"Maka, memilih berutang untuk menyelesaikan masalah perekonomian bangsa bukanlah jalan yang tepat selama sistem kapitalisme masih menjadi napas pemerintahan."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Krisis kembali menerpa, kondisi perekonomian porak-peranda, rakyat semakin sengsara, kekacauan di mana-mana, mulai berjatuhan korban jiwa, akankah Sri Lanka baik-baik saja?
Sri Lanka, saat ini tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam kurun waktu tujuh dekade terakhir. Mayoritas warga dilaporkan mengalami kekurangan pasokan bahan pangan hingga bahan bakar gas. Tenaga listrik pun harus dipadamkan secara bergiliran. Ditambah, warga harus mengantre untuk mendapatkan bahan bakar minyak yang semakin langka. Aksi protes secara sporadis pun mulai bermunculan di sejumlah kota. (kompas.id, 22/03/2022)
Keadaan Darurat
Akhir pekan lalu, Presiden Gotabaya Rajapaksa telah mengumumkan keadaan darurat nasional. Hal ini dikarenakan kekacauan masyarakat yang semakin menjadi di Sri Lanka. Sejak Februari lalu, habisnya devisa Sri Lanka diikuti oleh inflasi tajam. Ketergantungan terhadap impor menjadi penyebabnya. Selama ini Sri Lanka masih melakukan impor khususnya bahan bakar dan bahan-bahan pertanian seperti pupuk, yang kini membuat produksi hasil pertanian negara pun menjadi kacau. Antrean masyarakat Sri Lanka untuk mendapatkan bahan bakar tak bisa terelakkan. Tidak sabarnya masyarakat memicu munculnya kerusuhan hingga menimbulkan korban jiwa. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Sri Lanka menerjunkan petugas keamanan untuk berjaga di beberapa titik lokasi.
Adanya kewajiban membayar utang, memperburuk kondisi yang ada. Di tahun ini saja, Kolombo memiliki hampir US$7,3 miliar utang yang jatuh tempo kepada beberapa negara seperti Cina, Jepang, dan India. (cnbcindonesia.com, 05/04/2022)
Di tengah karut-marut kondisi Sri Lanka yang semakin tidak terkendali, para menteri malah mengundurkan diri secara massal. Di antaranya Menteri Pendidikan Dinesh Gunawardena, disusul Putra PM Mahinda, Namal Rajapaksa, kemudian juga Gubernur Bank Sentral Sri Lanka Ajith Nivard Cabraal. Dan yang terbaru, Menteri Keuangan, Ali Sabry, yang baru menjabat selama satu hari pun juga mengundurkan diri. (cnbcindonesia.com, 05/04/2022)
Untuk mengisi kekosongan posisi menteri, Presiden Sri Lanka mengajak seluruh partai politik yang ada di parlemen untuk ikut menjadi bagian dari eksekutif guna mencari jalan keluar dari krisis ekonomi terbesar sejak 1948 yang tengah melanda negara tersebut.
Perangkap Kapitalisme
Pemerintah Sri Lanka tengah dikabarkan sedang meminta bantuan kepada IMF dan negara-negara tetangga. Ketua Advocatea Institute Murtaza Jafferjee berkata, Sri Lanka dalam 10 tahun terakhir terus menambah pinjaman kepada lembaga asing untuk memperluas layanan publik. Pada kesempatan lain, Duta Besar Cina di Kolombo (21/03), Qi Zhenhong mengumumkan, pemerintah di Beijing juga sedang mempertimbangkan permohonan utang tambahan senilai USD2,5 miliar dari pemerintah Sri Lanka. (dw.com, 22/03/2022)
Di sisi lain, India pun mengabulkan kredit impor senilai USD1 miliar untuk membeli bahan pangan dan obat-obatan. Pemerintah Sri Lanka berharap bantuan tersebut bisa membantu untuk melewati krisis dan mengimpor kembali berbagai barang dan kebutuhan pokok untuk masyarakat. Mungkinkah ini bisa menjadi solusi?
Harusnya Sri Lanka mampu belajar dari pengalaman masa lalu. Di mana Sri Lanka harus menyerahkan Pelabuhan Hambantota yang dibangun pada tahun 2010 yang pembangunannya menggunakan dana dari Cina. Akibat gagal bayar utang, pelabuhan tersebut harus diserahkan kepada Cina hingga 99 tahun mendatang.
Atau seperti kondisi Zimbabwe, yang semakin terpuruk dalam perekonomian dan harus menerima peredaran mata uang Cina pada 2016 lalu akibat gagal bayar utang. Ada juga Nigeria akibat gagal bayar utang kepada Cina, harus memenuhi permintaan Cina di mana pembangunan infrastruktur di negeri tersebut harus menggunakan bahan baku dan buruh kasar asal Cina. Kemudian Uganda, akibat gagal bayar utang, Cina dikabarkan telah mengakuisisi kepemilikan Bandara Internasional Entebbe milik Uganda.
Berkaitan dengan bantuan utang yang diharapkan oleh Sri Lanka faktanya utang yang diberikan oleh Cina, India maupun IMF adalah utang yang berbunga. Realitasnya, apakah Sri Lanka akan mampu membayar utang baru? Jika utang lama saja belum terselesaikan dan terus menumpuk bunganya. Inilah sejatinya jerat kapitalisme. Dalam kapitalisme tidak ada makan siang gratis. Jika utang dan bunganya terus menumpuk dan terjadi gagal bayar, pasti akan ada konsekuensi yang harus ditanggung.
Dalam kapitalisme utang antarnegara digunakan sebagai senjata bunuh diri politik. Mengebiri kebijakan-kebijakan strategis negara yang berutang untuk kepentingan pemberi piutang. Maka, memilih berutang untuk menyelesaikan masalah perekonomian bangsa bukanlah jalan yang tepat selama sistem kapitalisme masih menjadi napas pemerintahan.
Perspektif Islam
Setiap negara berpotensi mengalami permasalahan perekonomian. Sangat memungkinkan jika utang diambil menjadi salah satu solusi alternatif untuk menyelesaikan perkara tersebut. Islam sendiri memandang bahwasanya utang adalah hal yang diperbolehkan selama tidak ada potensi riba. Namun, dalam kehidupan bernegara daulah Khilafah akan menghindari berbagai bentuk skema utang karena akan berpotensi menjadi jalan masuknya agenda penjajahan.
Keuangan dalam Khilafah akan diatur secara terpusat oleh Baitul Mal. Baitul Mal akan memastikan kebutuhan pokok masyarakat daulah bisa terpenuhi. Khilafah akan memaksimalkan pemasukan Baitul Mal dari pos-pos pendapatan negara. Yakni dari fai, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Kemudian ada juga pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, serta pemasukan dari hak milik negara yakni usyur, khumus, rikaz, dan tambang.
Dengan mekanisme ini, Khilafah pernah menguasai dua pertiga dunia, terkenal tangguh dan disegani negara-negara dunia lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah : “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi). Maka seluruh sistem pemerintahan yang ada di dalamnya pun merupakan sistem terbaik. Penerapan sistem terbaik inilah, yang menjadikan Khilafah sebagai negara yang berpengaruh, baik di dalam maupun luar negeri.
Adapun jika kas Baitul Mal dalam kondisi kosong, maka negara diperbolehkan mengumpulkan dana dari orang kaya. Bisa juga dengan menarik pajak dari masyarakat daulah dengan tanpa membebani atau hanya ditujukan kepada masyarakat yang mampu saja. Kebijakan ini diambil sebagai opsi terakhir.
Keberadaan Khilafah pun tak segan memberikan bantuan kepada negeri-negeri yang membutuhkan pertolongan. Contohnya pada saat di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Majid pada masa Kekhilafahan Turki Usmani pada tahun 1847 M. Beliau memberikan bantuan kepada Irlandia yang saat itu mengalami bencana kelaparan parah. Padahal, saat itu Irlandia menjadi negara jajahan Inggris dan mayoritas masyarakatnya beragama Kristen. Tanpa sepengetahuan Ratu Inggris, Sultan Abdul Majid berhasil mengirimkan lima kapal penuh makanan ke kota Drogheda pada Mei 1847 M. Inilah salah satu bentuk kepedulian Ottoman pada negeri Irlandia. Pada saat itulah masyarakat Irlandia mulai mengenal simbol-simbol Islam seperti bulan sabit dan bintang. Simbol-simbol ini masyarakat Irlandia ketahui dari simbol-simbol yang tertera pada kapal pembawa bantuan.
Inilah gambaran kebaikan Khilafah kepada negeri-negeri di luar daulah Islam. Membantu tanpa pamrih dan semata-mata sebagai bentuk kemanusiaan dan siar ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia.
Wallahu'alam bishowab.[]