"Oleh karena itu, kaum muslim tidak punya kepentingan sama sekali untuk ikut tersulut apalagi terjun dalam konflik regional ini."
Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَشْغِلِ الظَّالِمِيْنَ بِالظَّالِمِيْنَ وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِيْنَ وَعَلَي الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
“Ya Allah, berikanlah selawat kepada penghulu kami Nabi Muhammad, dan sibukkanlah orang-orang zalim dengan orang zalim lainnya. Selamatkanlah kami dari kejahatan mereka. Dan limpahkanlah selawat kepada seluruh keluarga dan para sahabat beliau.”
Invasi Rusia ke Ukraina masih terus berlangsung dan entah kapan akan berakhir. Hal ini memantik respons dunia, Rusia kini dihujani sanksi ekonomi dan keuangan dari AS dan Uni Eropa. Bahkan, tidak sedikit kaum muslim yang menunjukkan simpati dan memihak salah satu kubu. Padahal, tidak pantas bagi seorang muslim ikut terjun dalam kubangan perang yang penuh kebatilan itu. Selayaknya, kaum muslim memiliki agenda sendiri demi tegaknya ‘izzul Islam wal muslimin’. Inikah skenarionya, bahwa kezaliman akan dipertarungkan dengan kezaliman pula?
Dilansir dari Tempo.co (13/3/2022) bahwa Amerika Serikat dan sebagian besar negara sekutu di Uni Eropa mengecam invasi Rusia ke Ukraina, bahkan memberlakukan sanksi ekonomi termasuk penutupan wilayah udara bagi pesawat Negeri Beruang Merah itu. Sejumlah perusahaan menghentikan aktivitas bisnisnya di Rusia.
Sungguh mengejutkan, Chechnya unjuk gigi dengan mengirimkan 12.000 pasukan militer dalam invasi Rusia terhadap Ukraina. Pasukan yang dijuluki Pasukan Pemburu itu dimiliki oleh Chechnya yang notabene negeri muslim (Suara.com, 3/3/2022).
Lantas, apa sebenarnya yang menjadi pemicu konflik Rusia-Ukraina? Bagaimanakah respons dunia termasuk kaum muslim terhadap invasi itu? Lalu agenda apakah yang harus dimiliki umat Islam?
Pemicu Konflik Rusia-Ukraina
Hal ihwal konflik bermula dari bubarnya negara Uni Soviet yang berideologi sosialisme dan pecah menjadi 15 negara baru pada Desember 1991. Setidaknya 10 negara eks Uni Soviet bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias NATO ini merupakan aliansi militer yang didirikan pada 4 April 1949 yang bertujuan menjaga keamanan bersama, tepatnya pasca Perang Dunia II. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu anggota NATO juga, selain itu ada 27 negara Eropa, dan 1 negara Eurasia.
Secara geografis dan demografis, Ukraina dekat dengan negara Rusia. Bahkan, Ukraina dianggap sebagai teras depan Rusia. Lebih dari itu, posisi Ukraina sebagai pemisah antara Rusia dengan negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO. Jika Ukraina sampai jatuh dalam dekapan NATO, itu berarti pertahanan terakhir Rusia ambruk dalam konfrontasinya dengan AS dan Barat. Inilah yang menjadikan Ukraina berbeda dengan Georgia dan Uzbekistan, walaupun ketiganya sama-sama eks Uni Soviet. Oleh karena itu, Rusia tak segan melakukan tindakan tegas dengan menginvasi Ukraina. Rusia tak peduli dengan hujatan dunia pada dirinya, bahkan tak takut dengan sanksi-sanksi yang ditimpakan Barat padanya. Baginya, kerugian yang diakibatkan pengkhianatan Ukraina jauh lebih besar daripada sanksi-sanksi itu.
Invasi militer Rusia ke Ukraina dianggap sebagai kebutuhan geopolitik mendesak yang tidak bisa direngkuh dengan cara-cara diplomatis. Rusia merasa terancam eksistensinya dan terusik kepentingannya di kawasan itu. Bahkan, media Rusia mem- framing penguasa Ukraina saat ini memiliki hubungan mesra dengan AS dan Barat. Mereka ibarat neo nazi yang ingin menguasai senjata nuklir. Khususnya AS, sangat berambisi mengerahkan rudal balistik AS dan mendirikan pangkalan militer di Ukraina. Tentu saja ini sangat mengancam keamanan wilayah Rusia, termasuk Moskow.
Adapun AS, sadar betul bahwa Ukraina merupakan salah satu titik kelemahan Rusia. Oleh karena itu, segala cara dihalalkan di antaranya dengan melengserkan Presiden Ukraina yang pro Rusia yakni Viktor Yanukovych , lalu digantikan oleh Volodymyr Zelensk, Presiden Ukraina yang pro AS. Ambisi untuk menguasai Ukraina menggebu-gebu, tak masalah jika pun hanya mengambil sisa jatah dari Rusia.
Respons Dunia
Invasi Rusia ke Ukraina memantik respons dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Ada yang bersikap netral, sekadar mengutuk, menyarankan jalan diplomasi, bahkan mengirimkan pasukan militer dan melakukan pemboikotan. AS memutuskan koneksi ke sistem keuangan AS untuk lembaga keuangan terbesar Rusia dan membatasi ekspor teknologi pertahanan militer dan aeronautika ke Rusia. Ini Eropa membatasi Rusia dalam akses pasar, layanan modal dan keuangan. Swiss, Inggris, Jepang, dan Singapura pun memberikan sanksi ekonomi lainnya (Inews.id, 7/3/2022).
Namun, semua sanksi keuangan dan ekonomi itu terbilang sanksi ringan dan sedang yang masih sanggup ditanggung Rusia. Amerika tidak ingin menimpakan sanksi yang mematikan Rusia, sebab AS masih memiliki kepentingan untuk mempertahankan Rusia sebagai pemain penting dalam menghadapi Eropa dan Cina, begitu pula di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Ada sanksi mematikan yang sengaja ditahan AS, yakni pengusiran Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT (Society for Worlwide Interbank Financial Telecommunication).
Sebagaimana diketahui SWIFT merupakan jantung keuangan global yang memompa sirkulasi uang agar lancar dan cepat walaupun lintas batas. Sistem ini mampu menghubungkan belasan ribu bank dan institusi di lebih dari 200 negara dan mengirimkan lebih dari 40 juta pesan harian, dengan begitu triliunan dolar diedarkan di antara perusahaan dan pemerintah, sehingga keberlangsungan perdagangan internasional berjalan aman dan lancar bagi para anggotanya. Melarang SWIFT bagi Rusia sama saja merugikan negara-negara Eropa dan negara mana pun yang mengimpor barang dari Rusia, khususnya minyak dan gas alam di Uni Eropa. Sementara itu, menemukan pasokan alternatif atau pengganti terbilang sulit. Demikianlah, sanksi Amerika pada Rusia hanya cubitan kecil agar Rusia tetap menjadi tameng perlindungan AS dari negara-negara yang ‘mengancamnya’.
Standar Ganda
Berbeda halnya dengan respons dunia pada invasi Rusia-Ukraina, sikap dunia pada invasi Israel-Palestina tidak mendapatkan simpati yang sama. Dunia diam seribu bahasa. Mereka tetap bergeming menyaksikan lautan darah dan air mata yang mengalir deras selama puluhan tahun lamanya. Bahkan, tanpa rasa malu AS mengatakan bahwa serangan militer Israel yang bertubi-tubi itu merupakan ‘aksi bela diri’ dan bukanlah invasi. AS yang saat ini menjadi adidaya dan kiblat negara-negara kapitalisme bak kerbau dicocok hidungnya manut tanpa punya harga harga diri, mengamini sikap bejat AS yang membela Israel.
Standar ganda yang diterapkan dunia kapitalisme memang kerap kali menjadikan kaum muslim sebagai objek penderita. Tidak ada keadilan yang bisa ditegakkan dalam balutan tirani para penguasa kapitalis. Lihat saja betapa menggelikannya narasi yang dilancarkan Rusia demi meraih simpati kaum muslim, mereka menggembar-gemborkan opini perang melawan entitas yahudi, sebab presiden Ukraina saat ini, Volodymyr Zelensk memang keturunan yahudi. Begitu pula ‘kebaikan hati’ Putin pada Chechnya dan kaum muslim di Rusia yang cenderung kooperatif dibandingkan Boris Yeltsin pemimpin Rusia sebelumnya membuat sebagian kaum muslim terjerat pada rayuan gombal Putin. Seakan mereka lupa bahwa Rusia pernah membantai kaum muslim di Suriah.
Sungguh memilukan, fakta menunjukkan bahwa umat Islam memang tidak memiliki kekuatan dalam dinamika politik dunia. Walaupun secara kuantitas jumlahnya menjadi yang terbesar di dunia yakni mencapai 1,7 miliar jiwa. Namun sayang, hanya mampu menjadi buih di lautan. Tak berdaya, terombang-ambing dalam ketidakpastian dan penderitaan.
Waspada, Muslim Jangan Terjebak!
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Ade Maman Suherman menganggap invasi Rusia ke Ukraina sebagai akumulasi permasalahan multidimensi sejak bubarnya Uni Soviet. Ketika sudah menginjak wilayah teritorial Ukraina yang sebagian penduduknya etnis Rusia, maka kesabaran Rusia telah sampai pada titik nadir dengan opsi satu-satunya ‘melawan’. Sehingga, lebih tepat kita sebut hal ini sebagai konflik regional (Detik.com, 25/2/2022).
Oleh karena itu, kaum muslim tidak punya kepentingan sama sekali untuk ikut tersulut apalagi terjun dalam konflik regional ini. Lebih dari itu, DR. Faraj Mamduh telah mengingatkan kaum muslim agar mengambil sikap yang tegas dan kompak dalam merespons invasi Rusia-Ukraina ini. Pertama, invasi itu merupakan perang antarpendukung kebatilan. Baik Rusia maupun Ukraina keduanya terkategori negara kufur yang menjalankan kebijakan dan sistem batil. Terlebih Rusia memiliki sejarah kelam berkaitan dengan genosida muslim Suriah.
Kedua, meskipun tempat tinggal kaum muslim tersebar di banyak negara dan benua yang berbeda, namun kami adalah umat yang satu. Sehingga, tidak boleh bagi kaum muslim memiliki perbedaan dalam memandang apa yang menjadi persoalan utama umat dan solusinya. Akidah kami sama, Tuhan, dan Nabi kami sama, pedoman hidup kami tak berbeda dan sungguh kami tidak sudi menumpahkan darah untuk membela Rusia ataupun Ukraina. Nabi saw. bersabda,
«الْمُؤْمِنُونَ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النَّاسِ«
“Orang-orang yang beriman adalah satu umat, tanpa kecuali.”
Ketiga, invasi yang dilakukan Rusia sebenarnya untuk memastikan keamanannya di teras depan negaranya. Oleh karena itu, Rusia akan melakukan berbagai cara untuk menjaga kepentingan demi mencapai tujuannya. Bukan tidak mungkin, kaum muslim akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar bagi keamanan Rusia. Keempat, konflik regional ini bisa berkembang menjadi perang yang melibatkan banyak negara. Sehingga, kaum muslim harus ‘tinggal di rumah dan menyusun agenda sendiri’ dan tidak terlibat dalam perang yang sepenuhnya batil, baik itu memberikan bantuan militer, melakukan diplomasi, apalagi terjun ke medan perang batil itu.
Susun Agenda Sendiri
Umat Islam tidak boleh pasrah begitu saja menyaksikan nestapa dan ketidakpastian yang merundung dunia ketiga. Sudah saatnya bagi umat Muhammad untuk menyusun agenda tersendiri yang berkaitan erat dengan kepentingan Islam dan kaum muslim. Lantas, apa yang harus diperjuangkan demi mewujudkan kekuatan kaum muslim dalam kesempurnaan cahaya Islam? Setidaknya ada dua hal. Pertama, institusi politik yang mampu menyatukan kaum muslim sedunia, menerapkan aturan Ilahi dalam sistem kehidupan dan menyebarkan dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Inilah yang dinamakan Khilafah. Kedua, pemimpin dari institusi politik yang tadi disebutkan, yakni khalifah.
Tidak sedikit yang mencibir gagasan brilian dan mulia ini, bahkan menganggapnya utopis. Namun, justru gagasan inilah yang terbukti pernah memimpin dan menyinari dunia selama 13 abad lamanya. Kepatuhan kita dalam menapaki thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw. akan memunculkan kesadaran umat tentang urgensi persatuan umat Islam dalam naungan Khilafah. Berbagai penindasan dan kezaliman yang menimpa kita berpadu dengan kesadaran yang menggerakkan akan menjadi akumulasi energi yang tak akan mampu dibendung siapa pun, kemenangan Islam akan terwujud seiring dengan pertolongan Allah bagi orang-orang yang mengimaninya.
Khatimah
Allah Swt. akan menghancurkan musuh-musuh Islam dengan kehebatan makar-Nya. Bisa jadi invasi Rusia-Ukraina merupakan skenario Allah untuk menyibukkan sesama pihak yang zalim, sebagaimana isi selawat Asyghil yang biasa kita dawamkan. Sungguh, mereka sedang menggali kuburan mereka sendiri sementara kita harus menyibukkan diri menyiapkan panggung bagi tegaknya peradaban Islam yang selama ini kita dambakan. Wallahu a’lam bi ash-showwab.[]