Pemberlakuan CAA: India Makin Islamofobia?

Pemberlakuan CAA India

Kini pemberlakuan CAA ini akan menyingkirkan 200 juta muslim yang tinggal di India secara terstruktur dan sistematis.

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru diberlakukan di India, telah lama menuai kontroversi, bahkan sejak UU ini disetujui parlemen pada Desember 2019. Kaum muslim di India khususnya, merasa keberadaan UU ini sangat mendiskreditkan posisinya sebagai warga negara India, bahkan sangat diskriminatif. Aroma islamofobia terendus sangat menyengat pada kemunculan UU milik pemerintahan Narendra Modi ini.

Dikutip dari cnnindonesia.com (13/3/2024) bahwa Presiden AII India Muslim Jamaat, Maulana Shahabuddin Razvi Bareilvi mendukung pemberlakuan Undang-Undang Amandemen kewarganegaraan (Citizenship Amandement Act/CAA). Dia berpendapat bahwa UU tersebut tak akan memengaruhi status kewarganegaraan muslim India.

Lantas apakah itu CAA? Benarkah CAA akan merugikan muslim India? Bagaimanakah mengakhiri segala bentuk islamofobia yang kerap kali terjadi di India?

Kontroversi CAA

CAA merupakan singkatan dari Citizenship Amandement Act atau Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan yang baru-baru ini diberlakukan oleh pemerintah Narendra Modi. CAA ini menyediakan jalur pintas untuk naturalisasi bagi imigran umat Hindu, Parsi, Sikh, Buddha, Jain, dan Kristen yang melarikan diri ke India. Namun, beleid ini membatasi bahwa mereka yang bisa mendapatkan kewarganegaraan yakni imigran dari Pakistan, Afganistan, dan Bangladesh yang datang ke India sebelum 31 Desember 2014. CAA mengecualikan muslim yang merupakan mayoritas di ketiga negara tersebut. CAA ini digadang-gadang menjadi “kartu sakti” Modi untuk memenangkan kontestasi pemilu Mei mendatang (cnnindonesia.com, 13/3/2024).

CAA sebenarnya telah disetujui parlemen India pada Desember 2019, tetapi belum bisa diberlakukan pemerintah saat itu juga. Baru tanggal 11 Maret 2024 CAA ini resmi diberlakukan di India. Mengapa demikian? Sebab sejak penyetujuan CAA, gelombang protes dari masyarakat terus meluas hingga menimbulkan korban jiwa. Protes nasional bukan hanya datang dari warga negara muslim, tapi juga partai-partai oposisi dan pendukung HAM. Mereka menyatakan bahwa CAA bersifat diskriminatif dan melanggar prinsip sekuler yang diamanatkan konstitusi. Bahkan, Amnesty India menganggap CAA telah melegitimasi diskriminasi berdasarkan agama. India menjadi negara pertama yang menjadikan kriteria agama sebagai syarat memperoleh kewarganegaraan.

Berbeda halnya dengan Presiden AII India Muslim Jamaat, Maulana Shahabuddin Razvi Bareilvi justru mendukung pemberlakuan CAA. Sebab UU tersebut dinilai tak akan memengaruhi status kewarganegaraan muslim India, status kewarganegaraan muslim tidak akan dicabut gegara UU ini. Bahkan, CAA ini merupakan langkah baik bagi imigran muslim yang kerap kali mendapatkan diskriminasi dalam mendapatkan hak kewarganegaraannya (cnnindonesia.com, 13/3/2024).

CAA Merugikan Muslim India

India secara resmi merupakan negara sekuler. Namun pada faktanya, politik yang diberlakukan di India (khususnya sejak Narendra Modi berkuasa dengan dukungan penuh Partai Bharatiya Janata/BJP) adalah pemerintahan otoriter yang memaksakan agenda nasionalisme Hindu ke India sekuler dengan menumbalkan populasi muslim. Ada upaya masif dari Modi dan BJP yang diamini warga Hindu India yang telah terasuki islamofobia untuk melakukan genosida terhadap muslim dari Tanah Hindustan ini. Dua ratus juta umat Islam yang hidup di tengah 1,4 miliar penduduk India dianggap sebagai minoritas.  Islam yang menjadi agama minoritas kerap kali menjadi bulan-bulanan warga sekitar.

Sejak Modi dan partainya berkuasa, muslim India sering mendapatkan serangan fisik dan verbal. Banyak warga muslim yang digantung gegara tuduhan sepihak bahwa mereka telah memakan dan menyelundupkan sapi, hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu. Tak sedikit muslimah yang diperkosa gegara fitnahan ini.

Bisnis-bisnis kaum muslim dimatikan, guru dan karyawan diberhentikan, pemukiman muslim diberangus, masjid-masjid dimusnahkan dan dibangun kembali di atas lahan bekas reruntuhan masjid itu kuil-kuil megah kebanggaan umat Hindu. Muslimah dilarang menggunakan hijab, bahkan dilecehkan dan dipermalukan di hadapan publik.

Kini pemberlakuan CAA ini akan menyingkirkan 200 juta muslim yang tinggal di India secara terstruktur dan sistematis. CAA akan efektif dalam membantu nonmuslim ilegal, tetapi membayang-bayangi muslim India dari tindak deportasi dan pengasingan. Pemerintah India berusaha melindungi minoritas yang teraniaya dari luar negeri, namun mengabaikan muslim yang kerap kali mendapatkan penganiayaan di dalam negeri.

Islam Minoritas Selalu Tertindas

Tak bisa dimungkiri, jika Islam ada dalam posisi minoritas, maka sering kali menjadi pihak yang tertindas. Bukan hanya muslim India, muslim Uighur di Cina, muslim Rohingya di Myanmar, dll. menjadi potret kelam ketertindasan muslim di dunia. Sistem sekuler-demokrasi yang diadopsi sebagian besar negara-negara saat ini seakan membuka peluang terjadinya diskriminasi terhadap Islam dan kaum muslim. Adanya perlindungan HAM pun, berstandar ganda. Jika penindasan itu menimpa muslim, dunia membisu. Sebaliknya, jika penindasan itu menimpa nonmuslim, maka dibela mati-matian. Bahkan lembaga dunia semisal PBB pun tampak kehilangan taringnya dan tak mampu menyelamatkan umat Islam dari penindasan dan genosida.

Jika Islam menjadi mayoritas pun, ruang kehidupan tak secara otomatis menjadi lebih luas dan berdaulat. Islam tetap terbelenggu pada ikatan sekularisme, yang memaksa kaum muslim untuk meninggalkan kesempurnaan aturan agamanya. Tunduk pada aturan yang bukan berasal dari Rabbnya, sehingga nyaris tak bisa dibedakan antara muslim dan nonmuslim dalam interaksi kehidupannya. Islam hanya diberikan ruang sempit dalam kehidupan pribadi mereka yakni seputaran akidah, ibadah, dan pernikahan.

Perbedaannya hanyalah jika Islam menjadi mayoritas, ruang untuk mengaplikasikan Islam sebagai agama (ibadah) agak lebih leluasa. Namun jika Islam menjadi minoritas, semua ruang tertutup rapat, bahkan untuk sekadar menjalankan ibadah ritualnya semata. Persamaannya, baik Islam sebagai mayoritas ataupun minoritas, akses keduanya untuk menerapkan Islam kaffah dijegal oleh pihak-pihak yang tak menginginkan Islam bangkit dan berjaya kembali. Apakah itu oleh pemerintahannya sendiri, kelompok-kelompok di masyarakat, negara adidaya, bahkan lembaga internasional.

Oleh karena itu, Islam selamanya tak akan bisa “bangkit dan dihargai” dunia jika kaum muslim  masih bersemayam pada negara yang menerapkan sistem sekularisme. Islamofobia, genosida, pembodohan, pemiskinan, dan penjajahan atas kaum muslim tidak akan bisa dihentikan, kecuali dengan liberasi (pembebasan) negeri-negeri Islam dari penyembahan kepada makhluk menjadi penyembahan pada Khalik. Artinya memberikan kedaulatan penuh kepada Islam sebagai ideologi (mabda) untuk mengatur kehidupan manusia melalui kekuasaan negara. Ringkasnya, menerapkan Islam kaffah dalam sebuah institusi negara yang pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. yakni Daulah Khilafah.

Merindukan sang Junnah

Daulah Khilafah merupakan kepemimpinan umum kaum muslim di dunia untuk menerapkan aturan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta menyebarkan dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Khilafah ini merupakan junnah (perisai) bagi kaum muslim. Darah, harta, jiwa, akal, dan kehormatan kaum muslim akan senantiasa terjaga dan terlindungi selama Khilafah ini ada. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya: “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang dan mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaaan)-nya. (HR. Muttafaqun ‘alayh)

Khilafah inilah yang akan melindungi seluruh warga negaranya, baik muslim ataupun nonmuslim. Kriteria agama tak akan menjadi syarat kewarganegaraan sebagaimana India. Manusia dengan latar belakang agama, ras, dan budaya yang berbeda akan hidup rukun damai di dalamnya. Tak ada lagi istilah mayoritas dan minoritas, sebab semua warga negara sama di hadapan hukum dan diberikan pelayanan optimal oleh negara, asalkan mereka mau tunduk patuh pada regulasi yang telah ditetapkan.

Khilafah (secara bertahap) akan menyatukan seluruh negeri-negeri muslim untuk bernaung di bawah kekuasaannya dengan seruan dakwah. Jika dalam penegakan misi dakwah ini terganjal hambatan fisik, maka sang khalifah akan mengerahkan pasukan militer untuk berjihad melawan negara-negara yang  telah menjegal dakwah.

Bagi kaum muslim yang ada di luar wilayah Khilafah (belum tergabung) dan mengalami penindasan dari pemerintahan setempat berikut masyarakatnya, maka Khilafah akan segera membebaskannya dari penindasan.

Caranya, dilancarkan seruan dakwah pada negeri tersebut dan tawaran pada pemimpin negeri itu untuk memilih salah satu dari opsi berikut:

  1. Memeluk Islam (menjadi mualaf) dan menggabungkan negerinya dengan Khilafah.
  2. Tetap pada agamanya semula (kafir), tetapi mau menggabungkan negerinya dengan Khilafah. Konsekuensinya, pemimpin berikut warga negaranya harus tunduk patuh pada aturan Khilafah di ranah publik serta membayar jizyah bagi laki-laki yang mampu. Mereka tetap diberikan keleluasaan dalam menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing, harta dan jiwa mereka akan dilindungi Khilafah. Status mereka menjadi kafir zimi.
  3. Jika kedua opsi di atas ditolak, maka Khilafah akan melancarkan jihad (perang) guna membebaskan negeri itu dan kaum muslim yang tinggal di sana dari berbagai penindasan dan kezaliman.

Hanya dengan cara inilah berbagai penindasan yang dialami kaum muslim akan berakhir. Siapa pun pihak yang jemawa dan bangga dalam menindas kaum muslim akan diberi pelajaran hingga mereka gentar dan bertekuk lutut di bawah kekuasaan Islam dan kaum muslim.

Khatimah

Kaum muslim di wilayah mana pun sedang terjebak dalam penjajahan (fisik ataupun nonfisik), penindasan, dan genosida dari kaum kafir. Jebakan ini tersusun rapi, terstruktur, dan sistematis sebab didukung oleh penerapan sistem sekuler demokrasi yang memiliki standar ganda di seluruh negeri muslim. Oleh karena itu, untuk menghentikan kezaliman ini mutlak diperlukan adanya Khilafah yang bernyali dan kompatibel untuk menerapkan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia.

Wallahu a’lam bishawab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Ramadan Momentum untuk Bersedekah
Next
Ada Apa di Balik Program Air Organic Agriculture?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
8 months ago

Dalam sistem sekuler mana pun ternyata muslim tetap tidak aman meskipun jumlahnya cukup banyak bahkan mayoritas

Siti Komariah
Siti Komariah
8 months ago

Barakallah Mbak Emi. Rindu naskah Mbak Emi. Alhamdulillah muncul lagi. Naskah keren, Mbak. Bener sih, umat muslim di mana pun terus tertindas, kita butuh kehadiran junnah

Bedoon Essem
Bedoon Essem
8 months ago

Barakallah..Seperti biasa, naskah teh Emi selalu cetar..
India juga salah satu negara yang memihak Israel maka tak heran jika mereka sangat islamofobia

bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram