada fase yang akan dinikmati suatu negara, sebagai implikasi besarnya proporsi penduduk usia produktif. Oleh sebab itu dianggap sebagai window of opportunity.
Depopulasi dan badai disrupsi tidak akan terjadi bila Islam diterapkan secara komprehensif, dalam institusi Khilafah. Khilafah sebagai perisai akan menjamin ketahanan keluarga, kehormatan perempuan, dan kemuliaan generasi sebagai aset berharga bagi umat, serta penerus peradaban. Oleh karena itu, ajaran Islam merupakan obat mujarab bertahan di era disrupsi dan serangan tuntutan materialistis. Dengan prinsip yang tidak pernah usang dan selalu relevan bagi keluarga modern.
Perlu kita pahami, di tengah era disrupsi saat ini. Di mana segala sesuatunya telah tercabut dari akarnya. Sehingga, langkah ekstrem sekalipun yang diambil penguasa dengan ideologi kapitalisme yang diembannya, hanya akan mengantarkan pada kebinasaan. Bila dianalogikan, pohon yang tercabut dari akarnya mustahil akan berbuah. Artinya, sudah saatnya menanam kembali dengan akar yang baru. Niscaya akan membawa kehidupan dan berbuah manis, yakni kembali pada ajaran Islam dengan menerapkan ideologi yang berlandaskan aturan dari Sang Pemilik Kehidupan, Allah Swt.
Wallahu a’lam bish-shawwab. []