Taiwan, Akankah Bernasib Sama dengan Ukraina?

"Kehancuran ekonomi global akan terjadi dan Cina sendiri pun akan mendapatkan kerugian besar jika negeri Tirai Bambu ini benar-benar menginvasi negeri Perisai Silikon ini. Ambisi teknologi AI dan 6G Cina terancam kandas. Tak ayal, hal ini dimanfaatkan Taiwan menjadi perisai keamanan nasionalnya."

Oleh. Tsuwaibah al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Invasi Rusia-Ukraina membuat Taiwan ketar-ketir, akankah Cina terinspirasi untuk melakukan hal yang serupa? Taiwan menganggap dirinya sebagai negara merdeka yang berdaulat. Sementara, Cina menganggap Taiwan sebagai provinsi yang membelot. Namun demikian, negara Perisai Silikon Taipei itu memiliki keunggulan yang tidak dimiliki Ukraina. Dunia bersiap mengalami guncangan ekonomi jika invasi ini benar-benar terjadi.

Dilansir dari Kompas.com (3/4/2022) bahwa Taiwan menjadi bahan obrolan para pengamat politik dunia. Mereka memprediksi, Cina akan ‘tergoda' untuk mengikuti jejak Rusia. Baik Ukraina maupun Taiwan merupakan negara demokrasi muda yang kedaulatannya dibayang-bayangi agresi negara adidaya tetangga.

Namun, tak semudah itu Taiwan ditaklukkan. Negeri ini walaupun kecil tapi memiliki senjata rahasia yang mampu menggentarkan musuh-musuhnya. Bagaimana profil dan rahasia kekuatan negeri Formosa ini? Dampak apa yang ditimbulkan jika perang meledak? Di manakah posisi kaum muslim pada kondisi ini?

History of Taiwan

Taiwan merupakan sebuah pulau yang berposisi di lepas pantai tenggara Cina, antara Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. Pemukim aslinya yakni suku Austronesia yang berasal dari Cina Selatan modern. Pada abad ke-16, pelaut Eropa menyebutnya Formosa yang berarti pulau yang indah. Sejak itu berdatangan para pedagang, nelayan, dan bajak laut dari Cina.

VOC Belanda datang di abad ke-17 (tahun 1624) kemudian hengkang karena desakan loyalis Dinasti Ming Cina di bawah Zheng Cheng-gong tahun 1662. Dua abad setelahnya Taiwan dinyatakan sebagai provinsi Dinasti Qing. Pada 1894 terjadi perang perebutan wilayah kekuasaan antara Cina-Jepang, ditutup dengan Perjanjian Shimonoseki. Hasilnya, Taiwan jatuh ke tangan Jepang.

Pada akhir abad ke-19 M, paham nasionalisme dan demokrasi merangsek kawasan Asia. Sehingga menimbulkan pergolakan sosial politik, kemudian meletuslah Revolusi Cina. Pada masa itu, Taiwan masih dalam dekapan Jepang. Pada 1945 Perang Dunia ke-2 berakhir, Jepang mengalami kekalahan dan terpaksa harus melepaskan Taiwan.

Taiwan menjadi incaran dua partai besar Cina yakni partai Nasionalis dan partai Komunis. Keduanya saling bersaing dalam perebutan beberapa wilayah yang dulu dikuasai Jepang, hingga pecahlah perang saudara di Cina. Partai Komunis menang, sementara rivalnya melarikan diri ke Taiwan.

Pemimpin partai Nasionalis Cina akhirnya berkuasa di Taiwan dan mendeklarasikan pemerintahan darurat di sana. Pada 25 Oktober 1971, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 2758 PBB yang mengakui RRC bentukan partai Komunis yang dianggap sah sebagai perwakilan Cina di lembaga dunia itu. Bahkan, tahun berikutnya Kominke mengakui Taiwan sebagai bagian dari Cina.

Pada 1991, pemerintahan darurat di Taiwan berakhir. Pada 1996, Lee Teng-hui menjadi presiden pertama Taiwan yang terpilih secara demokratis. Kemudian digantikan oleh Chen Shui-bian dari Partai Demokratik Progresif (DPP) pada 2000.

Pada 2008, terjadilah pergantian kepemimpinan. Hubungan Taiwan-Cina membaik pada masa Presiden Ma Ying-jeou dari Kuomintang. Kerja sama dalam bidang ekonomi dan pariwisata digelar pada 2010. Namun, pada 2014 diprotes oleh mahasiswa karena menganggap rezim ini pro Cina. Pada 2016, Tsai Ing-wen diangkat menjadi presiden Taiwan, sejak itu hingga kini hubungan Taiwan-Cina kembali memanas.

Jejak Islam di Taiwan

Masuknya Islam ke Taiwan diawali dengan meluasnya Islam di Cina daratan. Beberapa di antaranya hijrah ke Taiwan pada abad ke-17. Saat itu orang-orang muslim etnis Hui yang bermukim di Provinsi Fujian (Cina bagian selatan) tergabung pada pasukan Koxinga (Cheng Cheng-Kung) menyerbu pulau Formosa untuk mengusir pasukan Belanda yang telah menjajah negeri itu. Usai perang, sebagian pasukan yang beragama Islam memutuskan untuk bermukim di pulau itu. Keturunan mereka menikah dan berasimilasi dengan warga setempat (Republika.co.id, 22/1/2019).

Islam merupakan agama minoritas, hanya dianut sekitar 0,3% penduduk Taiwan, sebagian besar beretnis Hui. Selebihnya, sekitar 180 ribu orang muslim membanjiri Taiwan, mereka merupakan buruh migran yang berasal dari 30 negeri muslim. Taiwan menjadi destinasi negara yang banyak diminati tenaga kerja muslim termasuk TKI. Banyak keluarga yang bergantung secara finansial pada negeri Formosa ini.

Keunggulan Taiwan

Taiwan terbilang unik dan memiliki bargaining position dalam lingkup geostrategis di Asia Timur dan Pasifik Barat. Bahkan, negeri yang berpenduduk 24 juta jiwa itu dinobatkan sebagai pusat strategi ekonomi industri semikonduktor global pada abad ke-21.

Perjuangan Taiwan untuk sampai pada posisi ini memang tidak mudah. Pada 1973, saat ekonomi Taiwan masih bergantung pada industri tradisional (tekstil), meledak perang Timur Tengah yang memicu krisis minyak global. Taiwan pun kolaps, sebab secara penuh bergantung pada impor minyak. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Taiwan menggenjot sedemikian rupa upaya untuk mempromosikan sepuluh megaproyek pembangunan serta menguraikan cetak biru untuk pengembangan industri elektronik. Langkah awal, mengimpor teknologi semikonduktor dari AS. Tak ingin lama bergantung pada impor, Taiwan serius mengerahkan kekuatan riset untuk mengimitasi, bahkan melesat menjadi pesaing utama AS.

Penting untuk dipahami, semikonduktor merupakan induk dari berbagai inovasi industri. Baik AI (artificial inteligent) atau kecerdasan buatan maupun 5G, akan mendominasi dalam pembentukan tren dunia baru di masa yang akan datang. Taiwan berhasil menjadikan negaranya sebagai salah satu pusat pembuatan semikonduktor global. Bayangkan saja, 92% dari produksi global untuk node proses semikonduktor di bawah 10 nanometer (1 nanometer = 1 miliar meter).

Industri ini terbilang strategis sebab mampu memosisikannya sebagai pemasok utama chip yang menggerakkan mesin paling canggih di dunia, dari Apple iPhone hingga jet tempur F-35. Bahkan Direktur Konsultan di Institut Penelitian Teknologi Industri Taiwan, Raja Yang menuturkan, jika terjadi guncangan pada pasokan chip satu tahun saja, maka US$600 miliar lenyap dari kantong perusahaan teknologi global. Jika perang sampai meletus dan menghancurkan basis manufakturnya, maka untuk merekonstruksi kembali di tempat lain akan menelan biaya fantastis, sekitar US$350 miliar dalam kurun waktu 3 tahun. Ini menjadi bukti, bahwa peranan Taiwan dalam teknologi melebihi pengaruhnya dalam geopolitik (Kompas.com, 3/4/2022).

Betul, Cina memang unggul dalam algoritma, perangkat lunak, dan pangsa pasar. Namun, semua itu membutuhkan chip komputer dengan performa tinggi (HPC) yang hingga kini masih ada dalam genggaman Taiwan.

Kehancuran ekonomi global akan terjadi dan Cina sendiri pun akan mendapatkan kerugian besar jika negeri Tirai Bambu ini benar-benar menginvasi negeri Perisai Silikon ini. Ambisi teknologi AI dan 6G Cina terancam kandas, sehingga membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit untuk penyusunan ulang strategi industrinya. Kondisi ketergantungan inilah yang menguntungkan Taiwan. Tak ayal, hal ini dimanfaatkan Taiwan menjadi perisai keamanan nasionalnya.

Bila Perang Meletus

Terlepas dari semua keunggulan yang dimiliki Taiwan, ambisi Cina untuk merebut kembali Taiwan ke dalam pelukannya belum padam. Terbukti, sepanjang 2021 Cina terus meningkatkan serangan militer pada Taiwan. Terlebih dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina membuat konflik di antara keduanya makin berkobar. Banyak pihak memprediksi Cina akan melakukan hal serupa.

Menyadari bahaya yang mengancam negaranya, Taiwan tidak berdiam diri. Secara intens negara ini menggalang dukungan dari negara lain. Australia, Inggris, dan AS merespons seruan ini dan akhirnya menyetujui kesepakatan AUKUS yang kontroversial. Mereka berkomitmen melakukan kerja sama pertahanan dan intelegensi demi mengadang gempuran Cina atas Taiwan.

Bukan hanya itu, militer Taiwan telah merilis buku panduan bagi warga sipil dalam menghadapi perang. Buku itu memaparkan langkah-langkah dalam menemukan tempat perlindungan jika terjadi gempuran bom melalui aplikasi smartphone. Bagaimana mendapatkan suplai makanan dan minuman, tips menyiapkan kotak P3K serta cara untuk meningkatkan kesiagaan.

Kondisi panas ini dianggap AS sebagai peluang untuk melemahkan Cina sebagai pesaing utamanya dari kubu Kapitalisme Timur dan menderaskan keuntungan dari konflik dua negara ini. Banyak kebijakan yang digulirkan AS demi mengobarkan api kebencian di antara keduanya. AS tak segan-segan menggelar latihan bersama dengan militer Taiwan, ini bagian dari strategi 'industrial military complex’. Hal ini dilakukan demi tercapainya kapitalisasi perang yang menjadi mesin ekonomi bagi industri militer AS.

Alhasil, jika perang Taiwan-Cina benar-benar meletus, maka dampaknya akan meluas. Bukan hanya Taiwan dan Cina yang akan kena imbasnya, namun akan menyeret AS, Australia, Inggris, negara yang bergantung secara teknologi pada Taiwan, bahkan juga negeri-negeri muslim. Tak berlebihan, jika banyak yang memprediksi bahwa perang ini menjadi cikal bakal Perang Dunia ke-3.

Nahas, situasi ini tentu saja akan mempersulit posisi negeri muslim, sebab akan mengganggu urusan domestiknya. Mengingat belum ada negeri muslim yang mandiri, baik secara ekonomi maupun militer. Lagi-lagi, muslim jadi objek penderita dari peristiwa politik apa pun yang melanda dunia.

Kaum Muslim Butuh Perisai

Kondisi kaum muslim memang selalu terjepit dalam berbagai kondisi perpolitikan, baik itu skala domestik maupun mancanegara. Terlepas posisinya, sebagai penonton maupun objek penderita. Wajar saja, sebab saat ini kaum muslim ‘dipaksa’ hidup bukan pada habitatnya.

Demokrasi-kapitalisme bukanlah habitat asli bagi kaum muslim. Ini merupakan jebakan busuk yang sengaja dirancang Barat untuk memandulkan potensi, mendistorsi Islam, dan memecah belah kaum muslim. Mereka sadar betul bahwa ketika kaum muslim dibiarkan pada habitat aslinya yakni ideologi Islam dalam naungan Khilafah, maka akan menjelma menjadi negara adidaya.
Khilafah inilah yang akan menjadi perisai bagi kaum muslim.

Oleh karena itu, mereka terus mengembuskan ide sekularisme, nasionalisme, liberalisme, dan lainnya agar kaum muslim teperdaya dan menjadi negara lemah, serba ketergantungan pada negara kufur. Kaya SDM namun miskin, berlimpah penduduknya namun hanya jadi buih di lautan, dan buta teknologi hanya mampu jadi penikmat saja. Konsekuensinya, kaum muslim tidak memiliki daya tawar dan mudah terombang-ambing pada konstelasi politik internasional.

Saatnya kaum muslim sadar akan kelemahannya, posisinya di kancah dunia, dan peluang kebangkitannya. Situasi global yang makin memanas, seharusnya menjadi pecut bagi kaum muslim untuk berjuang mengembalikan habitat aslinya yakni Khilafah yang menerapkan Islam kaffah. Ingatlah, bagaimana firman Allah Swt. dalam QS. An-Nur ayat 55 yang artinya:
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai.”

Wallahu a’lam bi Ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Menggoyang Kursi Petinggi
Next
Sepercik Asa dan Doa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram