Kuatnya Terkaman Macan Asia Timur Lumpuhkan Sayap Garuda

"Jiwa kapitalis merasuki negeri singa putih dan mengubahnya menjadi negara imperialis (penjajah) dan Indonesia menjadi salah satu negara yang dijajah. Pola relasi antara keduanya berkedok liberalisasi investasi dan perdagangan bebas yang diselimuti semangat globalisasi dan dikendalikan jaringan sistem teknologi informasi."

Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Singapura merupakan salah satu negara tetangga Indonesia yang terbilang maju di kawasan Asia Tenggara. Negeri mungil yang fakir sumber daya alam, namun memancarkan aura ‘Macan Asia Timur’ mampu membuat negeri-negeri sekitarnya bertekuk lutut. Negeri berlambang singa putih ini mencengkeram garuda dengan gelontoran modal dan berbagai perjanjian kerja sama yang terjalin di antara keduanya.

Dilansir dari Cnbcindonesia.com (25/01/2022) pada 24 Januari 2022 program Travel Bubble RI-Singapura resmi diberlakukan di daerah Batam-Bintan. Hal ini dilakukan demi mendompleng sektor pariwisata yang mengalami mati suri selama pandemi.

Telah terselenggara pertemuan Leaders' Retreat antara RI-Singapura di Bintan, Kepulauan Riau pada 25 Januari 2022. Hasilnya terjadi penandatanganan kontrak kerja sama strategis dalam ranah politik, hukum, dan pertahanan keamanan. Yakni terkait FIR (Flight Information Region), Extradition Treaty dan Joint Statement MINDEF DCA (M.bisnis.com, 25/01/2022).

Deretan perjanjian bilateral itu menyiratkan tanya, apa rahasia di balik kegagahan negeri singa putih ini? Bagaimana gambaran berbagai program kerja sama itu? Apakah menguntungkan RI atau justru sebaliknya? Lantas bagaimana Islam memandang terkait kerja sama antarnegara?

Menyibak Aura Macan Asia Timur

Singapura dikenal dengan julukan ‘Macan Asia Timur’, negeri berlambang singa putih ini pun digolongkan pada ‘Empat Naga Kecil Asia’ bersama Hongkong, Korea Selatan, dan Taiwan. Sebab, negara ini memiliki pendapatan terbesar dan terkaya di Asia. Singapura merupakan salah satu kota kosmopolitan dunia yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Bahkan, pelabuhannya pun termasuk satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia. Namun, hal itu dicapai bukan dengan mantra sim salabim. Negeri ini bangkit setelah sempat terusir dari Federasi Malaysia, baru merdeka tahun 1965 dengan kondisi sosial ekonomi yang karut-marut.

Meski negeri ini miskin sumber daya alam khususnya tambang, namun unggul dalam sumber daya manusia dan inovasi. Negeri mungil di sudut gelap Asia ini menyusun strategi agar bisa melesat dan melampaui negeri-negeri tetangganya. Dengan bermodalkan letak geografisnya yang strategis dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terampil, Singapura tumbuh menjadi pelopor negara industri yang sukses.

Sejak awal negara ini sangat membuka diri terhadap investor asing, dengan prinsip: “Perusahaan asing yang masuk ke negaranya pasti akan memangku modal, keterampilan, dan teknologi. Singapura memetik pelajaran dari itu semua dan berhasil mereplikasi praktik bisnis yang dibawa korporasi asing itu ke dalam negaranya.” Prinsip ini masih diterapkan hingga sekarang. Oleh karena itu, upaya untuk menarik perhatian investor asing itu masih terus digalakkan yakni dengan inovasi dan ketangguhan militer.

Namun demikian, Singapura tidak menggantungkan diri sepenuhnya pada investor asing. Negara ini berani menggelontorkan dana yang fantastis dari APBN untuk membiayai penelitian, pengembangan perusahaan, dan militer. Sehingga, Singapura berhasil mejadikan negerinya kuat dan unggul dalam ekonomi. Selanjutnya, negara ini melebarkan sayap ekonominya sekaligus mencengkeram negara-negara tetangganya dengan penanaman modal alias investasi. Indonesia, menjadi salah satu negara yang menerima dengan senang hati investasi jor-joran yang ditawarkan Singapura.

Tak bisa dimungkiri, sebagai negeri mungil yang miskin sumber daya alam, upaya untuk menyedot kekayaan negeri lain menjadi suatu hal yang niscaya untuk mempertahankan eksistensinya. Otomatis, Singapura harus pandai-pandai menjaga diri dengan perlindungan berlapis. Oleh karena itu, kekuatan militer menjadi andalan negara ini untuk menggertak siapa pun yang menghalangi kepentingannya sekaligus cara untuk menjamin keamanan dan kenyamanan warganya termasuk investor asing dan pebisnis di Singapura.

Tak ayal, Singapura menjadi negara kecil yang berani menggelontorkan dana fantastis untuk anggaran militer termasuk belanja pertahanan melampaui negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Namun itu saja tidak cukup, negeri singa putih ini butuh teman setia yang bisa mengawal mereka kapan pun. ‘Negeri Paman Sam’ dipilih menjadi belahan jiwa. Bukan hanya menempatkan pangkalan militer AS di Singapura, namun urusan belanja alutsista pun diimpor dari AS. Semua ini membuktikan bahwa kekuatan militer dijadikan alat untuk menjaga kepentingan ekonomi dan diplomasi ‘Macan Asia Timur’ ini.

Lantas, bagaimana dengan konsep politik yang dijalankan negeri singa putih ini? Demokrasi otoritarian menjadi napas politiknya. Intervensi negara secara terstruktur diterapkan dalam sendi-sendi ekonomi dan regulasinya, penentuan target industri unggulan, dan sederet kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung (favorable) bagi pelaku industri. Metode ini berhasil membawa Singapura pada kesuksesan besar, namun konsep ini pun menuai kritik. Masyarakat dibuat lemah tak berdaya menghadapi tirani rezim yang berkuasa. Salah satu dampaknya adalah mengorbankan kebebasan sipil (HAM) termasuk nilai-nilai demokrasi.

Setelah memastikan negaranya kuat dan unggul, langkah selanjutnya menerkam negara-negara kaya sumber daya alam dengan jeratan modal dan kekuatan militer. Negeri berlambang Garuda pun tak luput dari sasarannya, berbagai proyek kerja sama dilancarkan demi meraih ambisinya, tak terkecuali di masa pandemi Covid-19. Apa saja itu? Berikut ulasannya:

Travel Bubble

Gelembung perjalanan atau biasa disebut travel bubble merupakan kebijakan karpet merah antara dua negara atau lebih dengan meniadakan masa isolasi kepada para turis asing untuk memasuki dan berwisata ke suatu negara tertentu, meskipun di tengah lonjakan pandemi Covid-19. Ini berarti warga negara Singapura bebas keluar masuk ke wilayah Indonesia tanpa harus menjalani karantina sebagaimana aturan yang berlaku. Namun demikian, pemerintah Singapura mewajibkan warga yang kembali ke negaranya untuk tetap melakukan karantina mandiri (SHN) selama 7 hari di rumah. Program ini dilakukan dengan tujuan mendongkrak industri pariwisata yang terpuruk selama masa pandemi Covid-19.

Penyelenggaraan travel bubble legal dengan mengikuti rangkaian protokol kesehatan berdasarkan payung hukum yang diterbitkan melalui Surat Edaran Kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 3 Tahun 2022. Di antaranya pelancong harus menunjukkan bukti vaksin Covid-19 lengkap minimal 2 pekan sebelum keberangkatan, begitu pula bukti hasil negatif tes RT-PCR yang berlaku 3x24 jam, visa, dan berbagai kelengkapan administrasi lain.

Wilayah yang menjadi objek wisata bagi para pelancong Singapura untuk saat ini dibatasi hanya pada kepulauan Riau melalui jalur perjalanan yang telah ditetapkan. Pertama, melalui Nongsapura Internasional Ferry Terminal bagi pelancong yang hendak berwisata ke Nongsa Senasation di Batam. Kedua, melalui Bandar Bintan Belani Ferry Terminal bagi pelancong yang hendak menikmati sensasi Lagoi Bintan Resort di Bintan.

Selintas, program ini menjadi angin segar bagi pariwisata sekaligus pemulihan ekonomi yang telah terpuruk sejak pandemi. Namun, tak bisa dinafikan bahwa diberlakukannya program ini di tengah lonjakan Omicron dapat menyumbangkan dampak negatif bagi Indonesia. Pelancong mancanegara sangat berpotensi menjadi carrier dari virus corona dengan varian apa pun. Terlebih, tidak ada syarat karantina 2 minggu bagi para pelancong. Bahkan, kerumunan dan mobilitas tinggi menjadi pemicu kuat bagi munculnya gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia.

Mekanisme FIR

Pelayanan Ruang Udara atau Flight Information Region (FIR) merupakan suatu wilayah dengan dimensi tertentu diberikan pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service) . Definisi ini merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan (Menhub) Nomor 55 Tahun 2016 tentang Tatanan Navigasi Penerbangan Internasional. Sejak tahun 1946, FIR RI di wilayah barat (Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna) dikelola oleh Singapura, hal itu dikarenakan Internasional Civil Aviation Organization (ICAO) menganggap pascamerdeka Indonesia belum mampu mengatur lalu lintas udara. Perihal infrastruktur, peralatan, dan tenaga lalu lintas negara sangat minim saat itu. Konsekuensinya, seluruh pesawat termasuk milik Indonesia yang hendak melintas di atas wilayah sekitar 100 mil laut (1.825 km) itu harus melapor ke otoritas Singapura (M.bisnis.com, 25/01/2022).

Namun, sejak Selasa (25/1/2022) Indonesia mengambilalih FIR ini dari Singapura. Melalui pengambilalihan FIR ini, wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya tergabung dalam FIR Singapura, kini menjadi FIR Jakarta. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia saat ini memiliki dua wilayah FIR, yakni FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang/Makassar.

Meskipun pemerintah mengklaim telah berhasil mengambil alih FIR Kepri-Natuna, faktanya Singapura masih tetap memegang kendali terhadap pengelolaan ruang udara di sebagian wilayah tersebut. Hal ini tertuang dalam kesepakatan mengenai Penyediaan Jasa Penerbangan (PJP) pada wilayah yang selaras dengan batas-batas laut teritorial. Pemerintah menjelaskan bahwa delegasi pelayanan penerbangan dengan ketinggian 0-37.000 kaki memang masih diberikan kepada otoritas Singapura. Adapun, penerbangan 37.000 kaki ke atas baru dikelola oleh Indonesia. Masalahnya, lalu lintas penerbangan sipil biasanya memang ada di kisaran 0-37.000 kaki, jarang sekali yang lebih dari itu. Ini berarti Singapura tetap diuntungkan dengan adanya kesepakatan ini. Lantas, Indonesia dapat apa?

Perjanjian Ekstradisi

Singapura-Indonesia resmi menandatangani sebuah perjanjian ekstradisi pada Selasa (25/1/2022) di Bintan, Kepri. Perjanjian ini memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya ) selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut merujuk pada Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait batas maksimal kadaluwarsa. Secara sederhana, ekstradisi adalah permintaan suatu negara atas pelaku kejahatan ketika si pelaku berada di negara lain, sehingga bisa menjalani proses hukum dari negara yang meminta. Adapun, jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi di antaranya tindak pidana korupsi, money laundry, rasuah, perbankan, narkoba, terorisme, dan pendanaan kegiatan terkait terorisme (M.bisnis.com, 27/01/2022).

Namun, jangan senang dulu karena urusan ekstradisi tidak semudah yang dibayangkan dalam proses realisasinya. Perlu diketahui, bahwa setiap penandatanganan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti ratifikasi oleh DPR. Setelah itu, dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara kedua negara. Pada tiap tahapan ini kerap kali mengalami ganjalan. Biasanya Singapura senantiasa mensyaratkan perjanjian ekstradisi bisa berlaku seiring dengan berlakunya perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura. Mayoritas publik tidak setuju akan hal itu, sehingga mandek dan tidak jua mendapat pengesahan DPR. Ini berarti persepsi publik bahwa Singapura menjadi ‘surga’ bagi buronan kerah putih akan terus melekat.

Investasi

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan, Singapura tetap menjadi ‘Raja Investor’ di Indonesia. Sungguh fantastis, nilai investasinya mencapai US$7,3 miliar hingga September 2021. Jika dikalkulasikan setara 32% dari total PMA (Penanaman Modal Asing) mengalahkan Cina dan negara lainnya (Katadata.co.id, 4/11/2021).

Kecil-Kecil Kapitalis

Prinsip politik luar negeri Singapura adalah menjalin mitra dengan banyak negara agar potensi ekonomi dapat dicapai sedemikian rupa. Selain itu, juga untuk menopang faktor produksi yang tidak dimilikinya. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi perdagangan , mitra merupakan faktor terpenting untuk mendapatkan keuntungan. Lee Kuan Yew yang dinobatkan sebagai bapak Singapura memang membangun negara ini dengan sangat pragmatis dan penuh pertimbangan untung-rugi, bahkan menganggap Islam sebagai sebuah ancaman.

Namun, menyadari bahwa posisinya cukup rentan sebagai negara kecil yang diapit oleh negara mayoritas muslim terbesar, yakni Indonesia dan Malaysia. Maka kerentanan faktor geopolitik dan persoalan ideologis yakni Islam tak bisa dianggap remeh. Hal itu mendorong para pemimpin Singapura menjadikan Islam sebagai variabel penentu dalam proses pengambilan kebijakan politik di negaranya. Terlebih, geliat kebangkitan Islam sudah semakin masif menggejala pada negeri-negeri muslim, termasuk di Asia Tenggara. Merespons hal tersebut Singapura mengambil kebijakan akomodatif yang dimanifestasikan dalam kebijakan ‘Islam friendly’.

Beranjak dari sini, dapat kita simpulkan bahwa Singapura termasuk salah satu negara pengemban ideologi kapitalisme. Sekularisme yakni pemisahan agama dari aturan kehidupan menjadi asas dari negaranya. Bahkan, asas manfaat menjadi napas dalam segala kebijakannya. Apa pun boleh, yang penting untung. Tak aneh, jika demokrasi pun menjadi jalan untuk memuluskan kekuasaan yang disetir korporasi ini.

Jiwa kapitalis merasuki negeri singa putih dan mengubahnya menjadi negara imperialis (penjajah) dan Indonesia menjadi salah satu negara yang dijajah. Pola relasi antara keduanya berkedok liberalisasi investasi dan perdagangan bebas yang diselimuti semangat globalisasi dan dikendalikan jaringan sistem teknologi informasi. Bola liar dari pola relasi ini menyumbangkan efek negatif yang luar biasa, yakni surplus ekonomi mengalir deras dari negeri yang dijajah ke negeri penjajah, dari rakyat papa kepada orang kaya. Akumulasi kapital terus menggunung kepada para kapitalis, sementara rakyat hanya bisa mengais-ngais.

Aturan Kerja Sama antarnegara dalam Islam

Islam merupakan sebuah ideologi yang memiliki perangkat aturan yang paripurna, bukan hanya urusan dalam negeri yang diatur, namun hubungan luar negeri pun diurusi. Pada dasarnya, Islam mengklasifikasikan dunia atas dua kategori, yakni darul Islam dan darul kufur. Ada perbedaaan mendasar antara keduanya. Darul Islam adalah suatu negara yang menerapkan perangkat aturan dan sistem keamanan Islam. Nama lain dari darul Islam adalah Khilafah. Sedangkan, darul kufur adalah suatu negara yang menerapkan perangkat aturan dan sistem keamanan yang bukan berasal dari Islam, meskipun mayoritas penduduknya muslim.

Pengklasifikasian ini sejatinya menjelaskan sikap darul kufur terhadap negeri-negeri muslim. Siapa saja yang menampakkan permusuhan secara nyata dengan melakukan penganiayaan bahkan genosida pada kaum muslim di belahan dunia manapun, maka negara ini terkategori kafir harbi fi’lan misalnya Amerika Serikat, Israel, Inggris, Cina, Rusia, dan lainnya. Sementara itu, kafir harbi hukman merupakan negara yang potensial memusuhi Islam, namun masih disembunyikan, bergantung kepentingan negara tersebut.

Politik luar negeri darul Islam adalah menjadikan akidah Islam menjadi dasar bagi ideologi negara, tujuannya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Islam sangat berhati-hati dalam menjalankan hubungan dengan negara lain, terlebih kepada darul kufur. Sebab, haram menyerahkan negeri muslim untuk dikuasai dan dijadikan sapi perahan oleh darul kufur. Sebagaimana firman Allah Swt.,

ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS. An-Nisa: 141)

Haram hukumnya melakukan kerja sama dengan negara kafir harbi fi’lan, baik itu dalam hubungan diplomatik, ekonomi, pendidikan, terlebih militer. Termasuk investasi dan utang luar negeri, karena ini merupakan metode imperialisme gaya baru Barat dalam menguasai negeri muslim. Sedangkan, terhadap kafir harbi hukman boleh menyelenggarakan kerja sama bilateral sesuai isi teks-teks perjanjian. Kecuali jual beli senjata militer, investasi berikut utang luar negeri.

Darul Islam, memiliki bentuk-bentuk khas dalam aktivitas politik luar negeri. Pertama, menderaskan aktivitas secara intens dan proaktif untuk menyampaikan dakwah. Kedua, melakukan aktivitas politik dan diplomasi, membebaskan negeri-negeri muslim dari belenggu penjajahan ekonomi dengan cara menerapkan politik ekonomi Islam. Di antaranya dengan cara memenuhi kebutuhan primer warga negara baik skala individu (sandang, pangan, dan papan) maupun kolektif (pendidikan, kesehatan, dan keamanan); menolak keras investasi, utang luar negeri dan apa pun yang sejenisnya; membangun kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan agar tidak bergantung pada Barat; mengelola sendiri potensi sumber daya alam yang melimpah dengan meningkatkan kualitas dan kapabilitas sumber daya manusianya; menyetel sistem moneter yang tangguh berdasarkan mata uang dinar dan dirham; memberantas praktik-praktik ekonomi kotor seperti bunga (riba), rasuah, monopoli, kecurangan, dan korupsi.

Ketiga, melancarkan jihad bagi negara mana pun yang menampakkan permusuhannya kepada Islam dan kaum muslim sekaligus membebaskan negeri-negeri muslim dari penghambaan kepada manusia menjadi penghambaan kepada Allah Swt. Kekuatan militer Khilafah yang tangguh akan mampu membuat negara-negara di dunia bertekuk lutut.

Tindak-tanduk darul Islam (Khilafah) ini akan mampu melepaskan negeri-negeri muslim dari jeratan kapitalisme dan cengkeraman imperalisme Barat. Khilafah akan berdikari menjadi negara super power yang ditakuti musuh-musuhnya dan menjadi mercusuar peradaban manusia.

Sayangnya, ketiadaan Khilafah menjadikan kita sulit mengidentifikasi secara pasti negara mana yang termasuk kafir harbi fi’lan dan hukman. Sebab, dunia sudah diselimuti atmosfer ketamakan, minus rasa kemanusiaan, dan menghalalkan segala cara untuk dapat mengeksploitasi kekayaan SDA negara lain. Tanpa Khilafah kaum muslim terombang-ambing dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan, terperosok pada jurang kenistaan tanpa adanya junnah (perisai). Kini, saatnya bagi kita memperjuangkan tegaknya Khilafah dan tampil sebagai pemimpin di pentas dunia.

Khatimah

Singapura, walau bukan termasuk negara kafir harbi fi’lan namun bisa jadi terkategori negara kafir harbi hukman. Sebab, berpotensi untuk memusuhi Islam dan melakukan penyerangan juga perampokan pada SDA negeri muslim lewat jeratan investasi dan utang. Oleh karena itu, posisinya harus tetap diwaspadai.

Sementara, Indonesia dengan mayoritas penduduknya muslim, sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai aturan dan memperjuangkan tegaknya Khilafah. Sehingga, mampu melepaskan diri dari cengkeraman Singapura dan negara imperialisme Barat lainnya. Bahkan, membebaskan negeri muslim lain dari dominasi negara kafir. Dengan begitu semua potensi kekayaan alam yang dimiliki bisa dikelola sendiri, tanpa perlu bergantung pada negara lain. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Masa Depan, Milik Orang yang Mempersiapkan Hari Ini
Next
Muara Kasih Ibu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram