Kontestasi demokrasi rawan kecurangan. Karena itu, berharap perubahan hakiki dari sistem yang meniadakan campur tangan Tuhan itu utopis.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com- Kontestasi pilpres Rusia baru saja berakhir. Presiden Rusia, Vladimir Putin, dipastikan akan memperpanjang kekuasaannya selama enam tahun ke depan hingga 2030. Hal ini terjadi setelah kemenangan telaknya dalam pemilu Rusia yang telah berakhir pada Ahad, 17 Maret 2024 lalu. Kemenangan ini pun menjadikan Putin sebagai pemimpin terlama di Rusia setelah diktator Soviet, Joseph Stalin. Putin meraih 87,32 persen suara dari 99,75 persen suara yang masuk ke KPU.
Diwartakan oleh kontan.co.id (21/3/2024), setelah terpilih kembali sebagai presiden untuk ke-5 kalinya, Presiden Rusia Vladimir Putin mempertimbangkan untuk melakukan perjalanan luar negeri pertamanya ke Cina. Hal ini bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, Cina diketahui telah memperkuat hubungan dagang dan militernya dengan Rusia. Hubungan bilateral itu terjadi saat Amerika Serikat (AS) dan sekutunya menjatuhkan sanksi terhadap kedua negara tersebut, khususnya Moskow karena invasinya ke Ukraina.
Kemenangan Putin pun disambut berbagai respons oleh negara-negara di dunia. Ada yang mendukung dan mengucapkan selamat, ada pula yang mengecam dan menolak kemenangan tersebut. Lantas, apa yang menyebabkan kemenangan Putin dikecam oleh negara-negara Barat? Bagaimana sepak terjang Putin sebagai presiden terlama di Rusia? Bagaimana pula gambaran politik dalam Islam?
Kutukan Negara Barat
Kemenangan Putin terjadi di tengah rentetan protes para penentangnya di tempat-tempat pemungutan suara dan komentar miring dari negara-negara Barat. Mereka menyebut bahwa pemilu Rusia tidak bebas dan tidak adil. Beberapa negara yang ikut mengutuk kemenangan Putin adalah AS, Ukraina, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dll. Ukraina yang saat ini masih berperang dengan Rusia, mengatakan bahwa hasil pemilu tersebut tidak sah. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, bahkan menyebut bahwa Putin akan menempuh jalan apa pun untuk tetap berkuasa. (sindonews.com, 19/3/2024)
Demikian juga dengan Inggris. Menteri Luar Negeri Inggris, David Cameron, mengatakan bahwa pemilu di Rusia adalah ilegal. Sedangkan Jerman, melalui Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock, menyatakan telah menolak terpilihnya Putin karena menganggap bahwa pemungutan suara berlangsung tanpa pilihan lain. Kecaman senada juga dilakukan oleh negara-negara lainnya yang pada intinya menyebut bahwa hasil pemilu Rusia tidak adil dan penuh kecurangan.
Menanggapi tudingan kecurangan tersebut, Juru Bicara Kremlin (kantor pemerintahan Rusia) , Dmitry Peskov, menepis tuduhan kecurangan dalam pemungutan suara yang menguntungkan Putin. Ucapannya merujuk pada hasil survei yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat milik negara. Lembaga tersebut menyebut bahwa 65 persen warga yang disurvei menganggap hasil pemilu Rusia bisa diandalkan. Kremlin bahkan mengatakan bahwa mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh negara-negara Barat. Hal ini karena mereka, menurut Kremlin, adalah sekelompok negara yang bermusuhan dan berperang dengan Rusia di Ukraina.
Sepak Terjang sang Presiden
Vladimir Putin menjabat sebagai orang nomor satu di Kremlin sejak 1999 silam. Sebelum menjabat sebagai presiden, Putin hanyalah agen rahasia KGB yang tidak dikenal. Namun, setelah berhasil menduduki kursi nomor satu di negara itu, Putin berhasil menancapkan kekuasaannya dengan menundukkan para oligarki. Di bawah kekuasaannya, Rusia diubah menjadi negara otoriter. Dia pun melarang segala bentuk oposisi yang berseberangan dengan pemerintah.
Para pengkritik pemerintah yang sangat vokal pun diseret ke jeruji besi. Salah satunya adalah Alexey Navalny. Kritikus paling vokal ini bahkan meninggal secara misterius di koloni penjara Arktik pada Februari lalu. Pihak oposisi lainnya juga mengalami nasib serupa yakni dipenjara, sedangkan sebagian lainnya memilih melarikan diri ke pengasingan. Kekuasaannya makin mencengkeram kuat setelah ia menginvasi Rusia pada Februari 2022 lalu. Siapa pun yang memprotes tentang perang di Rusia akan dibungkam lewat pengadilan.
Namun, di tengah konfrontasi dengan Barat terkait perang di Ukraina, Putin tetap populer di Rusia. Dia pun tidak memiliki saingan yang berarti karena semua pesaingnya merupakan politisi yang pro-Kremlin. Selain itu, Putin juga memegang kendali penuh atas Rusia. Putin yang sudah berkuasa sekitar 25 tahun itu memang masih boleh mencalonkan diri sebagai presiden karena amendemen konstitusi Rusia pada 2020 lalu terkait batas pencalonan presiden.
Kontestasi Usai, Langkah Putin Selanjutnya?
Terkait hal ini, ada beberapa spekulasi di kalangan para pengamat Rusia. Spekulasi tersebut merujuk pada beberapa isu besar, salah satunya tentang perang di Ukraina. Kemenangannya dalam pemilu memberikan spekulasi bahwa Putin memiliki ruang untuk bermanuver. Putin memiliki keyakinan tentang perkembangan yang terjadi di medan perang, terutama setelah jatuhnya Kota Bakhmut dan Avdiivka di Ukraina bagian timur. Putin pun berpendapat bahwa Ukraina berada pada posisi yang tidak menguntungkan, apalagi setelah negara-negara Barat masih ragu-ragu memberikan bantuannya ke Ukraina.
Meski Rusia mengalami kemajuan pesat atas perangnya terhadap Ukraina, tetapi apa yang dilakukan di Ukraina bagian timur tersebut telah mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar. Kemenangannya dalam pemilu di putaran pertama, seolah memberi legitimasi bahwa perang yang dilakukannya terhadap Ukraina memperoleh dukungan penuh dari rakyat. Spekulasi berikutnya setelah pemilu adalah tindakan kerasnya terhadap oposisi bisa terus berlanjut.
Para pengamat pun menyebut bahwa memprediksi tindakan Putin setelah pemilu merupakan hal yang rumit. Di satu sisi, dalam jangka pendek, Putin telah membuktikan ekonominya telah terbebas dari sanksi, produksi amunisinya telah melampaui AS dan sekutunya di Eropa, serta lanskap politiknya telah terbebas dari persaingan. Meski begitu, perang merupakan hal yang tak selalu dapat diprediksi. Di sisi lain, permasalahan jangka panjang Rusia seperti penurunan demografi, dampak perang dan sanksi, serta rapuhnya sistem pemerintahan tunggal, diprediksi akan tetap ada.
Kontestasi Politik Demokrasi Sarat Intrik
Berbagai konflik dan intrik yang terjadi dalam setiap pemilu di negara mana pun adalah sebuah keniscayaan dalam politik demokrasi. Politik yang dibangun berdasarkan asas sekularisme yang menanggalkan aturan Tuhan, telah menjauhkan makna politik yang sesungguhnya. Karena itu, politik dalam sistem sekuler saat ini hanya identik dengan perebutan kekuasaan.
Hal ini pun dijelaskan dalam sebuah buku yang berjudul A History of Political Philosophy, karya Henry J. Schmandt (2012). Buku tersebut berisi tentang kajian historis dari zaman Yunani kuno hingga demokrasi saat ini. Dalam buku tersebut digambarkan bahwa politik adalah bentuk pertarungan untuk perebutan kekuasaan dengan melakukan berbagai cara, baik propaganda maupun pencitraan.
Dengan gambaran tersebut maka tidak mengherankan jika politik justru menjadi jalan untuk menjajah dan menguasai mereka yang lebih lemah. Saling menekan dan bekerja sama demi mencapai keinginan masing-masing menjadi hal lumrah. Namun, perlu diingat bahwa tidak ada kerja sama yang ikhlas dalam politik demokrasi.
Politik dalam Islam
Jika politik demokrasi hanya berbicara seputar kekuasaan dan sering kali menghalalkan segala cara, berbeda halnya dengan Islam. Pasalnya, Islam adalah agama sekaligus ideologi paripurna sehingga melahirkan aturan yang sempurna pula. Karena itu, politik dalam Islam memiliki makna yang khas dan jauh berbeda dengan makna politik hari ini.
Secara etimologis, politik berasal dari kata sasa-yasusu-siyasat yang berarti mengurusi kepentingan seseorang. Sedangkan politik dalam Islam dapat diartikan sebagai ri'ayah syu'un al-ummah atau mengurusi urusan umat. Selain itu, dalam menjalankan aktivitas politik, negara dan rakyat bersama-sama melaksanakannya. Pasalnya, negara merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengurusi urusan rakyatnya secara praktis, sedangkan rakyat bertugas sebagai pengontrol dan pengoreksi negara ketika melaksanakan seluruh tugasnya.
Berikutnya, Islam pun memiliki pengertian sendiri terkait kepemimpinan. Dalam Islam, pemimpin negara (khalifah) memiliki fungsi sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat. Selain itu, khalifah juga berfungsi sebagai pelindung terhadap bahaya yang mengancam rakyatnya. Ini adalah tugas utama penguasa.
Maka, siapa saja yang diberikan amanah sebagai pengurus rakyat lalu ia berkhianat, Allah Swt. akan mengharamkan dirinya masuk surga. Hal ini pun telah dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari, "Siapa saja yang Allah jadikan pemimpin, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka surga Allah haram atas dirinya."
Di sisi lain, Islam pun memiliki aturan sempurna tentang kontestasi. Yang mana, kontestasi harus dilakukan sesuai dengan standar syariat. Aturan Islam tentang kontestasi jelas berbeda dengan demokrasi yang menghalalkan segala cara dan "menuhankan" pemilik modal. Dalam Islam, kandidat yang mengikuti kontestasi adalah mereka yang paham agama. Motivasi dalam mengikuti kontestasi pun bersifat ruhiyah, bukan materi. Walhasil ketika terpilih tidak akan silau dengan jabatan yang diembannya. Para kandidat penguasa dalam Islam adalah orang-orang yang memburu pahala, bukan mengincar materi.
Satu hal yang tak kalah penting, kontestasi dalam Islam sangat sederhana, mudah, efisien, serta tidak membutuhkan pendanaan dari pihak mana pun yang haus kepentingan. Hal inilah yang menjadikan politik Islam terhindar dari campur tangan pihak luar dan tekanan dari para pemilik modal. Dengan demikian, siapa pun yang terpilih menjadi penguasa maka akan terhindar dari intervensi pihak lain. Dan yang pasti, setiap kebijakannya hanya berlandaskan syariat Islam.
Khatimah
Kontestasi demokrasi memang rawan kecurangan. Karena itu, berharap perubahan hakiki dari sistem yang meniadakan campur tangan Tuhan adalah harapan yang utopis. Kontestasi demokrasi hanya melakukan pergantian orang tanpa perubahan sistem. Hanya Islam satu-satunya agama dan ideologi yang mampu mewujudkan kontestasi yang adil dan beradab sesuai dengan syariat. Satu hal yang pasti, kontestasi dalam Islam hanya ditujukan untuk kemaslahatan umat.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Dalam demokrasi, kontestasi untuk meraih kekuasaan dilakukan dengan segala cara.
Yah selamanya aturan yang datangnys bukan dari Allah akan senantiasa membawa kepada kehancuran
Betul bu. Saatnya kembali menjadikan Islam sebagai solusi ya.