"Kobaran api dalam perang ini terus dinyalakan, pada hakikatnya ini merupakan proxy war antara negara-negara adidaya yakni AS dan Inggris. Tentu saja dengan mengandalkan aktor-aktor regional di kawasan tersebut."
Oleh. Tsuwaibah al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kemuliaan Yaman terenggut, negeri berlimpah pujian ini pun bertransformasi menjadi negeri penuh konflik nan miskin di jazirah Arab. Narasi sektarianisme menjadi senjata ampuh Barat untuk memorakporandakan negeri Islam ini. Demokrasi memang minus harapan, siapa pun yang terjerumus ke dalamnya akan hancur dalam kenestapaan.
Dilansir dari Tempo.co (7/4/2022), pemerintah Yaman dan Houthi telah menyepakati gencatan senjata yang dipimpin PBB. Hal ini dilakukan dalam upaya meredam konflik yang telah berjalan hampir 7 tahun lamanya. Setidaknya demi menghormati bulan suci Ramadan dan memberikan ketenangan bagi umat muslim yang sedang menjalaninya.
Beberapa saat sebelum kesepakatan itu, Houthi mengakui telah meluncurkan rudal dan drone ke depot minyak Saudi Aramco. Pertikaian dalam negeri Yaman memang telah melebar ke negara lain (Sindonews.com, 26/3/2022).
Kemilau Yaman
Yaman merupakan satu dari tiga wilayah yang dimuliakan dan diberkahi Allah selain Haramain dan Syam. Bahkan, diabadikan dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 dan An-Nashr ayat 1-2. Tak ketinggalan, hadis Nabi saw. menyiratkan hal yang demikian.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Suatu ketika, saat Nabi berada di Madinah, beliau bersabda: Allah Mahabesar, Allah Mahabesar! Telah datang pertolongan Allah dan telah datang penduduk Yaman, kaum yang bersih hatinya, lembut tabiat mereka. Iman itu ada pada Yaman, fikih itu ada pada Yaman, dan hikmah itu ada pada Yaman" (HR. Ibnu Hibban).
Tak hanya itu, Rasulullah saw. pernah menyebut di akhir zaman nanti penduduknya akan menjadi pasukan pilihan setelah pasukan Syam. Bahkan, penduduk Yaman akan menjadi kaum yang pertama kali meminum air dari telaga Rasulullah di surga kelak.
Secara geografis, Yaman masuk dalam wilayah jazirah Arab. Sedangkan secara politik, Yaman pernah dikuasai Persia sebelum datangnya Islam. Saat itu kota Saba, Shan’a, dan Hadramaut dikenal sebagai pusat perekonomian dan niaga. Komoditas yang menjadi primadona yakni tekstil, kopi, dan rempah-rempah.
Kebahagiaan penduduk Yaman semakin lengkap dengan kedatangan Islam yang dibawa oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Kemakmuran menyelimuti negeri ini, Islam diterima dengan sepenuh hati. Wilayah ini akhirnya tergabung dalam daulah Islam pada masa Rasulullah saw. dan berlanjut pada masa kekhilafahan. Kegemilangannya telah mengantarkan Yaman menjadi pusat peradaban Islam.
Akar Konflik Yaman
Abad ke-9 M merupakan awal munculnya konflik sektarian Sunni dan Syiah di panggung politik Yaman. Beruntung, Khilafah mampu meredamnya. Namun, benih konflik ini bagai api dalam sekam. Tersulut ketika Inggris datang dengan mengembuskan ide nasionalisme dan sektarianisme di tengah masyarakatnya. Keelokan Yaman menjadi magnet bagi kedatangan Inggris yang berambisi untuk menguasai kekayaan Yaman.
Pada 1918, Yaman terlepas dari Khilafah Usmaniyyah. Sejak itu Yaman menjadi rebutan Inggris-AS. Saat dimerdekakan tahun 1962, kondisi Yaman bukannya membaik, malah justru memburuk.
Pada 2004, terdapat kelompok Ansarullah yang dikenal sebagai Houthi yang berasal dari Kegubernuran Sa’adah sebuah pegunungan di perbatasan utara Yaman dengan Arab Saudi. Kelompok ini mulai melakukan pemberontakan setelah pemimpinnya Hussein Badreddin Al-Houthi terbunuh oleh militer pemerintah gegara memprotes kebijakan pemerintah.
Dari tahun ke tahun, perseteruan semakin meruncing. Tahun 2015 percikan amarah itu menjelma menjadi perang saudara yang menghantam Yaman. Pihak yang terlibat yakni Abdrabbuh Mansur Hadi yang memimpin pemerintah Yaman dengan rivalnya gerakan bersenjata Houthi, tak ketinggalan para pendukung dan sekutu mereka. Keduanya bersikukuh menobatkan diri sebagai pemerintahan resmi.
Merespons konflik dalam negeri Yaman, di tahun yang sama, Arab Saudi membentuk koalisi negara-negara Arab bersama Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Maroko, Yordania, Sudan, dan Senegal. Mereka berdalih ingin memulihkan kekuasaan pemerintahan Yaman yang digulingkan Houthi. Oleh karena itu, mereka melancarkan serangan udara untuk menyerang Houthi di Yaman. AS memberikan dukungan logistik dan intelijen untuk serangan tersebut. Sementara itu, Houthi bersekutu dengan Iran. Sejak peristiwa itu, Houthi dan Arab Saudi saling melancarkan serangan satu sama lain.
Permainan Busuk AS
Mengapa Perang Yaman tak kunjung padam? Sebab, kobaran api dalam perang ini terus dinyalakan, pada hakikatnya ini merupakan proxy war antara negara-negara adidaya yakni AS dan Inggris. Tentu saja dengan mengandalkan aktor-aktor regional di kawasan tersebut. Kamuflase belaka, jika konflik ‘Sunni dan Syiah' dianggap sebagai akar konflik. Padahal, AS dan Inggris merupakan pihak yang mengintervensi krisis di Yaman.
Berbagai serangan yang ditujukan ke Arab Saudi sebenarnya merupakan serangan terukur. Seakan-akan mengarah pada kilang minyak Aramco, padahal sesungguhnya tidak. Wilayah tersebut merupakan wilayah strategis di mana AS pun sangat berkepentingan di sana. Jadi, mustahil bisa dihancurkan dengan mudah. Lagi pula apalah Houthi jika tanpa dukungan dari Iran. Sementara kita tahu bahwa Iran itu memiliki hubungan mesra dengan AS.
Oleh karena itu, pihak yang paling diuntungkan dari perang ini adalah negara-negara pengendalinya. Sebab, Yaman merupakan wilayah strategis dari kepentingan industri minyak dunia juga wilayah yang penting bagi lalu lintas perdagangan internasional. AS sangat berkepentingan di wilayah Timur Tengah yakni kaitannya dengan suplai minyak dunia, eksistensi penjajah Yahudi, dan mencegah lahirnya kelompok kekuatan politik Islam.
Menyelisik Pola Konflik Timur Tengah
Timur Tengah ada dalam pusaran konflik berkepanjangan. Sudah lama kita saksikan drama pembantaian dan penghancuran negeri-negeri muslim di wilayah itu yang terus berkobar. Isu konflik sektarian digadang-gadang menjadi akar masalahnya, padahal isu ini dijadikan senjata oleh Barat untuk semakin menguatkan cengkeramannya pada dunia ketiga. Targetnya untuk memuluskan jalan intervensi dan kolonisasi atas negeri-negeri muslim untuk memuaskan syahwat kekuasaan Barat kapitalis.
Isu sektarianisme semakin membakar api kebencian antara muslim Sunni dan Syiah. Mereka tersekat-sekat dalam bara api perang. Sehingga, menghambat penyatuan ukhuwah Islamiyah dan penegakan Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
AS sengaja memainkan struktur politik, konstitusi, dan rezim yang ada di Timteng berdasarkan pada representasi garis etnis alias sektarian. Para tokohnya diangkat untuk duduk di kursi panas rezim. Hal ini memicu ketegangan dan persaingan perebutan kekuasaan antaretnis. Tak ayal, demi mengamankan kekuasaan para penggawa ini, diberlakukanlah gaya kepemimpinan diktator.
Setali tiga uang, rezim pun memanfaatkan isu sektarian demi menduduki singgasana kekuasaan, menebarkan pengaruh regional politik untuk tujuan pribadi yang berbalut nasionalisme nan egois. Mereka memolitisasi identitas mereka dan tampil ke panggung politik sebagai tokoh muslim Sunni atau Syiah. Sementara masyarakatnya kini harus berbagi nasib yang sama, menelan pil pahit kehidupan akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalistik. Kembali, kaum muslimlah yang menjadi korban pemiskinan massal, ketidakadilan, dan perbuatan biadab lainnya.
Demokrasi Biang Masalah
Sejarah negara-negara pengemban demokrasi dibanjiri konflik dan perang. Bahkan, AS ‘sang kampiun demokrasi' pernah mengalami perang saudara pada abad ke-19. Ketika virus demokrasi ini disuntikkan pada negeri-negeri muslim, darah segar kaum muslim terus mengalir deras hingga kini akibat taktik genosida Barat.
Demokrasi dalam sistem kapitalisme menjadi biang permasalahannya. Imperialisme dan perampasan hak serta kekayaan alam negeri muslim akan terus menggelora jika sistem ini tak segera dienyahkan. Kaum muslim akan terus merasakan hidup dalam nestapa selama kebijakan kolonial sang negara adidaya beserta sekutunya masih diterapkan oleh para komprador, baik muslim maupun nonmuslim.
Demokrasi yang dielu-elukan Barat nyatanya gagal merealisasikan harapan publik dengan visualisasi berbagai kebijakan rezim yang tidak pro rakyat. Bahkan, berhasil menyeret kaum muslim pada perang saudara berkepanjangan. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan bagi kita untuk tetap mempertahankan sistem busuk ini.
Selamatkan Yaman dengan Khilafah
Saat ini Yaman diselimuti konflik dan bencana kelaparan. Sejak perang saudara mencuat kembali pada 2014, Yaman terpuruk menjadi negara termiskin di jazirah Arab. Bayangkan saja, untuk sekadar menyambung hidup mereka harus bergantung pada bantuan internasional yang kadang datang dengan tersendat-sendat.
Mirisnya, PBB mendata pada akhir tahun 2021 jumlah korban jiwa dari Perang Yaman hingga 377 ribu orang. Sebanyak 80% dari total penduduk memerlukan bantuan kemanusiaan. Kasus gizi buruk semakin meroket, mereka terus hidup dalam mimpi buruk berkepanjangan (Mediaindonesia.com, 21/11/2022).
Siapa sangka, Yaman yang telah Allah muliakan dengan Islam menjadi porak-poranda seperti saat ini. Kelemahan umat muslim serta lenyapnya perisai umat, yakni Khilafah membuat Yaman rentan dipecah belah dan mudah terperosok dalam kubangan nestapa.
Oleh karena itu, tak ada lagi cara untuk membebaskan Yaman dari konflik dan nestapa yakni dengan mengenyahkan sistem demokrasi kapitalisme yang diusung dan disuntikkan negara adidaya. Pun, secara serempak bergerak bersama mengembalikan Islam dalam kehidupan. Lalu menegakkan institusi politik Khilafah yang akan menyatukan seluruh potensi negeri muslim untuk menolong Yaman dan negara lainnya yang terjajah. Inilah sesungguhnya yang menjadi akar ketakutan Barat, saat sang raksasa terbangun dari tidur panjangnya dan mengerahkan segala upaya untuk meninggikan kalimat tauhid dan melindungi kaum muslim di seluruh penjuru dunia.
Bukan hanya itu, Yaman begitu istimewa. Rasulullah saw. menyampaikan kelak Yaman akan kembali bangkit berjaya, bahkan penduduknya akan tampil menjadi salah satu tentara terbaik bagi militer Khilafah di akhir zaman.
Abdullah bin Hawalah mengatakan, Nabi saw. pernah bersabda, “Pada akhirnya umat Islam akan menjadi pasukan perang, satu pasukan di Syam, satu pasukan di Yaman, dan satu pasukan lagi di Irak. Hendaklah kalian memilih Syam. Karena ia adalah negeri pilihan Allah. Allah kumpulkan di sana hamba-hamba pilihan-Nya. Jika tak bisa, hendaklah kalian memilih Yaman dan berilah minum (hewan kalian) dari kolam-kolam (di lembahnya). Karena Allah menjamin untukku negeri Syam serta penduduknya.” (HR. Abu Dawud, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban)
Khatimah
Konflik Yaman memang pelik, bukan semata perang saudara yang dipicu narasi sektarianisme. Namun, menjadi panggung proxy war antara negara-negara adidaya. Penyelesaiannya, jelas tak bisa dengan jalan damai dan parsial. Butuh upaya serius untuk menghadirkan kembali Khilafah sebagai perisai umat untuk menghentikan Perang Yaman dan mengembalikan kemuliaannya sebagaimana yang Allah janjikan.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]