”Peracunan massal yang dilakukan kepada para siswi sejak tiga bulan ini, meski belum terungkap dalangnya, tetapi fakta-fakta yang ada mengarah pada adanya konspirasi membungkam Islam dan melemahkan stabilitas politik Iran.”
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Iran kembali dihantam gelombang protes. Pada hari Sabtu, 4 Maret 2023, para orang tua yang khawatir akan keselamatan anak-anaknya berunjuk rasa di jalan-jalan Teheran, ibu kota Iran. Aksi protes dipicu oleh keracunan gas masal yang dialami ratusan siswi. Dikutip dari sindonews.com (05-03-2023), terbukti sekitar 650 pelajar putri yang diracuni. Tidak ada korban jiwa dalam kasus ini. Hanya saja, puluhan siswi dilarikan ke rumah sakit sebab mengalami mual, pusing, kelelahan, dan gangguan pernapasan.
Kasus peracunan berawal di sebuah sekolah putri di Qom, kota suci bagi Republik Islam Iran, pada tanggal 30 November 2022. Saat itu terdapat 18 korban yang dibawa ke rumah sakit. Hari-hari berikutnya bagai mimpi buruk bagi seluruh siswi dan orang tua. Kasus siswi keracunan gas terus terjadi. Puncaknya pada Sabtu 4 Maret lalu, terdapat 30 sekolah di 10 provinsi yang siswanya keracunan. (mediaindonesia.com, 05-03-1023)
Serangan peracunan terhadap ratusan siswi di sekolah putri di Iran jelas mengkhawatirkan dan harus dicari penyelesaiannya.
Menguak Motif Tersembunyi
Kasus peracunan ini telah berlangsung selama tiga bulan. Akan tetapi selama 3 bulan itu, berbagai pihak ramai-ramai menyangkal dengan menyebutnya sebagai serangan panik dan gejalanya ringan. Respons lambat pemerintah membuat berbagai spekulasi berkembang liar di tengah-tengah publik.
Spekulasi pertama, serangan datang dari kelompok Islam garis keras yang menginginkan kaum perempuan tidak perlu bersekolah seperti di Afganistan. Sekolah-sekolah perempuan ditutup. Dikutip dari CNNIndonesia.com (01-03-2023), pernyataan ini sempat diutarakan juga oleh Younes Panahi, wakil menteri kesehatan, tetapi tidak lama kemudian dia menarik pendapatnya dengan alasan salah kutip.
Spekulasi kedua, serangan datang dari kelompok antipemerintah. Serangan pada siswi-siswi ini dianggap sebagai balas dendam terhadap aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi September tahun lalu. Aksi unjuk rasa itu menuntut kematian Mahsa Amini yang “disiksa" oleh aparat.
Mahsa Amini pada tanggal 13 September 2022 memasuki Teheran dengan kerudung tidak sempurna. Dianggap melanggar aturan, ia pun ditangkap. Tidak lama berselang dari waktu penangkapannya, ia dilarikan ke rumah sakit sudah dalam keadaan koma. Tiga hari kemudian Mahsa Amini meregang nyawa. Dugaan korban disiksa sebelum koma menguat, tetapi polisi menolak tuduhan dan mengatakan Amini mengalami serangan jantung.
Kematiannya yang tragis memicu gelombang demonstrasi berhari-hari di Iran. Tercatat ratusan demonstran ditangkap dan puluhan nyawa melayang. Gambar dan video ratusan siswi yang berunjuk rasa membuka kerudung bahkan membakarnya tersebar ke seluruh jagat maya. Para aktivis HAM dan pegiat gender di Eropa hingga Amerika Serikat pun turut melakukan aksi solidaritas dan menuntut kebebasan berekspresi perempuan Iran. Enam bulan berlalu, yel-yel “Perempuan, Hidup, dan Kebebasan” terus menggema di seluruh Iran sampai kini.
Spekulasi keterkaitan antara peracunan ratusan siswi di sekolah perempuan dengan kematian Mahsa Amini ini juga diyakini oleh juru bicara Iranian Teachers Trade Association, Muhammad Habibi. Menurut Habibi, peracunan itu terkait dengan aksi protes kematian Mahsa Amini di bawah gerakan "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan". Gerakan ini ditandai dengan luapan kemarahan gadis-gadis Iran atas berbagai isu mulai dari kebebasan berperilaku yang dibatasi hingga keadaan ekonomi yang melumpuhkan. (CNN.com, 02-03-2023)
Sedangkan Presiden Iran Ebrahim Raisi dalam pidato resminya menuduh serangan itu dilakukan oleh musuh Iran. Disebutnya peristiwa ini sebagai proyek untuk menghancurkan stabilitas politik Republik Islam Iran. Raisi tidak secara definitif menyebut salah satu negara. Sedangkan di tempat lain, seorang pejabat senior menyampaikan keberadaan sebuah kapal tanker yang bersandar di sebelah sekolah di pinggiran Teheran. Kapal itu juga terlihat di dua kota lainnya. Indikasi keterlibatan kapal tanker ini sangat kuat. (jurnas.com, 03-03-2023)
Peracunan massal yang dilakukan kepada para siswi sejak tiga bulan ini, meski belum terungkap dalangnya, tetapi fakta-fakta yang ada mengarah pada adanya konspirasi membungkam Islam dan melemahkan stabilitas politik Iran.
Permusuhan Abadi Islam Versus Sekularisme
Demonstrasi atas kematian Mahsa Amini yang berujung tuntutan dicabutnya UU kewajiban menutup aurat, kemudian disusul serangan peracunan massal ratusan siswi di puluhan sekolah, menunjukkan sedikitnya dua hal.
Pertama, stabilitas politik Republik Islam Iran sedang tidak baik-baik saja. Iran yang merupakan negara teokrasi presidensial parlementer sedang menghadapi ancaman eksistensi dari kelompok antipemerintah yang menginginkan sekularisasi Iran. Aksi protes besar-besaran yang terjadi merupakan perjuangan atas hak asasi manusia (HAM). Bagi pengusungnya, negara tidak boleh turut campur mengatur cara berpakaian bahkan berperilaku warga negaranya. Negara juga tidak boleh menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya individual ini. Keterlibatan agama dalam ranah privat warganya dianggap sebagai sebuah kemunduran peradaban dan bertentangan dengan prinsip-prinsip modernitas.
Kedua, fakta unjuk rasa besar-besaran sampai peracunan massal membuktikan bahwa yang terjadi bukan sekadar tindakan kriminal biasa, tetapi penuh rekayasa. Ada strategi besar yang coba mengembalikan Iran seperti pada masa-masa kepemimpinan Reza Pahlevi. Saat itu, kaum wanita justru dilarang berhijab. Sebaliknya, kebebasan berekspresi semakin diserukan. Iran betul-betul melepas identitasnya sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim.
Kondisi Iran kala itu mengundang kemarahan para ulama sampai akhirnya meletus revolusi Iran pada tahun 1979. Iran yang sebelumnya berupa pemerintahan monarki berubah menjadi Republik Islam Iran dengan pemimpin pertama Ayatullah Rahullah Khomeini. Pemerintahan baru ini pun mulai mengadopsi lagi sebagian kecil hukum Islam, sedangkan sebagian besar lainnya menjalankan hukum positif. Salah satu syariat yang diambil adalah kewajiban menutup aurat bagi perempuan saat keluar rumah kecuali wajah dan telapak tangannya.
Kaum perempuan Iran menganggap aturan berhijab sebagai kekangan, bukan lagi perintah agama yang harus ditunaikan. Walaupun pada hakikatnya menolak, tetapi tidak berkutik karena takut akan sanksi hukum. Akhirnya, ibarat balon yang terus-menerus ditambah angin, tekanan yang diterima bertahun-tahun sampai pada puncaknya dan meletus setelah kematian Mahsa Amini. Ironis memang. Meskipun Muslim, landasan berpikir dan bersikapnya bukan lagi Islam, tetapi hak asasi manusia.
Ide HAM yang berpijak pada sekularisme ini mengalir bersama kolonialisme ke negeri-negeri muslim. Gagasan memisahkan urusan agama dengan kehidupan pun diaruskan ke berbagai sisi kehidupan terutama politik, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan. Ketika itu, negeri-negeri muslim menghadapi proses ambivalensi antara menerima ide sekularisme ataukah menolaknya. Akan tetapi, cengkeraman erat para imperialis, kelihaian para kaki tangannya, dan ketiadaan Khilafah membuat para pemimpin negeri muslim bertekuk lutut menerima.
Sebaliknya, bila ada negara yang preferensinya Islam maka dunia ramai-ramai memusuhi dan mengawasi terus-menerus, seperti terjadi di Iran. Setiap ada peristiwa yang bisa jadi celah untuk menghantam stabilitas politiknya, dipastikan akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Media asing akan membingkainya menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi, lalu memberi stigma negatif pada Islam sebagai agama yang mengekang kebebasan individu dan mengajarkan terorisme.
Demikianlah. Sejatinya, perseteruan antara sekularisme dan Islam telah berlangsung lama dan akan abadi. Allah Swt. telah mengabarkan di dalam Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat ke-56 sebagai sebuah ketetapan.
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِيْنَ اِلَّا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَۚ وَيُجَادِلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوْا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَمَآ اُنْذِرُوْا هُزُوًا –
“Dan tidaklah Allah mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi nasihat. Namun, orang-orang kafir membantahnya dengan cara yang batil agar mereka dapat melenyapkan kebenaran (hak), dan mereka telah menjadikan ayat-ayat-Ku (Allah) dan apa yang diperingatkan kepada mereka sebagai (bahan) cemoohan.”
Solusi Islam dalam Mengatasi Dinamika Sosial Politik di Iran
Republik Islam Iran hanya satu contoh negara yang mengambil sedikit dari syariat Islam, tetapi oleh Barat dinisbahkan sebagai model pemerintahan Islam secara utuh. Sistem pemerintahan Iran adalah teokrasi presidensial parlementer. Sistem ini hasil adaptasi dari berbagai macam sistem pemerintahan yang tidak ada dasarnya di dunia, apalagi dalam Islam. Dengan sistem pemerintahan yang belum teruji keandalannya, penguasa Iran berlaku otoriter demi keberlangsungan pemerintahannya. Bila Iran terus seperti ini, sudah dapat dipastikan kondisi dalam negerinya tidak akan pernah aman, tenteram, damai, dan sentosa. Hanya soal waktu saja rezim yang berkuasa sekarang digantikan oleh yang lain.
Satu-satunya jalan keluar yang sahih bagi Iran adalah mengganti sistem pemerintahannya dengan Khilafah Islamiah sebagaimana minhaj kenabian. Khilafah adalah sistem pemerintahan berasaskan Islam. Seluruh aturannya dijalankan berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Khilafah telah teruji keandalannya selama 13 abad. Dunia sejahtera di bawah kepemimpinan Khilafah dan rakyatnya pun selamat sampai akhirat.
Khalifah akan berusaha menciptakan atmosfer yang penuh keimanan di seluruh pelosok Khilafah. Khalifah akan mengirim dai-dai terbaik agar seluruh warga Khilafah paham Islam dan terikat dengan syariatnya secara sukarela. Khalifah akan memastikan tidak ada satu orang pun yang komplain karena hakikatnya setiap kebijakan adalah syariat. Sedangkan mematuhi syariat adalah konsekuensi akidah Islam. Oleh karena itu, khalifah juga akan senantiasa mengadakan pembinaan akidah. Akidah harus didapat dari jalan berpikir yang benar tentang keberadaan Allah sebagai Maha Pencipta dan Allah sebagai Maha Pengatur, bukan sebagai doktrin agama.
Inilah mekanisme penjagaan Khilafah atas akidah. Ini pula tata cara Khilafah memelihara seluruh urusan warganya termasuk perempuan. Di dalam Islam, posisi perempuan demikian mulia dan terhormat. Allah Swt. telah mewajibkan perempuan berjilbab, berkerudung, dan tidak berhias berlebih-lebihan ketika berada di kehidupan umum. Islam tidak membatasi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, membolehkan berkiprah di ranah publik tanpa harus menanggalkan peran mulianya sebagai ibu. Sebaliknya, kaum perempuan di dalam Khilafah benar-benar merasa terlindungi dan diayomi. Harkat dan martabatnya ditinggikan.
Jalan perubahan ini bukan hanya bagi Iran saja. Jalan yang sama pula harus ditempuh oleh seluruh negeri-negeri muslim sebab hingga saat ini Khilafah belum tegak. Barat yang dimotori oleh Amerika masih mengendalikan percaturan politik dunia, mengacak-acak akidah umat Islam, dan menyebabkan kesengsaraan.
Khatimah
Di sepanjang waktu, Barat menjaminkan seluruh upayanya demi kehancuran Islam hingga ke akar-akarnya. Berbagai makar dilakukan demi memperdaya umat Islam. Bila umat Islam ingin keluar dari situasi ini maka langkah awalnya adalah dengan membangun akidah yang produktif. Bila akidahnya telah benar maka pemikirannya untuk menjalankan Islam secara kaffah akan bangkit. Terpaan isu HAM, kesetaraan gender, sampai islamofobia akan tergerus dengan sendirinya sebab akidah menjadi bentengnya. Bila kesadaraan berislam kaffah ini menjadi pemahaman umum, niscaya tegaknya lagi Khilafah akan disegerakan. []
Itulah pentingnya penerapan Islam secara kaffah karena satu-satunya jalan keluar yang sahih bagi Iran adalah mengganti sistem pemerintahannya dengan Khilafah Islamiah sebagaimana minhaj kenabian.