Meneropong Akar Historis Krisis Ukraina

"Ukraina bukan hanya sekadar negara tetangga. Negara ini adalah bagian integral dari sejarah dan kebudayaan kami, dari jati diri spirit kami."
(Presiden Rusia Vladimir Putin)

Oleh. Nay Beiskara
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Atmosfer perpolitikan di belahan dunia bagian utara, tepatnya di wilayah Eropa Timur, yakni antara Rusia dan Ukrania kian hari kian memanas. Tekad Rusia menyerang negara bekas bagian Uni Soviet tersebut dibenarkan dengan melancarkan serangkaian serangan darat, laut, dan udara pada Kamis pagi (24/2/2022). Puing-puing bangunan dan asap hitam membumbung tinggi di langit Ibukota Kiev dan beberapa kota di Ukraina akibat rudal yang diluncurkan oleh tentara Rusia. Serangan militer Rusia terhadap Ukraina merupakan serangan terbesar abad ini yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap negara lain dalam satu kawasan.

Suasana genting semakin meningkat di bumi Ukraina pascapengumuman invasi militer Rusia oleh Putin ke wilayah Donbas yang terletak di timur Ukraina. Detik.com (25/2/2022) melansir, korban tewas akibat konflik bersenjata dalam dua hari serangan telah mencapai 137 orang dan 316 orang lainnya terluka dari pihak Ukraina. Sedangkan, para penduduk sipilnya yang mulai mengungsi keluar Ukraina untuk menyelamatkan diri mencapai sekitar 100 ribu orang. Memasuki hari ketiga, jumlah korban dari pihak Ukraina bertambah menjadi 198 orang dengan jumlah orang yang mengungsi meningkat sebanyak 120 ribu orang (Tribunnews.com, 26/2/2022).

Pasukan Rusia menerobos masuk pada Kamis pagi (24/2/2022) ke Ukraina dari tiga penjuru mata angin, yakni dari wilayah utara Kiev, semenanjung Krimea, dan wilayah sepanjang front timur, yakni melalui Donetsk, Luhansk, dan Kharkiv. Hasilnya, Negeri Beruang Merah ini berhasil melumpuhkan 74 fasilitas militer Ukraina dalam invasinya di hari pertama, 11 di antaranya adalah lapangan udara. Dalam kabar yang dikutip Reuters, Ukraina menginformasikan mereka telah kehilangan 1000 orang tentaranya pada Jumat (25/2), sedang Rusia tidak banyak mengalami kehilangan yang berarti (Cnnindonesia.com, 26/2/2022).

Cnnindonesia.com (26/2) merangkum kondisi di hari ketiga serangan Rusia ke Ukraina. Presiden Ukraina Zelensky dalam sebuah video menyatakan bahwa pihaknya menginginkan untuk duduk bersama Putin di meja negosiasi, mengingat banyaknya korban yang berjatuhan dari pihak Ukraina. Di sisi lain, Rusia telah berhasil menguasai reaktor nuklir Chernobyl di Ukraina Utara, bahkan di hari pertama invasi. Selain itu, Uni Eropa dinyatakan akan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, dalam hal ini Putin dan Menlu Sergey Lavrov, karena dianggap bertanggung jawab atas banyaknya korban yang tewas akibat agresi militernya.

Adapun kondisi di Ibukota Kiev semakin mencekam. Militer Rusia tampak mulai mendekati Ibukota. Ukraina melakukan pertahanan semampu yang mereka bisa dan mendorong rakyat Ukraina untuk melaporkan setiap gerakan tentara Rusia di Ibukota dan turut melawan dengan menggunakan senjata dan bom molotov. Zelensky juga menyatakan bila Rusia telah menyerang taman kanak-kanak dan membombardir infrastruktur sipil. Intinya, kondisi Ukraina saat ini amat sulit dan semakin terdesak.

Kekuatan yang Tidak Seimbang

Sebenarnya, sedari awal dunia telah mampu memprediksi bagaimana akhir dari krisis yang terjadi di Ukraina, selama tidak ada pihak luar yang turut campur. Mengapa? Tidak lain karena adanya kekuatan yang tak seimbang antara Rusia dan Ukraina.

Kekuatan militer antara Ukraina dan Rusia bagaikan bumi dan langit. Cnbcindonesia.com (24/2/2022) menyajikan infografis mengenai perbandingan kekuatan militer kedua negara tersebut. Rusia merupakan negara peringkat kedua dalam hal kekuatan militer dan kepemilikan alutsista, sedangkan Ukraina berada pada peringkat ke-21.

Rusia memiliki jumlah pasukan yang mencapai 2.9 juta personil, sedang Ukraina 1.1 juta saja. Adapun pesawat tempur yang dimiliki Rusia berjumlah 1.511 buah pesawat, sedang Ukraina memiliki kurang dari 100 pesawat. Bukan hanya itu, helikopter Rusia mencapai 544 buah, sedang Ukraina hanya sekitar 34 buah. Sebanyak 12.240 tank baja dan 7.571 persenjataan dimiliki Rusia. Ukraina dalam persenjataan hanya memiliki sekitar 2.040 buah dengan 2.596 tank baja.

Dari data di atas, jelas sekali bila kekuatan kedua negara amat timpang. Secara teori, semua pihak tentu akan mengambil kesimpulan bahwa hasil akhir dari peperangan ini akan dimenangkan oleh Negeri Beruang Merah. Dengan catatan, bila negara Barat, dalam hal ini Uni Eropa dan AS dengan NATO-nya, tidak ambil bagian dalam perang. Dengan kata lain, mereka membiarkan Ukraina melawan Rusia seorang diri.

Aksi Negara Barat Membantu Ukraina

Zelensky, dalam video yang diunggahnya menyatakan bahwa Ukraina ditinggalkan karena tidak ada satu bantuan pun yang datang untuk menolong negaranya. Namun, negara-negara Barat -Uni Eropa dan AS- tentu saja tidak hanya sekadar ongkang-ongkang kaki atas invasi Rusia tersebut. Apalagi, mereka menganggap bahwa Rusia telah melakukan pelanggaran internasional dengan menyerang salah satu negara anggota PBB, Ukraina.

Negara Uni Eropa dan AS setidaknya telah memberi sanksi keras terhadap dua orang nomor satu di Rusia, yakni kepada Putin dan Menlu Sergey Lavrov. Sanksi tersebut berupa pembekuan aset-aset pribadi milik keduanya yang tersebar di Uni Eropa, AS, Inggris, dan Kanada. Putin dan Lavrov tersebut juga dilarang untuk melakukan perjalanan ke empat negara tersebut. Hal ini dilakukan agar Rusia tertekan dan Putin mau menghentikan invasinya.

Inggris, Uni Eropa, dan AS pun telah menjatuhkan sanksi terbatas yang menyasar bank-bank Rusia dan individu dengan membekukan penuh aset ekonominya. Perusahaan-perusahaan Rusia akan dihentikan operasinya melalui Undang-undang. Tak hanya itu, maskapai Aeroflot Rusia tidak diizinkan untuk melakukan penerbangan, penghentian ekspor teknologi Rusia, Pelarangan deposit, dan pembekuan aset orang berkebangsaan Rusia. Jerman melalui Olaf Scholz juga mencoba memukul Rusia dengan menunda perizinan pembukaan pipa gas Rusia, yakni Nord Stream 2 dari Rusia ke Jerman (Bbcnews.com, 26/2/2022).

Opsi-opsi lain terkait sanksi untuk Rusia hingga saat ini masih dirumuskan oleh aliansi negara Barat. Salah satu kemungkinan opsi ini adalah memblokir ekspor minyak dan gas Rusia ke Eropa. Diharapkan dari sanksi ini, Rusia merasa tertekan secara ekonomi, melihat kedua produk petroleum ini menjadi penyumbang seperlima dari perekonomian Rusia. Tetapi, negara-negara Barat juga harus memikirkan risiko yang akan dihadapi, yakni berkurangnya pasokan minyak dan gas ke wilayah Uni Eropa. Karena ternyata Eropa memiliki ketergantungan tinggi pada Rusia, di mana Rusia memasok 40 persen gas alamnya ke wilayah tersebut.

Cnnindonesia.com (26/2) mengutip pendapat dari salah satu ekonom dari Indef, Rusli Abdullah. Ia meragukan sanksi ekonomi yang diberikan pada Rusia mampu mengendurkan langkah agresinya. Pasalnya, sanksi yang diberikan hingga detik ini masih terbatas menyerang individu dan perusahaan. Ia pun menambahkan bahwa ada satu sanksi yang jitu, yakni bila aliansi blok Barat memotong akses Rusia dalam sistem finansial global melalui SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication).

Bagaimana Rusia menyikapi sanksi multilateral oleh blok Barat kepadanya? Sebagaimana dikutip Reuters pada Jumat (25/2), Rusia melalui juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan pihaknya akan membalas menjatuhkan sanksi atas dasar timbal balik (Katadata.co.id, 25/2/2022). Saat ini, beberapa negara dikabarkan bergabung, semisal Korea Selatan dan Jepang, untuk memberikan sanksi pada Rusia dengan dalih kedaulatan Ukraina harus dihormati.

Motif Di Balik Invasi Rusia

Dalam konfliknya dengan Ukraina, Rusia bukan hanya melakukan serangan militer sebagaimana yang terjadi pada Kamis (24/2). Tetapi, mereka juga telah melakukan serangkaian perang hibrida dengan serangan siber dan informasi yang cukup merugikan bagi Ukraina dalam delapan tahun terakhir ini. Hal itu semata-mata dilakukan oleh Rusia untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya.

Bila kita telaah secara mendalam, motif Rusia menginvasi Ukraina tidak dapat dilepaskan dari apa yang tersirat dalam pidato Putin beberapa waktu lalu. Ia menyatakan bahwa Ukraina merupakan bagian integral dari sejarah, bahasa, kebudayaan, dan politik Rusia. Bahkan, Putin menyebut Ukraina sebagai jati diri dan spirit bangsanya. Karena Rusia menganggap Ukraina adalah bagian dari peradaban yang sama di masa lalu kala keduanya masih tergabung dalam satu negara, Uni Soviet. Selain itu, keduanya berasal dari ras yang sama, yakni ras Slavik.

Konflik di antara keduanya telah berlangsung sejak tahun 1991 kala Uni Soviet dengan ideologi komunisnya runtuh. Pada tahun yang sama, Ukraina meraih kemerdekaannya yang tidak direstui oleh Rusia. Ibarat seorang ibu yang kehilangan anaknya, Rusia menginginkan Ukraina kembali ke dalam dekapannya. Bukan hanya merasa disatukan oleh ras, agama, dan akar sejarah, tetapi Rusia menganggap Ukraina sebagai sebagai kawasan yang mampu memberikan sokongan padanya berupa jaminan keamanan, ekonomi, industri, politik, dan ketahanan pangan.

Sekiranya terdapat tiga motif yang menjadi alasan bagi Rusia menyerang Ukraina yang merupakan negara terluas di Eropa ini. Ketiga motif tersebut adalah motif kolonialisasi, motif eksistensi politik, dan motif ekonomi.

Pertama, motif kolonialisasi. Sejak Ukraina lepas dari Soviet pada 1991, Rusia tidak bisa tinggal diam. Rusia senantiasa berupaya mengembalikan status Ukraina menjadi bagian dari Federasi Rusia. Hanya saja, Ukraina pascadeklarasi kemerdekaannya menginginkan menjadi negara yang merdeka dan mendekat ke blok Barat. Karenanya, Rusia melakukan beberapa strategi yang sedikit demi sedikit mampu mengembalikan beberapa wilayah Ukraina ke pangkuannya.

Salah satu strategi yang dilakukan Rusia adalah dengan mencoba meletakkan bonekanya Victor Yanukovych dalam pemerintahan Ukraina pada 2004 dan 2013. Tetapi, pemerintahan Yanukovych yang represif dan korup memicu demonstrasi besar-besaran yang berujung revolusi pada 2005. Pemerintahan Yanukovych yang pro Rusia pun tumbang dalam peristiwa 'Revolusi Oranye'. Penggantinya Yuschenko yang Pro Barat akhirnya memimpin Ukraina dengan fokus orientasinya untuk keluar dari pengaruh Kremlin dan bergeser menuju NATO. Hingga pada 2010, Yanukovich kembali terpilih menjadi presiden Ukraina dan menjalin kerja sama ekonomi lagi dengan Moskow.

Revolusi kembali terjadi pada 2014 dengan diawali gelombang protes yang direspon represif oleh rezim Yanukovich. Banyak dari para demonstran yang dilumpuhkan dengan cara ditembak. Tapi, itu semua tidak menjadikan rakyat Ukraina pada saat itu mundur. Mereka terus maju berhadapan langsung dengan aparat kepolisian dan tentara hanya dengan berbekal tameng buatan untuk melindungi diri mereka. Akhirnya, perlawanan rakyat Ukraina berbuah kemenangan, sedang Presiden Yanukovich melarikan diri ke Rusia. Kekosongan kekuasaan pascarevolusi kedua ini dimanfaatkan oleh Rusia untuk memotong wilayah Semenanjung Krimea dari Ukraina melalui referendum 16 Maret 2014. Krimea merupakan basis pangkalan armada Rusia di Laut Hitam.

Dari rangkaian peristiwa politik di atas, kita mampu menyimpulkan, banyaknya upaya yang telah dilakukan Rusia tidak serta merta menjadikan bumi Ukraina kembali ke pelukannya. Sehingga Rusia dalam apa yang disebut "perang yang direncanakan", memutuskan untuk menyerang Ukraina. Tujuannya agar Ukraina tetap berada pada orbit yang diinginkan Rusia dan menjadikannya bagian dari Rusia, sebagaimana di masa silam. Invasi menjadi cerminan ambisi Rusia guna menguasai Ukraina, baik secara wilayah maupun pengaruh.

Kedua, motif eksistensi politik. Bagi Rusia, wilayah Eropa Timur menjadi daerah penyangga yang mampu menjamin eksistensi Rusia. Walaupun Rusia memiliki wilayah yang sedemikian luas, tapi ternyata negara ini tidak memiliki wilayah yang berfungsi sebagai pertahanan alamiahnya. Karena itu, Rusia menginginkan Belarusia dan Ukraina menyediakan area yang mampu melindungi dan mengisolasi Rusia dari bahaya, terutama bahaya yang datang dari negara-negara yang tergabung dalam NATO.

Tetapi faktanya, Ukraina lebih condong kepada negara-negara Barat dan menghendaki bergabung ke dalam NATO. Orientasi Ukraina yang pro Barat dan AS dengan NATO-nya menjadi problem keamanan yang serius bagi Rusia. Ditambah lagi, saat ini antara Amerika Serikat dan Rusia terjadi tarik-menarik di bekas wilayah Soviet.

Jamak diketahui bahwa pengaruh AS di wilayah Kaukasus kian meluas, termasuk di dalamnya Georgia, Uzbekistan di Asia Tengah, Afghanistan, dan Pakistan. Sedangkan Rusia, meskipun kekuatan militernya terkuat kedua di dunia, tapi pengaruhnya mulai tergeser oleh negara adidaya saat ini. Untuk memperkuat pengaruhnya di Eropa Timur, maka Rusia melancarkan agresinya ini berharap eksistensinya di Eropa Timur terjaga.

Ketiga, motif ekonomi. Rusia berkepentingan besar terhadap negara yang berjumlah penduduk sekitar 41 juta jiwa ini. Tanah Ukraina yang subur memiliki potensi besar dalam menciptakan ketahanan pangan dan peningkatan ekonomi Rusia.

Cnbcindonesia.com (16/2/2022) mengabarkan dari Ukraine Invest mengenai sumber daya alam Ukraina yang amat potensial. Di sektor pertanian, Ukraina merupakan pengekspor utama tanaman sereal. Negara ini juga pengekspor jagung terbesar ke-4 di dunia dan madu alami ke-5 terbesar di dunia. Terlebih, Ukraina mampu menyediakan kebutuhan pangan mendasar seperti gula dan minyak bagi Rusia.

Hasil tambang Ukraina pun tak kalah besar, baik dari kandungan mineral logam maupun nonlogam. Adapun mineral logam terdiri dari ekstraksi besi sebanyak 39 juta ton, ekstraksi mangan sebesar 651 ribu ton, ekstraksi titanium mencapai 431 ribu ton dan 6,3 persen dari produksi global, ekstraksi galium sebanyak 9 ton, dan ekstraksi germanium sebanyak 1 ton. Sedangkan kandungan nonlogam terdiri dari ekstraksi kaolin 2,4 juta ton, ekstraksi zirkonium silikat mencapai 26 ribu ton, dan ekstraksi grafit sekitar 13 ribu ton.

Bukan hanya itu, Ukraina jug memiliki potensi bahan bakar ekstraksi batu bara pembangkit listrik yang mencapai 18,9 juta ton atau setara 0,4 persen dari output global. Kandungan lainnya yakni ekstraksi batu bara kokas sekitar 5,2 juta ton, ekstraksi uranium sebesar 1 ton atau setara 1,4 persen dari output global. Tetapi, yang tak kalah penting adalah Ukraina memenuhi kebutuhan Rusia akan jalur alternatif untuk mengalirkan gas yang berasal dari Rusia menuju Eropa, seperti jalur Aliran Turki yang melalui Laut Hitam dan North Stream "Aliran Utara" melalui Laut Baltik.

Di mana Posisi Dunia Islam?

Semua mata kini mengarah pada krisis di Ukraina, termasuk mereka yang berada di negeri-negeri muslim. Kaum muslim tampak hanya menjadi penonton tanpa tahu harus melakukan apa. Pertanyaannya, apa yang kaum muslim bisa lakukan?

Kita melihat saat ini dunia Islam tengah terpuruk. Masing-masing negeri muslim disibukkan dengan permasalahan di dalam negerinya. Sehingga, negeri-negeri muslim seperti tidak memiliki energi lebih untuk memikirkan kondisi di luar sekat nasionalismenya.

Namun, sebagai seorang muslim yang memegang peran sebagai negarawan, maka setiap muslim di negeri-negeri kaum muslim harus tetap membuka mata, telinga, dan hati mereka untuk tetap peka dengan situasi global dan konstelasi politik internasional. Hal ini dilakukan agar kita mampu menjelaskan pada umat, inilah fakta yang terjadi kala sistem buatan manusia diterapkan dalam kehidupan. Caplok mencaplok wilayah merupakan hal yang biasa dilakukan negara besar kepada negara yang lebih kecil darinya.

Dengan melihat fakta yang ada, mengkaji, serta menganalisis setiap peristiwa global yang terjadi dalam percaturan politik dunia, maka kaum muslim akan melihat bahwa dunia saat ini membutuhkan sistem alternatif yang mampu mengurusi dunia. Hal yang kemudian harus menjadi fokus setiap muslim, wabil khusus para pengemban dakwah Islam, adalah tetap gencar dalam menyebarkan Islam kaffah. Karena Islam sebagai dienullah dan ideologi memiliki kemampuan dalam mengatasi setiap problematika umat. Dengan kata lain, Islam mampu menjadi solusi apa pun masalahnya.

Para pengemban dakwah juga harus mampu menggambarkan bahwa hanya dengan sistem Islam, kaum muslim bisa bangkit dan meraih predikat yang telah disematkan Allah Swt. sebagai khairu ummah, disegani umat lain, dan menjadi penolong bagi bangsa lain. Penerapan sistem lain selain Islam hanya menjadikan kaum muslim terpecah belah, tidak memiliki bergaining position, mudah diadu domba, dan mudah terprovokasi. Selain itu, kemampuan umat sebagai penengah antarbangsa menjadi mimpi yang takkan pernah kunjung terwujud. Wallahua'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim NarasiPost.Com
Nay Beiskara Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Kapitalisme Melahirkan Homo Homini Lupus
Next
Kebijakan Tidak Solutif: BPJS Kesehatan Syarat Administratif
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram