“Meskipun negeri ini belum ada kasus Marburg, tetap harus menyiapkan strategi pencegahan yang tepat. Nyawa tidaklah sebanding dengan materi.”
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tiada henti virus menjadi perhatian dunia. Kali ini ada virus Marburg yang telah merenggut sembilan nyawa manusia di Benua Afrika. Bukan virus baru sebenarnya. Namun, sampai saat ini penangkalnya belum ada.
Apakah sebenarnya virus Marburg? Seperti apa gejala dan penularannya? Apakah virus ini bisa menjadi ancaman bagi dunia? Bagaimana respons pemangku kebijakan terkait masalah ini? Lalu, seperti apa Islam menangani masalah virus dan penyakit?
Perjalanan Marburg di Dunia
Satu orang telah diumumkan oleh Dinas Kesehatan Valencia, Spanyol sebagai suspek kasus virus Marburg pada Sabtu (25/2). Suspek tersebut adalah seorang pria berusia 34 tahun yang diketahui baru saja bepergian ke Guinea Ekuator. Sementara, negara itu telah mengarantina 200 orang lebih akibat kasus virus Marburg yang merebak. Pemerintah setempat melakukan pembatasan di Provinsi Kie-Ntem pada 13 Februari lalu. Di provinsi inilah ditemukan pertama kalinya kasus yang terkonfirmasi sebagai virus Marburg pada 7 Februari. Kemudian pada 14 Februari, ditemukan 24 suspek virus Marburg yang 9 di antaranya meninggal dunia. (cnnindonesia.com, 25/2/2023)
Virus Marburg bukanlah virus baru. Virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1967 di Marburg dan Frankfurt, Jerman dan Belgrade, Yugoslavia. Sebanyak 31 orang yang sedang melakukan penelitian di laboratorium Marburg terserang virus ini dan 7 di antaranya meninggal dunia. Mereka terserang virus setelah mengadakan kontak dengan kera hijau Afrika yang dibawa dari Uganda sebagai bahan penelitian. Beberapa kera tersebut menunjukkan gejala demam berdarah dan mati. Tak berapa lama, mereka yang bekerja di laboratorium tersebut juga mengalami sakit dengan gejala yang sama dan meninggal dunia.
Setelah itu, virus Marburg kemudian merambah ke Afrika Selatan pada tahun 1975. Pada tahun 1980, virus ini ditemukan di Kenya. Tujuh tahun kemudian, Kenya mendapati kembali kasus virus Marburg. Lalu, pada tahun 1998-2000, Republik Demokratik Kongo diserang wabah Marburg yang merenggut 128 nyawa. Virus ini kemudian menyerbu Angola pada tahun 2005 yang mengakibatkan 329 orang meninggal dunia. Perjalanan virus Marburg sampai di Uganda pada tahun 2007. Pada tahun berikutnya, Amerika Serikat dan Belanda mulai terpapar virus Marburg. Virus kembali ke Benua Afrika pada tahun 2012, tepatnya di Uganda. Pada tahun 2014 dan 2017, virus ini masih tetap berada di Uganda. Guyana menjadi daerah berikutnya yang terpapar virus Marburg pada tahun 2021. Kemudian pada tahun 2022 lalu, Ghana menemukan dua orang terkonfirmasi virus Marburg. (kompas.com, 21/2/2023)
Kini, virus Marburg mulai menjejakkan diri kembali di Benua Eropa. Setelah menewaskan 9 orang di Guinea Ekuator, virus ini menyebabkan seorang pria di Spanyol sebagai suspek. Bukan tidak mungkin jika virus Marburg bisa menyebar lebih jauh lagi jika tidak ada penanganan yang tepat. Virus yang awal mulanya dari hewan ke manusia (zoonosis) ini akhirnya menular dari pasien ke pasien melalui cairan tubuh.
Mengenal Virus Marburg
Penyakit virus Marburg adalah penyakit demam berdarah yang disebabkan oleh virus Marburg. Virus ini termasuk dalam famili filoviridae yang merupakan satu famili dengan virus Ebola. Virus Marburg dapat ditularkan dari hewan dan antara manusia. Meskipun termasuk jarang terjadi, tetapi penyakit Marburg cukup mematikan. Dengan tingkat kematian mencapai 88 persen, virus ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kelelawar buah jenis Rousettus aegypticus dianggap sebagai inang reservoir alamiah dari virus Marburg. Begitu pula dengan kera hijau Afrika (Cercophitecus aetiops) menjadi hewan yang membawa virus Marburg. Kera yang dibawa dari Uganda ini menjadi sumber penularan ke manusia pada kasus Marburg pertama kali di Eropa.
Potensi penularan dari hewan ke manusia bisa terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh dari hewan yang terinfeksi virus Marburg. Selain itu, virus Marburg juga dapat menyebar ke sesama manusia melalui cairan tubuh seperti air liur, tinja, keringat, bekas muntahan, urine, darah dan cairan sperma.
Virus bisa masuk melalui kulit yang terluka atau membran mukosa yang tidak terlindungi seperti hidung, mata, dan mulut. Alat-alat seperti pakaian, tempat tidur dan perlengkapannya, jarum suntik, serta alat medis yang telah terkontaminasi darah atau cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi virus Marburg dapat menjadi sarana penyebaran. Karena itulah, perawat atau orang yang dekat dengan pasien Marburg sangat rentan terinfeksi.
Gejala
Virus Marburg dapat memunculkan gejala yang tiba-tiba dan makin parah. Seperti halnya dengan Ebola, penyakit Marburg bisa menyebabkan pendarahan parah, syok, kegagalan organ, bahkan kematian. Infeksi virus ini menimbulkan gejala seperti demam, badan terasa tidak enak, sakit kepala, lesu, ruam berwarna merah yang tidak gatal pada perut, dada, dan punggung, diare berair, mual, kram, pendarahan parah, gangguan pada ginjal dan hati, trombosit yang rendah, mengalami kebingungan, kejang, dan delirium.
Masa inkubasi virus bisa bervariasi pada setiap orang. Umumnya, orang akan mengalami gejala setelah 2-21 hari terpapar virus Marburg. Begitu muncul gejala hendaklah segera ditangani karena mengabaikannya bisa berujung pada kematian. Dalam kasus yang parah, kematian paling sering terjadi antara 8 dan 9 hari setelah gejala muncul. Biasanya akan didahului dengan pendarahan yang parah dan syok.
Waspada
Hingga detik ini belum ada vaksin khusus atau pengobatan untuk virus Marburg. Upaya yang bisa dilakukan adalah perawatan untuk mengelola gejala dan mencegah terjadinya komplikasi atau kematian. Upaya perawatannya adalah dengan mengelola rasa sakit, mengisi kembali cairan dan elektrolit untuk mencegah dehidrasi, menstabilkan kadar oksigen dan tekanan darah, mengganti darah atau faktor pembekuan dalam kasus pendarahan, dan mengobati infeksi atau komplikasi sekunder.
Karena belum ada obat atau vaksinnya, maka cara paling efektif adalah dengan melindungi diri dari virus Marburg. Melakukan pencegahan menjadi satu hal yang pasti di kondisi ini. Selalu waspada dengan menjaga pola hidup sehat dan menjalankan protokol kesehatan.
Respons dan Antisipasi
Setelah adanya kasus Marburg di Afrika, WHO mengadakan pertemuan mendadak pada Selasa (14/2/2023). Rapat tersebut untuk membahas vaksin dan terapi yang perlu dilakukan. Lembaga Kesehatan Dunia ini mengirimkan ahli darurat kesehatan di bidang epidemiologi, manajemen kasus, pencegahan infeksi, laboratorium dan komunikasi risiko untuk membantu penanganan kasus Marburg. (bbcindonesia.com, 21/2/2023)
Meskipun mendapat perhatian, tetapi virus Marburg belum menjadi kedaruratan global. Indonesia sendiri hingga kini belum ditemukan kasus virus Marburg. Namun, bukan berarti kondisi aman. Apalagi sekarang aktivitas manusia sudah mulai normal dan perjalanan dibuka kembali. Kemungkinan penyebaran virus bisa meningkat seiring dengan mobilitas manusia yang tinggi.
Dilansir dari bbcindonesia.com (21/2), pemerintah Indonesia menyatakan akan memberikan perhatian lebih kepada pelaku perjalanan dari Afrika. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, dokter Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa mereka yang memiliki riwayat perjalanan diminta untuk melapor ke fasilitas kesehatan ketika masuk ke Indonesia. Jika ada gejala sakit, maka harus segera melakukan uji genom. Lebih lanjut, dokter Nadia mengeklaim bahwa penularan virus Marburg tidak secepat Covid-19 karena penularannya lewat cairan tubuh. Tidak perlu terlalu khawatir karena virus tidak menular lewat saluran pernapasan.
Itu senada dengan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, yang meminta masyarakat tidak terlalu panik meskipun virus sudah merebak di Afrika. Ia memastikan bahwa hingga saat ini virus belum masuk Indonesia. Ia menyebut bahwa tidak semua virus akan menyebar luas ke berbagai negara. Begitu halnya dengan virus Marburg yang telah membuat satu orang di Spanyol sebagai suspek. Indonesia juga masih menunggu dari WHO dan memantau perkembangan kasus ini. (cnnindonesia.com, 17/2/2023)
Bagaimanapun kondisinya, kita tidak boleh lengah. Belajar dari pandemi Covid-19 dan jangan sampai terjatuh pada masalah yang sama. Sudah semestinya kita bersiap dengan segala kemungkinan buruk. Kita juga harus segera merumuskan dan menerapkan strategi penanganan masalah penyakit secara jitu. Tidak lagi dengan mempertimbangkan dari sisi ekonomi dan materi semata, tetapi lebih melihat pada akarnya.
Kapitalisme adalah Akar Masalah
Paradigma kapitalisme sekuler menjadikan manusia berhitung untung dan rugi dalam setiap perbuatannya. Ini yang menjangkiti negara kapitalis di dunia. Negara kapitalis hanya akan mengeluarkan kebijakan yang mendatangkan materi/keuntungan. Meskipun harus mengorbankan kepentingan rakyat, hal itu akan dilakukan.
Kita mengalami sendiri bagaimana buruknya kondisi saat pandemi Covid-19 akibat kebijakan yang tidak tepat. Pertimbangan ekonomi tampak lebih dominan sehingga kesehatan masyarakat dipertaruhkan. Korban pun berjatuhan, pandemi yang berlarut-larut, dan perekonomian terdampak berat juga. Rakyat sakit, ekonomi pun lesu.
Virus Marburg yang muncul kembali dengan kekerapan yang lebih intens di berbagai belahan dunia, belum menjadi sebuah kedaruratan global. Otoritas Kesehatan Dunia belum melihatnya sebagai sesuatu yang mendesak. Pun ini yang dilakukan oleh negara-negara, termasuk Indonesia. Masih belum ada strategi khusus atau upaya antisipatif yang serius meskipun virus Marburg telah menelan korban di Afrika.
Potensi virus Marburg untuk mengancam dunia tidak boleh dipandang remeh. Kasusnya yang makin sering terjadi harus menjadi kewaspadaan yang sungguh-sungguh. Sedikit banyaknya korban, tidak menjadi penentu diambilnya tindakan. Walaupun baru satu orang yang menjadi korban, penanganan serius harus dilakukan. Meskipun negeri ini belum ada kasus Marburg, tetap harus menyiapkan strategi pencegahan yang tepat. Nyawa tidaklah sebanding dengan materi.
Butuh Islam Kaffah
Islam merupakan agama yang sempurna. Islam juga sangat peduli pada kesehatan. Berkaitan dengan virus dan penyakit, Islam memiliki pandangan tersendiri. Yaitu:
Pertama, Islam memandang bahwa virus dan penyakit apa pun merupakan ketentuan dari Allah. Kepada siapa, kapan, dan di mana penyakit akan diturunkan adalah hak Allah. Sebagai hamba beriman harus menyadari dan menerimanya dengan ikhlas dan sabar. Maka, langkah selanjutnya adalah upaya pengobatan dan perawatan. Kita meyakini bahwa setiap penyakit pasti ada penawarnya, sebagaimana sabda Rasulullah: “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari)
Kedua, Islam melihat bahwa kesehatan merupakan hal yang mendesak. Ketika ada gangguan atau masalah terkait kesehatan, maka harus segera dicari solusinya. Tidak perlu menunggu jatuh banyak korban, baru melakukan tindakan. Bahkan, Islam mengajarkan untuk selalu menjaga dari segala kemungkinan buruk. Upaya pencegahan dari ancaman berbagai macam penyakit senantiasa digalakkan.
Ketiga, penting untuk mencegah penyakit menular agar tak meluas. Adapun upaya pencegahan dari paparan virus Marburg bisa dilakukan dengan:
• Mengurangi atau tidak melakukan kontak sama sekali dengan kelelawar reservor virus. Jika harus melakukannya, maka pastikan memakai alat pelindung diri seperti sarung tangan dan masker.
• Mengonsumsi daging secara matang.
• Tidak melakukan kontak fisik yang dekat dengan pasien Marburg.
• Mencuci tangan secara rutin, terutama setelah mengunjungi atau melakukan penanganan terhadap orang yang sakit.
• Menunda perjalanan ke wilayah yang sedang ada kasus virus Marburg atau yang berisiko.
Terkait dengan penyakit menular, Islam memiliki contoh penanganannya dari Rasulullah. Ketika suatu wabah menyerang, maka harus dilakukan karantina bagi orang yang sakit. Mereka yang sehat dilarang masuk ke daerah wabah. Ini mutlak dilakukan supaya wabah tidak meluas.
Negara yang menerapkan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan melakukan lockdown. Dengan kebijakan karantina ini, mereka yang sakit akan dirawat dengan baik dan dicukupi semua kebutuhannya. Negara yang akan menanggung seluruh pembiayaan selama karantina berlangsung.
Keempat, negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas. Terdapat tenaga kesehatan dengan jumlah yang cukup untuk bisa melayani masyarakat. Mereka profesional dan sigap. Tenaga kesehatan ini juga terjamin setiap kebutuhannya, termasuk keamanan saat menangani kasus penyakit menular.
Kelima, negara akan melakukan penelitian terkait virus dan penyakit menular untuk bisa mendapatkan penangkalnya. Negara akan mengerahkan seluruh ahli yang berkompeten di bidangnya guna menemukan solusi atas masalah yang dihadapi. Negara membiayai segala yang diperlukan dalam riset tersebut sampai menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat dan dunia kesehatan secara umum.
Hal ini tentu memerlukan sokongan dana yang besar. Dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai syariat, maka hasilnya akan menjadi sumber pembiayaan untuk mendanai penelitian. Jika masih kurang, negara bisa mengambil dana dari pos kekayaan negara berupa jizyah, kharaj, fai, ganimah, dsb.
Semua itu hanya bisa dilakukan oleh Daulah Khilafah sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara di bawah komando khalifah akan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Khalifah bekerja untuk memastikan rakyatnya dalam keadaan aman, selamat, sehat, dan sejahtera lahir dan batin. Sebab, seorang khalifah adalah pelayan bagi rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah: “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Seperti apa pun kondisi dan ancaman yang mengadang, rakyat akan tenang karena memiliki negara melindungi mereka. Daulah Khilafah sebagai negara ri’ayah akan menjalankan tugasnya dengan semaksimal mungkin dalam mengurusi semua keperluan rakyatnya. Tugas ini merupakan amanah yang diemban dan kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt. Jadi, negara tidak akan pernah main-main atau mempertaruhkan keselamatan rakyat demi keuntungan dan materi sesaat. Setiap kebijakan negara adalah untuk kemaslahatan rakyat sebagaimana yang dimandatkan oleh syariat.
Wallahu a’lam bishshawwab