Migrasi kerja ke Jepang tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi WNI. Apalagi di bawah asuhan kapitalisme yang tidak manusiawi.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Migrasi pekerja asing ke Jepang melonjak drastis. Salah satunya dari Indonesia. Krisis kependudukan yang melanda Jepang membuat pemerintah setempat membuka banyak kesempatan bagi pekerja asing untuk masuk ke negara itu. Di sisi lain, iming-iming gaji besar dan harapan kesejahteraan membuat banyak WNI rela meninggalkan tanah air untuk bekerja di sana.
Diwartakan oleh cnbcindonesia.com (3/2/2024), akibat krisis kependudukan, angkatan kerja Jepang ikut berkurang. Oleh karena itu, banyak pekerja dari negara lain, termasuk Indonesia, yang ikut mengadu nasib di Jepang. Bahkan dari data terbaru yang berhasil dirilis pada Oktober 2023, pekerja asing yang ada di Jepang menembus angka lebih dari dua juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 121.507 orang berasal dari Indonesia. WNI yang bekerja di Jepang bahkan mengalami lonjakan hingga 56% dibandingkan tahun sebelumnya.
Apa penyebab krisis kependudukan di Jepang hingga membuka peluang masuknya pekerja asing? Benarkah bekerja di Jepang menjanjikan kesejahteraan bagi warga Indonesia? Bagaimana Islam mewujudkan kesejahteraan hakiki?
Krisis Kependudukan, Pemicu Migrasi ke Jepang
Negeri Sakura sedang menghadapi krisis populasi yang sangat serius. Mengutip data pemerintah Jepang per 26 Juli 2023, penurunan jumlah populasi terus terjadi selama 14 tahun berturut-turut. Kemendagri Jepang mencatat, jumlah seluruh penduduk Jepang pada tahun 2022 adalah 122.423.038 jiwa. Namun, jumlah tersebut berkurang 800.523 orang atau 0,65 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan populasi tersebut merupakan pertama kalinya terjadi di 47 prefektur (wilayah administratif) Jepang. (cnnindonesia.com, 27/7/2023)
Penyusutan yang signifikan tersebut menjadikan Jepang kini mayoritas dihuni oleh orang tua. Pada Oktober 2023, misalnya, total seluruh penduduk usia lanjut (sekitar 65–100 tahun ke atas) mencapai 36,2 juta orang. Jumlah tersebut setara dengan 29,1% dari total populasi Jepang. Sedangkan jumlah seluruh penduduk usia kerja (15–64 tahun) pada periode yang sama ada 73,9 juta orang atau setara 59,5% dari total penduduk. (katadata.co.id, 25/10/2023)
https://narasipost.com/opini/08/2022/mencari-penghidupan-wni-teraniaya-tanpa-perlindungan/
Namun, jika dikaji lebih rinci, ternyata para pekerja di Jepang lebih didominasi oleh mereka yang berusia antara 45–49 tahun dan 50–54 tahun. Sedangkan mereka yang tergolong pekerja muda (di bawah 40 tahun) jumlahnya sangat sedikit. Yang lebih memprihatinkan adalah jumlah bayi yang terkategori balita (0–4 tahun), anak-anak (5–9 tahun), dan remaja (10–14 tahun) jumlahnya pun sangat sedikit dibandingkan kelompok usia lainnya.
Jepang Berusaha Meningkatkan Angka Kelahiran
Kondisi tersebut menempatkan Jepang dalam krisis tenaga kerja. Pada 2022 misalnya, nyaris separuh perusahaan Jepang hanya mengandalkan para pekerja dengan usia 70 tahun. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh tim World Economic Forum (WEF) dalam sebuah laporan yang dirilisnya. Oleh karena itu, demi menyelesaikan persoalan krisis populasi, pemerintah Jepang sampai menggelontorkan anggaran sebesar US$25 miliar atau setara Rp375 triliun untuk mendukung keluarga dan kaum muda meningkatkan angka kelahiran.
Namun, upaya tersebut tampaknya belum menunjukkan hasil maksimal. Kondisi inilah yang akhirnya membuat pemerintah Jepang membuka peluang bagi para pekerja asing untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di sana. Walhasil, banyak WNI yang kemudian berbondong-bondong pindah bekerja di Jepang agar dapat mengubah nasib. Namun, benarkah migrasi ke Jepang sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan?
Alasan WNI Migrasi ke Jepang
Siapa pun berhak mengupayakan perbaikan kondisi ekonominya, termasuk para pekerja Indonesia. Apalagi jika melihat sulitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Hanya saja, tak selamanya harapan menggapai kesejahteraan di luar negeri akan berjalan sesuai harapan. Beberapa alasan WNI memilih bekerja di luar negeri, khususnya Jepang, antara lain karena daya tarik berupa gaji tinggi untuk para pekerja low skill, minimnya lapangan kerja/pendapatan di dalam negeri, dan kemudahan dalam memperoleh paspor dan visa.
Seorang profesor dari Nagoya Gakuin University (NGU) yang sekaligus sebagai pemerhati Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Jepang, Saeki Natsuko, mengemukakan bahwa dunia kerja di Jepang tak selalu berjalan sesuai harapan. Ada banyak persoalan yang dihadapi para pekerja Indonesia di Jepang, termasuk permainan para aktor dan berbagai modus di dalamnya.
Misalnya saja terkait iming-iming gaji tinggi dengan kisaran 16–23 juta. Padahal, menurut Profesor Saeki Natsuko, gaji bersih yang didapat para pekerja Indonesia di Jepang berkisar 10–12 juta, itu pun harus menyesuaikan dengan biaya hidup yang mahal. Belum lagi, banyak pekerja Indonesia menghadapi perlakuan yang tidak layak dari pihak perusahaan, tetapi tidak berani melaporkannya.
Begitu juga dengan para pekerja yang mengikuti program pemagangan. Mereka tidak diberikan perlindungan hukum karena tidak dianggap sebagai pekerja migran. Contohnya saja ketika para peserta program pemagangan mengalami kecelakaan, maka perusahaan tidak menanggung biaya pengobatannya. Begitulah, impian gaji tinggi dan kesejahteraan di negeri orang terkadang tidak selalu sejalan dengan realitas.
Ilusi Kesejahteraan di Jepang
Krisis kesejahteraan memang tak hanya dialami oleh masyarakat Indonesia, tetapi dialami pula oleh rakyat Jepang. Meski secara ekonomi masyarakat Jepang lebih sejahtera, tetapi tekanan sosial yang harus dihadapi juga berat. Misalnya saja dalam aspek pendidikan. Sistem pendidikan di Jepang yang terkenal sangat kompetitif dan adanya penekanan pada prestasi akademis, telah mengakibatkan tekanan yang luar biasa terhadap para siswa.
Juga dalam hal pekerjaan, masyarakat Jepang harus bekerja dengan jam yang panjang dan struktur hierarki yang terbilang ketat. Realitas tersebut dapat menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan tuntutan. Akibatnya, tingkat stres lebih tinggi, kelelahan, dan dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental.
Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan hakiki masih jauh dari masyarakat yang hidup di bawah asuhan kapitalisme. Kapitalisme telah nyata menghilangkan hak-hak kesejahteraan bagi masyarakat. Pasalnya, negara hadir bukan sebagai pengurus semua urusan rakyat, tetapi hanya sebatas pemantau dan pembuat kebijakan. Negara di bawah asuhan kapitalisme juga telah gagal menciptakan lapangan kerja mandiri bagi rakyatnya. Terbukti dengan banyaknya rakyat suatu negara bermigrasi ke negara lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Mewujudkan Kesejahteraan Hakiki
Tidak ada satu pun sistem yang benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki, kecuali Islam. Pasalnya, Islam merupakan satu-satunya agama sekaligus ideologi yang memiliki solusi pasti dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hadirnya negara benar-benar memberikan prioritas terhadap manusia secara individu, bukan sebatas pembuat kebijakan dan pengontrol terhadap rakyatnya.
Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup masyarakat, Islam benar-benar memperhatikan kebutuhan hidup seluruh rakyat. Jaminan tersebut mencakup terpenuhinya semua kebutuhan dasar setiap individu rakyat, bukan hanya dilihat dari peningkatan taraf hidup secara kolektif atau dikenal dengan sebutan Gross National Product (GNP).
Dalam mewujudkan upaya tersebut, Islam mewajibkan negara menjalankan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi adalah tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam bidang ekonomi. Sedangkan politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang dapat menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Termasuk adanya jaminan bagi individu untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kemampuan mereka.
Mekanisme Khilafah Mewujudkan Kesejahteraan
Islam memiliki solusi yang berbeda dengan kapitalisme sebagaimana yang diterapkan di Jepang dalam mewujudkan kesejahteraan. Secara umum, Khilafah menerapkan tiga konsep dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pertama, menerapkan pembagian kepemilikan harta. Kepemilikan ini terbagi tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam hal ini, harta-harta tersebut hanya boleh dimiliki oleh para pemiliknya yang sah agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara benar.
Kedua, mekanisme pengelolaan harta. Hal ini mencakup pemanfaatan dan pengembangan harta, yakni adanya skala prioritas pembelanjaan dari yang wajib, sunah, kemudian baru yang mubah. Sebagai pengurus rakyat, penguasa dalam Islam mengatur jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Kebutuhan dasar tersebut mencakup sandang, pangan, papan, serta lapangan pekerjaan.
Selain itu, Islam telah mewajibkan kepada laki-laki untuk bekerja demi menafkahi dirinya, keluarga (istri dan anak) yang berada dalam tanggungannya, dan kerabatnya yang tidak mampu. Jika ada orang yang tidak mampu bekerja dan berusaha, nafkah tersebut ditanggung oleh baitulmal.
Ketiga, mekanisme distribusi kekayaan. Islam secara tegas telah melarang melakukan penimbunan emas, perak, dan uang/modal jika tidak memiliki tujuan yang direncanakan. Selain itu, Islam hanya membolehkan praktik ekonomi riil dan mengharamkan ekonomi nonriil. Sedangkan dalam penggunaan mata uang, Islam hanya menggunakan mata uang dengan standar emas dan perak. Kebijakan tersebut akan menjamin pendistribusian kekayaan di masyarakat secara adil.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan mewujudkan keadilan, bersifat manusiawi, dan penuh dengan keberkahan. Keberkahan tersebut pun telah Allah janjikan terhadap umat manusia jika mereka beriman dan bertakwa kepada-Nya. Hal ini Allah Swt. terangkan dalam surah Al-A'raf ayat 96,
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Artinya: "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi ...."
Khatimah
Migrasi kerja ke Jepang tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi WNI. Apalagi di bawah asuhan kapitalisme yang tidak manusiawi. Sejatinya kesejahteraan hakiki hanya mampu diwujudkan oleh Islam. Hal ini telah terbukti selama belasan abad silam saat Islam mendominasi peradaban manusia. Saatnya umat mencampakkan sistem rusak kapitalisme dan menjadikan Islam sebagai solusi agar terwujud kesejahteraan hakiki.
Wallahua'lam bishawab. []
Inginnya migrasi ke sistem Islam kaffah saja.. sudah pasti jaminan sejahtera dan bahagia..
Nah, itu adalah pilihan terbaik. Aku pun mau
Salah satu negara yang saya impikan timggal di dalamnya adalah Jepang. Sepertinya asik tinggal di sana. Bersih, tertib, enak deh kayaknya. Tapi realitas yang ada dan dari cerita pengalaman orang Indonesia yang kerja di sana, gaji besar ya habis utk biaya hidup
Belum.lagi tingkat stress warganya juga tinggi. Jadi berpikir lagi mau tinggal di Jepang.
Ya sudahlah, tinggal di Bekasi aja hehe
Bener mbak, gaji di luar negeri kelihatan besar. Namun, biaya hidup di sana juga tinggi. Jadi sama saja. Sejatinya hanya dengan Islam kesejahteraan hakiki akan terwujud.
Iya, gambaran kecilnya seperti di Indonesia saja. Ada kota yang gaji pekerjanya murah tetapi biaya hidup sedikit lebih murah, juga sebaliknya. Tapi tetap saja, mau sejahtera di sistem ini sungguh sulit.
Kesejahteraan hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam
Betul bu Dewi. Gak ada yang benar-benar sejahtera di sistem ini.
Rumput tetangga terlihat lebih hijau. Padahal, selama sistemnya kapitalis pasti bernasib sama. Jazakillah khoiron atas tulisannya.
Ya, mungkin karena rakyat memang sangat rindu untuk sejahtera hingga mengadu nasib di luar negeri.
Waiyyaki, mbak Novianti
Di sana kelihatan gaji besar, tapi biaya hidup mahal juga. Di belahan dunia mana saja jika penerapannya ideologi kapitalisme maka tetap membuat rakyat jauh dari kata sejahtera. Barakallah penulis.
Betul mbak, kadang terburu nafsu pergi ke Jepang karena iming-iming gaji besar, tapi lupa mengecek lagi aspek lainnya ya.
Aamiin, wa fiik barakallah mbak Hanimatul Umah
Tulisan master memang keren ya, saya juga sdh coba membuat naskah terkait Jepang,, tapi datanya kurang, dan angle juga beda, belum lagi kesalahan kbbi belum bs saya atasi... Astaghfirullah kudu sering menulis harusnya .... Barakallah ya mbak
Hehe ... ayo atuh banyakin tulisannya, mbak. Semoga dengan banyaknya tulisan bisa mengurangi kesalahan KBBI. Tapi harus belajar juga KBBI-nya.
Aamiin, wa fiik barakallah
Sempat terpikir untuk mengenyam pendidikan di sana. Apalagi sempat ada woro-woro biaya pendidikan murah dan dapat jaminan rumah. Kembali terhadar akan fitrah dan sejatinya kesejahteraan tak akan dijumpai di negara mana pun yang menerapkan sistem kapitalisme. Kalau kaya secara personal itu faktor qodho atas luasnya rezeki Allah, di mana pun, bukan hanya di Jepang
Barokallahu fiik, Mbak Bestie
Betul mbak, rezeki Allah tersebar di mana pun di bumi ini kok. Tinggal manusia mau menjemputnya atau tidak dan menyelipkan rasa syukur atas semua itu.
Wa fiik barakallah, Mbak Bestie
Kakak kelas saya yang sempat kerja di Jepang hanya bertahan beberapa tahun. Sudahlah jauh dari keluarga, biaya hidup juga mahal.
Ternyata Jepang memang menjadi harapan ya untuk bisa mengubah nasib, meski kadang gak selalu beruntung.