Invasi Rusia ke Ukraina dan The Inevitable Clash of Civilization?

"Berkaca pada perang dingin, benturan peradaban itu terjadi karena yang berkonflik adalah kapitalisme versus sosialisme. Rusia sebagai “pewaris” Soviet yang berhaluan sosialis pun hari ini sejatinya merupakan pseudo-sosialis, karena dalam banyak aktivitas yang dilakukan, metode dan rencana strategis yang digunakan adalah apa yang berlaku di dalam kapitalisme. Begitu pula dengan Ukraina, kapitalisme merupakan ideologi yang dipilih untuk dijadikan landasan bernegara. Atas dasar inilah, pandangan bahwa perang dunia ketiga sukar bahkan tidak mungkin akan pecah saat ini, karena aktor-aktor yang berkonflik sejatinya sama-sama merupakan pengemban kapitalisme itu."

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)

NarasiPost.Com-Sepekan sudah sejak Vladimir Putin, Perdana Menteri Rusia, mengumumkan operasi militer khusus terhadap Ukraina. Kegemparan dunia dalam merespons ambisi Putin untuk menginvasi Ukraina itu pun mewarnai berbagai tajuk di banyak portal berita nasional dan internasional. Pasukan yang diutus Rusia ke Ukraina juga sudah mulai menggunakan persenjataan mereka untuk menarget titik-titik strategis, termasuk di Kyiv, ibu kota Ukraina.

Dilansir dari ABC News, sejumlah 836.000 warga Ukraina sudah berusaha melarikan diri dari negaranya demi memastikan keamanan mereka dan agar mereka tidak menjadi korban konflik yang terjadi (abcnews.go.com 2/3/2022). Tak hanya itu, tercatat 14 anak telah meregang nyawa akibat serangan yang dikirimkan Rusia atas Ukraina sejak 24 Februari 2022. Upaya untuk menghentikan serangan pun sudah berusaha untuk dilakukan, mulai dari perundingan yang dikabarkan akan dilakukan oleh Rusia dan Ukraina di Belarusia, hingga sanksi internasional terhadap Rusia yang diharapkan bisa menekannya dan menghentikan agresivitas invasi ke negara yang dipimpin oleh Volodymyr Zelenskyy itu.

Komunitas sipil di berbagai negara juga menyuarakan penolakan dan mengungkapkan kutukan mereka atas serangan ini. Di Rusia sendiri, demonstrasi yang menolak sikap “tidak manusiawi” Putin ditanggapi secara represif oleh aparat yang membuat banyak demonstran ditangkapi. Pemimpin serta pejabat negara-negara lain pun menunjukkan sikap, yang salah satunya ditunjukkan oleh Menteri Luar Negeri Israel dengan mengatakan bahwa serangan yang terjadi merupakan pelanggaran terhadap ketertiban internasional.

Dengan melihat perkembangan dan dinamika kondisi yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, tidak sedikit yang menghipotesiskan bahwa perang dunia ketiga bisa meletus melalui momentum upaya invasi Moskow ke Kyiv. Hipotesis ini salah satunya dilandasi oleh alasan bahwa munculnya persekutuan dan keberpihakan terhadap Rusia dan Ukraina. Lantas, bagaimana seharusnya dunia, khususnya umat Islam memandang masalah ini?

Invasi dan Hipokrisi Negara Demokrasi

Dalam diskursus politik dan hukum internasional, invasi yang dilakukan oleh suatu aktor negara terhadap pihak lain tidak bisa dibenarkan. Hal ini dikarenakan dunia pasca perang dingin tahun 1991, terhimpun dalam sebuah konsensus internasional untuk mengupayakan agar perdamaian senantiasa menyelimuti dunia. Salah satunya adalah dengan menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diadopsi oleh banyak negara, yang diasumsikan paling mampu mencegah perang meletus di tengah komunitas internasional. Hal ini dikarenakan demokrasi yang berasaskan pada kedaulatan rakyat, dianggap bisa mencegah perang selama rakyat tidak setuju untuk melakukannya. Dengan demikian, invasi sebagaimana yang dilakukan Rusia ini diakui sebagai pelanggaran terhadap ketertiban internasional dan perenggutan terhadap hak asasi setiap manusia.

Secara teori, memang demikian adanya. Hanya saja, realitas berkata lain. Hitam di atas putih yang diteken oleh pemimpin-pemimpin negara tersebut kadang kala tidak berlaku, karena tunduk di bawah apa yang disebut dengan kepentingan nasional dari negara tertentu. Terlebih oleh negara adidaya, kekuatan yang dimiliki seakan menjadi lampu hijau baginya untuk melanggar kesepakatan yang sudah disetujui itu. Demokrasi yang dianggap menjadi obat manjur penjaga perdamaian dunia pun pada faktanya hanya menjadi topeng bagi mereka yang berkepetingan, namun malah dengan entengnya melanggar hak-hak manusia lain dengan invasi dan serangan ilegalnya, sebagaimana yang dilakukan Israel yang mengecam invasi Rusia ini, namun di waktu yang sama melakukan penjajahan atas tanah Palestina.

Dalam hal ini, Ukraina sebetulnya tidak lebih hanyalah korban dari negara Barat yang berhaluan demokrasi yang berusaha “mencari muka” ke pihak-pihak yang dirasa bisa menjaga kepentingannya. Mereka selama ini memberikan bantuan, dukungan, mendekati Ukraina, yang malah membuat Rusia geram, namun saat Ukraina diinvasi, terjun 100% untuk membantu pun mereka tak kuasa. Lagi-lagi dengan dalih dukungan militer kepada Ukraina akan bisa semakin memperburuk keadaan.
Sanksi yang digelontorkan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia berupa sanksi ekonomi, sejatinya hanyalah formalitas belaka jika dikontekstualisasikan dengan agresivitas Putin dalam mengerahkan pasukan militernya ke Ukraina. Hal ini disebabkan, sanksi yang akan diberikan kemungkinan besar tidak akan sampai membuat Rusia kolaps secara ekonomi maupun politik, karena jika Rusia kolaps, hubungan ekonomi dan perdagangan yang terjalin dengan negara-negara Barat pun tentu berada di bawah ancaman.

Ditambah lagi dengan adanya skema veto –yang tak sedikit mengkritiknya sebagai hak absurd dalam majelis di PBB- juga tak akan membawa perubahan apa pun terhadap invasi yang dilakukan oleh Rusia, mengingat Rusia adalah salah satu pemilik hak tersebut di lembaga ini. Alhasil, demokrasi dan sistem apa pun yang menyokongnya tetap langgeng hingga hari ini, ibarat pisau bermata dua bagi Barat. Satu sisi dirasa bisa membawa manfaat terhadap hegemoni yang mereka inginkan, tapi di sisi yang lain, justru membongkar kelicikan siasat mereka dalam menundukkan pihak-pihak lain.

Konflik Rusia-Ukraina dan Potensi Benturan Peradaban

Adapun mengenai potensi perang dunia ketiga yang digadang-gadang bisa lahir dari invasi Rusia ini, asumsi tersebut dapat dikatakan sebagai asumsi yang sulit dan mendekati mustahil untuk terjadi. Hubungan yang terjalin antara aktor-aktor yang berkepentingan dalam konflik ini tidak seluas persekutuan yang ada ketika perang dunia pertama dan kedua pecah dahulu. Konflik ini pun jika meluas, kemungkinan besar hanya akan sampai pada skala regional di Eropa saja, tidak sampai merembet ke Asia, atau benua lain sebagaimana perang dunia dulu.

Apabila menilik kembali teori Clash of Civilization atau Benturan Peradaban yang dipopulerkan oleh Samuel Huntington, konflik yang terjadi di dunia pasca perang dingin menurutnya lebih didorong karena perbedaan agama dan budaya dari peradaban yang ada. Teori ini pun mendapat banyak bantahan, karena justru berbagai konflik yang terjadi di era kontemporer didominasi oleh kepentingan politik dan ekonomi, bukan semata karena agama dan budaya.

Hal ini selaras dengan pandangan syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya yang berjudul Hatmiyyah Shira’ al Hadharah atau Keniscayaan Benturan Peradaban setelah diterjemahkan, bahwa peradaban yang berseteru hanya akan terjadi antara tiga ideologi besar yang eksis di dunia, yaitu Islam, kapitalisme, dan sosialisme-komunisme. Perihal ideologi yang terakhir, negara yang secara total mengembannya hari ini dapat dikatakan tidak ada, sehingga tersisalah peradaban kapitalisme dan Islam. Adapun Islam, negara yang menjadikannya sebagai landasan juga belum hadir di tengah-tengah masyarakat dunia. Di mana, hal ini berarti bahwa negara-negara yang ada hari ini, hampir seluruhnya berada di bawah naungan peradaban kapitalisme.

Berkaca pada perang dingin, benturan peradaban itu terjadi karena yang berkonflik adalah kapitalisme versus sosialisme. Rusia sebagai “pewaris” Soviet yang berhaluan sosialis pun hari ini sejatinya merupakan pseudo-sosialis, karena dalam banyak aktivitas yang dilakukan, metode dan rencana strategis yang digunakan adalah apa yang berlaku di dalam kapitalisme. Begitu pula dengan Ukraina, kapitalisme merupakan ideologi yang dipilih untuk dijadikan landasan bernegara. Atas dasar inilah, pandangan bahwa perang dunia ketiga sukar bahkan tidak mungkin akan pecah saat ini, karena aktor-aktor yang berkonflik sejatinya sama-sama merupakan pengemban kapitalisme itu.

Muslim dalam Pusaran Konflik Rusia-Ukraina

Terdapat beberapa poin yang berkaitan dengan sikap kaum muslimin dalam memandang perang ini. Pertama, apa yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, bila dilihat dari kacamata seorang muslim, maka ini bukanlah tentang perkara kepada siapa kita seharusnya berpihak. Hal ini disebabkan karena esensi masalah yang terjadi bukan itu. Tapi yang seharusnya kita lakukan adalah agar kita mengarahkan perhatian pada hal di balik ini semua, bahwa kapitalisme adalah ideologi yang lemah dan batil, yang bahkan negara-negara penganutnya pun tidak memiliki ikatan yang kuat selain ikatan kepentingan semu yang membuat mereka bisa saling jotos bahkan perang.

Poin berikutnya, baik Rusia maupun Ukraina, keduanya sama-sama memiliki track record yang negatif dengan muslim dan Islam. Rusia adalah salah satu pihak yang melanggengkan pembunuhan muslim di Suriah karena keberpihakannya pada Bashar Assad dan menyuplainya dengan bantuan dana serta persenjataan. Sedangkan Ukraina adalah pihak yang mendukung eksistensi Israel di tengah negeri-negeri Islam dan membangun relasi yang baik dengan negara zionis tersebut.

Dua fakta ini seharusnya sudah cukup menjadi dalil yang kuat bagi kita untuk lebih cerdas lagi dalam memandang konstelasi politik internasional. Salah satu tujuannya adalah agar kita tidak terjebak dalam arus yang sengaja diciptakan oleh pihak Barat dan agar umat Islam memiliki bargaining position sehingga membuat kita bisa menjadi pemain aktif dalam politik internasional.
Selanjutnya, jika memang umat mengkhawatirkan pecahnya perang dunia ketiga, maka kekhawatiran itu seharusnya dialamatkan pada ketiadaan negara yang mengemban ideologi Islam, yang dalam istilah fikih dikenal dengan Khilafah Islamiyah. Absennya negara ini dalam percaturan politik global hanya akan membawa malapetaka yang lebih besar terhadap umat. Perang dunia tanpa adanya khilafah pun dapat dipastikan akan menyengsarakan kehidupan manusia. Namun jika Khilafah ini ada, umat ini akan memiliki perisai yang senantiasa melindungi keamanannya dari rongrongan kepentingan negara kufur. Wallahu a’lam bisshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Misteri Penundaan Pemilu, Adakah Udang di Balik Batu?
Next
53% Generasi Mengalami Gangguan Mental, Bagaimana Bisa?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram