"Inilah potret negara yang menyandarkan kehidupan masyarakatnya kepada sistem kapitalisme. Paham liberal sebagai pilar kehidupan telah memberikan kebebasan untuk berbuat semaunya. Begitujuga dalam hal mewujudkan perlindungan atas hak perempuan. Kapitalisme tidak memiliki pandangan yang sahih untuk masalah ini. Maka dari itu, sangat tidak mungkin perlindungan hak-hak perempuan akan terealisasi di Korea Selatan."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pilihan masyarakat Korea Selatan telah jatuh pada Yoon Suk-yeol sebagai presiden terpilih lima tahun ke depan. Yoon Suk-yeol adalah sosok yang dikenal sebagai seorang politisi konservatif yang antifeminis. Selama ini, Yoon dikenal sebagai jaksa agung yang dinilai memiliki integritas tinggi di bidang hukum. Dengan terpilihnya Yoon sebagai presiden, mungkinkah akan mampu menyajikan warna baru bagi pemerintahan Korea Selatan?
Perspektif Yoon Suk-yoel
Pengamat politik meyakini, terpilihnya Yoon akan membawa dinamika baru dalam hubungan diplomasi internasional. Dalam pidatonya Yoon berjanji akan bersikap tegas terhadap Korea Utara. Kemudian, Yoon juga berjanji akan memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat dan Jepang, demi menangkal ancaman Cina dan Korea Utara.
Dalam masa jabatannya nanti, Yoon akan menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Dia menilai kementerian yang dibentuk pada tahun 2001 adalah untuk menetapkan kebijakan terkait gender dan mendukung korban kekerasan dalam rumah tangga dan seksual. Yoon mengatakan bahwa kementerian tersebut telah memosisikan pria seperti "calon penjahat".
Yoon mengakui bahwa kesenjangan gender hanya bisa direalisasikan jika pria dan wanita tidak dibedakan lagi berdasarkan jenis kelaminnya. Faktor inilah yang menjadikan Yoon mendapatkan dukungan besar dari kalangan kaum muda Korea Selatan. Dalam kesempatan yang sama, Yoon juga berjanji akan memberikan hukuman yang lebih berat bagi siapa saja yang berani membuat klaim palsu tentang kekerasan seksual dan menyangkal bahwa sistem politik dan sosial yang akan dijalankan hanya menguntungkan pria secara tidak adil. Pengambilan keputusan ini justru bertujuan melindungi hak laki-laki dan perempuan.
Hal ini dibenarkan oleh Presiden Solidaritas Politik Perempuan Korea yang berbasis di Seoul kepada Vice World News, Kwon Soo-hyun menyampaikan, Yoon tidak mampu memahami masalah ini, Kwon menilai kampanye yang dilakukan Yoon menyangkal adanya kekerasan dan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa Yoon akan bekerja untuk mempromosikan kesetaraan gender.
Kehidupan Kaum Perempun di Korea Selatan
Berdirinya Kementrian Kesetaraan Gender dan Keluarga pada tahun 2001 di Korea Selatan atas dasar adanya ketimpangan dalam berbagai bidang antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam hal kesempatan mendapatkan pendidikan, peran dalam aktivitas politik, ekonomi, gaji perempuan yang selalu diposisikan lebih rendah daripada laki-laki, serta maraknya kasus kekerasan seksual yang seringkali menjadikan perempuan sebagai korban sehingga mereka membutuhkan perlindungan secara khusus.
Namun faktanya, adanya kementrian ini tidak lantas mengakomodasi perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Karena feminisme menjadi hal yang baru bagi masyarakat Korea yang masih konservatif dan masih menjunjung tinggi kaum laki-laki. Di Korea Selatan, perempuan masih dianggap nomor dua di lingkungan kerja maupun keluarga. Adanya kementrian ini, justru dinilai memberikan stigma negatif pada kaum laki-laki, maka perlu dihapuskan.
Di sisi lain, merebaknya feminisme juga memberikan permasalahan baru bagi Korea Selatan. Hal ini menjadikan kaum perempuan tidak tertarik untuk menikah dan lebih berfokus untuk mengejar karier. Akibatnya, Korea Selatan mengalami krisis generasi masa depan. Belum lagi akibat tingginya kasus aborsi dengan dalih belum siap berperan sebagai orang tua.
Blundernya penanganan masalah hak-hak perempuan di Korea Selatan tidak bisa dilepaskan atas asas kehidupan yang mereka ambil. Ada beberapa fakta yang perlu diperhatikan mengapa kekekerasan seksual begitu marak terjadi di Korea Selatan. Yaitu pertama, kebebasan dalam mengakses informasi, situs-situs porno, serta konten-konten yang bisa mengarahkan pada bangkitnya hasrat seksual. Bahkan di Korea Selatan terdapat museum seks yang siapa pun bebas akses ke museum tersebut.
Kedua, negara melegalkan hubungan seks di luar nikah dan ini merupakan hal yang lumrah terjadi di Korea Selatan.
Ketiga, Korea Selatan menentukan adanya batas minimal remaja diizinkan untuk melakukan hubungan badan, awalnya usia 13 tahun, namun kemudian direvisi menjadi 16 tahun untuk menekan kasus kekerasan seksual pada anak.
Inilah bagian kecil cerminan kehidupan di Korea Selatan. Maka, tak ayal jika kasus kekerasan seksual terus meningkat. Karena sejatinya negara pun punya andil dalam memfasilitasi. Inilah potret negara yang menyandarkan kehidupan masyarakatnya kepada sistem kapitalisme. Paham liberal sebagai pilar kehidupan telah memberikan kebebasan untuk berbuat semaunya. Begitujuga dalam hal mewujudkan perlindungan atas hak perempuan. Kapitalisme tidak memiliki pandangan yang sahih untuk masalah ini. Maka dari itu, sangat tidak mungkin perlindungan hak-hak perempuan akan terealisasi di Korea Selatan.
Merupakan hal lumrah jika Korea Selatan tidak mengambil Islam sebagai solusi kehidupan. Karena memang mereka bukan negeri yang dihuni mayoritas umat muslim. Tapi tidak menutup kemungkinan jika nantinya Korea Selatan mau hidup di bawah naungan daulah Islam. Namun, sejatinya inilah bukti bagaimana mudahnya kapitalisme dengan paham sekuler dan leberalismenya merusak tatanan kehidupan masyarakat yang jauh dari pemahaman Islam.
Khilafah Melindungi Hak Perempuan
Islam memandang sampai kapan pun perjuangan kesetaraan gender oleh kaum feminis tidak akan pernah mampu mewujudkan hak-hak kaum perempuan. Di sisi lain, menghapusan Kementrian Kesetaraan Gender dan Keluarga di Korea Selatan hanyalah sebagai upaya penyelamatan kaum laki-laki yang merasa tertuduh sebagai "penjahat" atas kekerasan seksual pada kaum perempuan. Padahal realisasianya justru sangat jauh dari upaya mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Sedangkan penerapan aturan Islam dalam bingkai Khilafah, memiliki pandangan yang khas terkait bagaimana melindung hak kaum perempuan. Laki-laki dan perempuan sengaja Allah ciptakan dengan fitrah yang berbeda. Hanya Allah yang tahu berkaitan dengan segala potensi ciptaan-Nya. Maka, sudah selayaknya kita mengambil aturan Islam sebagai sandaran kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Mulk ayat 14 : "Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui. ”
Allah ciptakan perbedaan ini bukan untuk menunjukkan siapa yang kuat dan siapa yang lemah, namun agar masing-masing bisa optimal dalam menjalankan perannya. Ajaran Islam tidak pernah memandang perempuan hanya berharga jika mampu menghasilkan materi. Sebagaimana kapitalisme memandang perempuan saat ini. Islam memiliki cara sendiri memuliakan perempuan melalui perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dari rahimnyalah nantinya akan lahir generasi-generasi berkualitas yang akan tumbuh menjadi menerus masa depan bangsa.
Berasaskan aturan Islam dan hak-hak syar’i yang berkaitan dengan mu'amalah, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan, sanksi peradilan dan aktivitas lain seperti membuat kontrak, menunjuk perwakilan, menuntut ganti rugi atas pelanggaran haknya adalah sama untuk laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, perempuan diperbolehkan bekerja di sektor perdagangan, pertanian, industri, obat-obatan, dan semua sektor lain seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Kemudian perempuan dapat menjadi majikan, direktur perusahaan, jurnalis, pegawai negeri atau profesi lain seperti yang dilakukan laki-laki. Di bawah naungan pemerintahan Islam, perempuan pun dapat bergabung dengan partai politik, menyampaikan aspirasinya, berpartisipasi dalam pemilihan Khalifah dan menjadi anggota majelis umat yang memberikan masukan dan mengoreksi penguasa. Perempuan juga boleh memiliki properti, menginvestasikan kekayaanya, dan terlibat dalam semua urusan kehidupan publik seperti yang dilakukan oleh laki-laki.
Oleh karena itu, di dalam Khilafah tidak akan pernah ada diskriminasi berdasarkan gender dalam hak-hak politik, ekonomi, pendidikan dan hak-hak hukum kewarganegaraan. Dan yang terpenting hak-hak tersebut secara mutlak hanya bisa terealisasi dengan adanya penerapan peraturan Allah ta'ala secara kaffah. Tidak seperti di bawah sistem buatan manusia, sebagaimana hak-hak perempuan dapat dihapuskan sesuai kehendak orang yang berkuasa. Wallahua'lam bishowab.[]