Senja Kala Negeri Matahari Terbit

Senja Kala Negeri Matahari Terbit

"Jepang saat ini berada pada titik nadir demografi karena angka kelahiran penduduknya yang kian menurun."

Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Beredar berita tentang banyaknya rumah di Jepang yang tidak berpenghuni, bahkan tidak diketahui ahli warisnya karena yang empunya tidak memiliki keturunan. Kurang lebih 8,49 juta rumah di berbagai provinsi di Jepang dibiarkan kosong dan akan dibagikan oleh negara kepada siapa saja yang menginginkannya untuk dihuni secara gratis.

Sontak saja berita tersebut menghebohkan jagat maya akhir-akhir ini, membuat banyak orang bertanya-tanya kenapa bisa terjadi demikian? Pasalnya di banyak negara, justru malah kekurangan rumah sebagai tempat tinggal disebabkan angka kelahiran yang tinggi.

Sebut saja misalnya Indonesia, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 yang dilansir www.antaranews.com (15/2/2022), melaporkan angka backlog atau kesenjangan antara permintaan dan pasokan hunian yang tersedia akan perumahan pun meningkat menjadi 12,75 juta unit. Hal ini belum termasuk pertambahan keluarga baru yang mencapai 700-800 ribu per tahun, tentu akan menambah permintaan kebutuhan rumah terus meningkat.

Minimnya Angka Kelahiran di Jepang

Lain halnya dengan negara matahari terbit tersebut. Jepang saat ini berada pada titik nadir demografi karena angka kelahiran penduduknya yang kian menurun.

Berdasarkan perkiraan Biro Statistik Jepang, penduduk Jepang per 1 Desember 2009 berjumlah 127.530.000 orang (62.130.000 laki-laki dan 65.410.000 perempuan) dan dibandingkan populasi Desember 2008 terjadi penurunan sebesar 0,12% (150.000 orang).
Secara rinci tercatat per 1 Desember 2009, persentase penduduk di Jepang yang berusia 65 tahun ke atas sebesar 22,8% dari total populasi.

Kemudian hasil sensus Januari 1997 memprediksi 27,4 persen populasi Jepang akan berusia di atas 65 tahun pada tahun 2025, dan bertambah menjadi 32,3 persen pada tahun 2050.

Melihat data seperti ini, persentase penduduk usia muda di Jepang (0-14 tahun) terus menyusut sejak 1982. Sedangkan per 1 Juli 2009, persentase penduduk 0-14 tahun dan 15-64 tahun mengalami penurunan, masing-masing sebesar 0,84 persen (145.000 orang) dan 1,02 persen (844.000 orang) di bandingkan data tahun sebelumnya pada bulan yang sama.

Rendahnya angka kelahiran di negara yang menjadi kampiunnya pengembangan teknologi canggih seperti Jepang, tentu menjadi anomali kehidupan manusia yang dimanjakan dengan kemajuan teknologi, namun mengabaikan unsur terpenting manusia setelah pemenuhan kebutuhan dasar hidup (hajatul udhawiyah), yaitu pemenuhan naluri (gharizah) manusia.

Bukan Sekadar Pemenuhan Gharizah

Salah satu naluri manusia yang sering menjadi polemik dalam pemenuhannya adalah gharizatu nau' (naluri berketurunan) yang dalam pandangan sekularisme dilihat sebatas pemenuhan kebutuhan biologis atau seksualitas semata. Ketika syahwat sudah terpuaskan, mereka menilai pernikahan hanyalah sebatas formalitas. Banyak perempuan di Jepang ketika sudah menikah justru lebih memerhatikan penampilan fisiknya untuk tetap cantik dengan alasan tuntutan pekerjaan supaya terlihat selalu menarik.

Dalam kacamata ini pula budaya childfree mereka gemborkan dengan alasan anak hanya akan menambah beban dan menyita banyak waktu, sedangkan pekerjaan harus menjadi prioritas karena akan membuahkan banyak harta materi sebagai orientasi kebahagiaannya.

Banyak faktor yang memengaruhi budaya Jepang yang seolah mengadopsi kearifan lokal dengan tradisinya yang unik, namun dalam sistem pergaulannya mengadopsi kebebasan seks sebagai hiburan semata, tidak mengindahkan pernikahan sebagai solusi untuk melanjutkan keturunan. Ditambah lagi cara pandang kehidupan materialisme yang dibungkus nilai kepercayaan pada mitos-mitos atau adat yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan syariat Islam.

Mayoritas penduduk Jepang menganut Shinto, yaitu penyembahan terhadap banyak dewa yang diyakini sebagai adat leluhur yang harus dilestarikan. Banyak sekali tradisi yang memengaruhi kehidupan rumah tangga di Jepang berkenaan dengan kelahiran dan perawatan anak.

Salah satunya adalah tradisi seijinshiki, yaitu setiap anak yang memasuki usia dewasa harus diadakan ritual khusus, yaitu seijinshiki. Tradisi ini menjadi hari peringatan besar di Jepang, bahkan dijadikan hari libur nasional. Anak remaja yang menginjak usia 20 tahun akan memakai kimono formal untuk menghadiri upacara seijinshiki di kotanya.

Setelah melakukan ritual inilah, anak-anak di Jepang akan diberi tanggung jawab untuk lebih produktif dengan capaian nilai materinya. Karena di Jepang kesuksesan seseorang tolok ukurnya adalah kekayaan materi.

Inilah cermin kehidupan kapitalisme yang berbalut tradisi agama lokal yang menjadikan kehidupan manusia terjebak pada nafsu duniawi semata. Budaya gila kerja dan kebiasaan buruk masyarakat dengan minuman kerasnya "sake", mereka mengejar kebahagiaan semu dengan cara pergaulan bebas. Banyak remaja di Jepang yang lebih memilih kehidupan seks bebas daripada menikah. Sekalipun mereka menikah orientasinya bukan untuk melanjutkan keturunan, melainkan hanya sebatas meraih kenikmatan seksualitas secara formalitas.

Mereka memilih berpasangan hidup demi orientasi karier atau bisnis, sehingga banyak perempuan yang telah menjadi istri, tidak mengharapkan kelahiran anak. Alasannya tentu karena mengurus anak akan banyak menyita waktu dari kesibukannya dalam berkarier. Bekerja semaksimal mungkin adalah satu-satunya cara untuk berpenghasilan.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan cara pandang syariat Islam yang memiliki konsep cara-cara kepemilikan harta yang beragam, bukan hanya bekerja, melainkan bisa juga dengan menghidupkan tanah mati menjadi produktif, mendapatkan harta dari warisan dan harta pemberian negara kepada rakyatnya yang diberikan secara gratis.

Pun dalam konsep kehidupan berumah tangga, seperti dikatakan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nidzam Al Ijtimai fii Al Islam, menegaskan bahwa pernikahan akan membentuk keluarga untuk keberlangsungan umat manusia. Islam telah menganjurkan, bahkan memerintahkan pernikahan karena dengan menikah akan terjaganya pandangan dan kemaluan.

Pasangan suami istri hendaknya pula mengharapkan keturunan yang banyak, sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad saw. yang maknanya, hendaknya menikahi perempuan yang pencinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu). Ini adalah hadis sahih yang diriwayatkan Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar. Wallahu'alam bish Shawwab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Childfree, Produk Pemikiran Liberal Tidak Layak Pakai
Next
Mempertahankan Nikmat dengan Bersyukur
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram