”Pelan tetapi pasti, Cina memastikan dirinya sebagai ‘pemain' yang semakin signifikan di Timur Tengah.“
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Iran dan Arab Saudi akhirnya sepakat rujuk kembali. Mereka menormalisasi hubungan yang telah terputus selama tujuh tahun terakhir, yakni sejak 2016. Kesepakatan dicapai di Beijing setelah serangkaian perundingan damai yang dimediasi Cina. Perundingan tersebut dihadiri oleh Menteri Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani, Penasihat Keamanan Nasional Arab Saudi Musaad bin Muhammed al-Aiban, serta Direktur Komisi Urusan Luar Negeri Komite Pusat Partai Komunis Cina Wang Yi.
Setelah pembicaraan damai disepakati, kedua negara pun setuju untuk melanjutkan hubungan diplomatik dan membuka kedutaan besar dalam waktu dua bulan. Lantas, apa sejatinya penyebab ketegangan Saudi dan Iran? Benarkah Cina tidak memiliki kepentingan di tengah mediasi yang dilakukannya?
Konflik Panjang Saudi-Iran
Iran dan Arab Saudi telah berkonflik selama puluhan tahun. Mereka sejatinya adalah negara tetangga yang terlibat persaingan ketat untuk mendapatkan dominasi di wilayah Timur Tengah. Perseteruan yang terjadi selama puluhan tahun tersebut semakin diperparah dengan perbedaan agama yang mereka anut. Sebagian besar penduduk Iran adalah muslim Syiah, sedangkan Arab Saudi menganggap dirinya merupakan kekuatan muslim Suni terkemuka.
Dalam 15 tahun terakhir, Iran dan Arab Saudi semakin menunjukkan perbedaan. Perbedaan tersebut dipertajam oleh beberapa rentetan kejadian. Di antaranya pada 2003, yakni terjadinya invasi pimpinan Amerika Serikat di Irak untuk menggulingkan Saddam Hussein (seorang Arab Suni yang pernah menjadi musuh utama Iran). Invasi tersebut sekaligus menyingkirkan hambatan militer untuk memudahkan masuknya pengaruh Iran di Irak, yang saat itu semakin menunjukkan peningkatan.
Sejatinya Iran dan Arab Saudi tidaklah berperang secara langsung, tetapi lebih tepat dikatakan terlibat dalam berbagai “perang proksi” di berbagai kawasan Timur Tengah. Perang proksi memang menjadi ajang untuk mengimbangi kekuatan antara Iran dan Arab Saudi. Perang saudara di Suriah adalah salah satu contoh nyata dari perebutan pengaruh kedua negara tersebut. Perang tersebut tidak hanya melibatkan kekuatan internal Suriah, tetapi kekuatan besar yang ada di Timur Tengah yakni Arab Saudi dan Iran. Diketahui, Iran memberi dukungan terhadap pemerintah Bashar Al Assad, sedangkan Arab Saudi menyatakan dukungan terhadap apa yang mereka sebut sebagai tentara pemberontak.
Pada 2016, kedua negara teluk tersebut akhirnya memutuskan hubungan, yaitu ketika Arab Saudi mengeksekusi seorang cendekiawan muslim Syiah terkemuka. Eksekusi tersebut telah memicu gelombang protes di Iran dan mengakibatkan para pengunjuk rasa menyerang kedutaan Arab Saudi di Teheran. Pada 2021, pembicaraan damai sebenarnya telah dimulai antara kedua pejabat di Irak dan Oman, tetapi tidak menghasilkan kesepakatan. Kini, mereka bersepakat merajut kembali hubungan yang telah lama terputus di bawah mediasi Cina.
Tanpa Motif?
Berperan sebagai “pahlawan” yang mencairkan ketegangan antara Saudi dan Iran, menjadi keuntungan tersendiri bagi Cina. Namun, Cina mengaku tidak memiliki kepentingan alias motif tersembunyi dan tidak berupaya mengisi nyawa apa pun di Timur Tengah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Kementerian Luar Negeri Cina melalui juru bicaranya pada 11 Maret 2023. (Republika.co.id, 12/03/2023)
Cina menyebut akan terus mendukung negara-negara Timur Tengah dalam menyelesaikan perbedaan melalui dialog dan konsultasi. Komitmen Cina tersebut bahkan dinilai sebagai upaya mempromosikan perdamaian dan stabilitas yang abadi bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah. Diplomat Cina, Wang Yi, menyebut bahwa keberhasilan mediasi tersebut menunjukkan bahwa Cina adalah mediator yang andal. Namun, di balik perannya sebagai mediator, benarkah Cina tidak memiliki motif tersembunyi apa pun?
Diketahui, saat ini Cina telah menjelma menjadi kekuatan baru yang tengah berusaha menggeser dominasi AS di Timur Tengah. Jika ditelisik lebih dalam, mustahil rasanya negara kapitalis yang berhasrat menjadi raja ekonomi dunia tersebut, secara ikhlas menjadi mediator tanpa embel-embel apa pun. Seperti sebuah bisnis yang menjanjikan, Cina sejatinya tengah memperdalam cengkeramannya di kawasan Timur Tengah.
Hal ini bukan tanpa alasan. Siapa pun tahu bahwa tidak ada satu negara kapitalis pun yang bebas dari kepentingan, terlebih atas negeri-negeri muslim yang kaya akan sumber daya alam. Pun demikian dengan Cina. Cina memang berusaha menawarkan format hubungan dengan kesejajaran dan independensi tanpa tekanan dalam hubungan luar negerinya. Pola tersebut memang jauh dari apa yang diterapkan AS. Namun perlu diingat, apa pun dalih yang dikemukakan Cina, sesungguhnya hal itu hanyalah perbedaan taktik, tetapi memiliki tujuan yang sama yakni menancapkan dominasinya atas Timur Tengah.
Waspadai Grand Design Cina
Pelan tetapi pasti, Cina memastikan dirinya sebagai “pemain” yang semakin signifikan di Timur Tengah. Beberapa kepentingan Cina atas Timur Tengah di balik normalisasi Iran-Arab Saudi. Pertama, sepak terjang Cina semakin aktif di Timur Tengah. Kini, Cina memproyeksikan diri sebagai pemain global dengan segala spektrum hubungan internasional, termasuk ketika menawarkan solusi konflik dalam semua kawasan.
Kedua, Cina tentu memiliki kepentingan besar di kawasan yang stabilitas (status quo) tidak merusak kepentingan nasional, terutama kepentingan ekonominya dan lebih spesifik adalah menjaga keamanan energi mereka.
Ketiga, normalisasi Arab Saudi dan Iran menjadi keuntungan tersendiri bagi Cina. Pasalnya, hubungan tanpa perseteruan tersebut (meski tetap bersaing baik di Timur Tengah maupun di panggung dunia Islam) membuat risiko konfrontasi dan perang dapat diminimalisasi. Keuntungan lebih lanjut adalah terjaminnya pasokan energi untuk Cina dari kawasan Timur Tengah.
Kawasan Timur Tengah memang menjadi amat penting bagi Cina. Pasalnya, mesin-mesin industri Cina yang terus menggurita semakin haus energi. Saat ini saja sekitar 40 persen kebutuhan minyak impor Cina dipasok dari Timur Tengah, terutama Arab Saudi dengan jumlah pasokan sebanyak 1,75 juta barel per hari.
Jika Cina mampu meredam titik-titik konflik yang terjadi di Timur tengah, secara otomatis hal itu akan membantu terwujudnya pembangunan lintas batas yang digagas Cina, termasuk Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). Karena itu, rujuknya Arab Saudi dan Iran akan memuluskan jalur lalu lintas energi dari Xinjiang ke Timur Tengah melalui Afganistan, Irak, Saudi, hingga produsen energi lainnya seperti Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait.
Namun perlu diingat, tidak ada diplomasi efektif dan kuat yang hanya dicapai melalui meja perundingan. Demikian pula dengan keberhasilan Cina membuat rujuk Saudi-Iran. Dibutuhkan instrumen pendukung untuk menjaga kepentingan nasional Cina tetap aman. Komponen pendukung tersebut adalah angkatan perang yang kuat.
Karena itu, Cina telah menaikkan anggaran pertahanannya sebanyak 7,2 persen menjadi 1,55 triliun yuan atau setara Rp3.489 triliun. Selain anggaran pertahanan, Cina juga menaikkan anggaran diplomasinya sebesar 12,2 persen menjadi 54,84 miliar yuan (Rp123 triliun). Meskipun Cina menolak anggapan bahwa kenaikan anggaran tersebut digunakan untuk menekan negara lain termasuk Timur Tengah, tetapi sejatinya hal itulah yang sedang dilakukan Cina untuk Arab Saudi dan Iran.
Demikianlah cengkeraman yang tengah dilakukan Cina khususnya, dan pengemban ideologi kapitalisme umumnya (seperti Amerika Serikat) atas negeri-negeri muslim. Ya, dunia Islam saat ini masih menjadi objek, sasaran, dan tempat bagi aktor-aktor global, baik kapitalisme maupun komunisme (dahulu) untuk menancapkan pengaruhnya. Dunia Islam diobok-obok tanpa mampu melawan. Barat ingin negeri-negeri muslim menjadi pengikut ideologi mereka tanpa mampu menolak apalagi melawan.
Pandangan Islam
Pendudukan dan cengkeraman kapitalisme atas negeri-negeri muslim telah mengakar kuat hingga kini. Ditambah lagi dengan lahirnya para penguasa ruwaibidhah yang bertanggung jawab dengan urusan negeri kaum muslim, tetapi tetap setia dan condong pada Barat. Mereka bergandengan tangan dengan mesra bahkan bekerja sama demi memuluskan kepentingan negara-negara penjajah.
Padahal, Rasulullah saw. Telah memperingatkan tentang bahayanya pemimpin ruwaibidhah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah r.a. Ia berkata, “Sungguh akan datang kepada orang-orang tahun-tahun penuh tipuan, orang yang berbohong dibenarkan dan sebaliknya orang yang jujur justru dinilai bohong, orang yang khianat dipercaya dan sebaliknya orang yang amanah justru dicap khianat, di situ ruwaibidhah berkata.” Dikatakan, “Apa ruwaibidhah itu?” Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan masyarakat.”
Sejatinya cengkeraman kapitalisme dilakukan untuk mengebiri Islam agar tidak menjadi penghalang bagi ideologi yang diemban Barat dan antek-anteknya. Untuk menghentikan dominasi kapitalisme atas negeri-negeri muslim, tidak ada cara lain kecuali dengan kekuatan ideologi lainnya yakni Islam.
Sebagai sebuah ideologi, Islam sejatinya mampu mengakhiri dominasi kapitalisme atas negeri-negeri muslim. Potensi Islam sebagai kekuatan adidaya tercermin dalam peradaban Islam selama belasan abad silam. Di bawah naungan Khilafah, negeri-negeri Islam tidak akan menjadi objek santapan negara-negara kapitalis Barat dan Timur. Di bawah naungan Khilafah pula, sekat rapuh bernama nasionalisme yang menyebabkan terpecahnya persatuan umat muslim akan dilenyapkan.
Khatimah
Kerja sama apa pun yang dilakukan negara-negara kafir atas negeri kaum muslim sejatinya hanya untuk melanggengkan eksistensi mereka di dunia Islam. Karena itu, jika melihat peta perpolitikan global yang masih didominasi oleh ideologi kapitalisme, maka tegaknya Khilafah menjadi sebuah keniscayaan. Di bawah naungan Khilafah, segala bentuk imperialisme yang berkedok perjanjian kerja sama akan enyahkan. Karena itu dibutuhkan upaya serius dari seluruh kaum muslim untuk mewujudkannya. Wallahu a’lam.[]