"Permasalahan-permasalahan yang berlaku, baik di Kazakhstan, maupun beberapa negara bekas Soviet lainnya, bahkan di dunia pada umumnya, disebabkan diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang didukung oleh sistem politik demokrasi. Inilah akar persoalannya."
Oleh. Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
NarasiPost.Com-Jika Januari sebagai awal tahun dilewati oleh sebagian besar kalangan dengan gegap gempita kegembiraan, tak demikian dengan Kazakhstan. Negara di Asia Tengah bekas pecahan Uni Soviet yang sebelumnya dikenal sebagai wilayah stabil itu mengawali tahun 2022 dengan guncangan dahsyat yang memorakporandakan negerinya. Guncangan dipicu demo warga yang menuntut penurunan harga gas cair LPG untuk bahan bakar kendaraan.
CNN Indonesia (9/1/2022) melansir laporan dari Kementerian Kesehatan Kazakhstan yang menyatakan bahwa 164 orang tewas dalam aksi demo hingga Minggu, 9 Januari 2022. Meski Presiden Kassym-Jomart Tokayev menyatakan tuntutan pendemo telah diikuti dengan menurunkan harga LPG, namun kerusuhan telanjur menyebar hingga ke dua jantung kota negeri, Almaty dan Nur-Sultan.
Mobil polisi dan gedung-gedung pemerintahan tampak terbakar. Suasana terasa kian mencekam. Hingga pemerintah setempat mengambil kebijakan berupa pengumuman kondisi darurat nasional dan jam malam. Perdana Menteri, Askar Mamin, dinyatakan lengser, diikuti bubarnya kabinet. Untuk meredakannya, sebanyak 2.500 pasukan dari tim keamanan gabungan yang dikomandoi Rusia (CSTO) pun diturunkan.
Kazakhstan, Negeri Muslim di Bawah Bayang Kekuatan Blok Barat dan Timur
Pasca meluasnya kerusuhan, Presiden Tokayev menyebut ada keterlibatan pihak teroris dan asing yang turut memanaskan situasi. Adapun Barat menuding Rusialah yang berkeinginan mengangkangi Kazakhstan. Sangat kentara dari ucapan Menlu AS, Antony Blinken. Ia berpendapat akan sulit bagi Kazakhstan untuk lepas dari pengaruh Rusia ketika mereka telah “mengundangnya”. Hal ini diucapkan ketika Tokayev meminta bantuan Rusia sebagai Ketua CSTO untuk memadamkan kerusuhan yang terjadi.
Lain lagi dengan pandangan yang muncul di Kremlin. Pihak Rusia ini justru menuduh demo ricuh tersebut bisa meluas menjadi apa yang mereka namakan Revolusi Warna. Dimana telunjuk blok Timur ini lurus terarah pada Barat sebagai dalangnya. Setelah apa yang terjadi di beberapa negara pecahan Soviet lainnya, yakni Revolusi Mawar di Georgia tahun 2003 dan Revolusi Orange di Ukraina tahun 2004.
Saling serang argumen dan sindiran politis yang dilontarkan kedua kekuatan yang mewakili blok Barat dan Timur itu terus bersahutan. Semua dalam rangka menguatkan pengaruh diri seraya melemahkan pihak lainnya. Pada akhirnya Kazakhstan sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslimlah yang menjadi bahan rebutannya. Suatu negeri muslim yang memiliki kemolekan berupa kekayaan alam dan potensi lainnya yang kerap membuat liur syahwat adidaya asing menetes karenanya.
Kapitalisme Demokrasi, Akar Persoalan
Konflik ekonomi mengemuka sebagai pemicu kericuhan tersebut. Dimana rakyat merasakan keterjepitan hidup dengan semakin tak terjangkaunya harga-harga kebutuhan, terkhusus harga LPG yang kian membumbung. Ketidakadilan berlangsung lama dirasakan oleh rakyat. Negeri mereka kaya akan cadangan energi, baik gas maupun minyak. Sebagai negara produsen minyak bumi terbesar ke-19 sedunia, bahkan the winner se-Asia Tengah. Namun, mengapa rakyat sebagai pemilik sah tanah yang ditinggali, beserta kekayaan alam yang ada di dalamnya justru harus terengah menebus kebutuhan akan minyak dan gas? Sungguh kekecewaan yang menyesakkan.
Korupsi dan praktik-praktik kapitalistik yang dimotori oleh oligarki pun kian menggurita dan membuat rakyat muak. Oligarki dari elite politik, penguasa negeri, berkolaborasi dengan korporat dalam negeri, wilayah regional (Rusia), Cina, hingga asing Barat.
Jika ditelisik lebih jeli, didapati benang merah dari kenyataan perih berupa kegagalan ekonomi, gurita korupsi dan cengkeraman oligaki elite penguasa dan pengusaha. Semua itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri dan terjadi secara insidental. Permasalahan-permasalahan yang berlaku, baik di Kazakhstan, maupun beberapa negara bekas Soviet lainnya, bahkan di dunia pada umumnya, disebabkan diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang didukung oleh sistem politik demokrasi. Inilah akar persoalannya.
Kapitalisme memberikan keleluasaan para perampok harta kekayaan suatu negeri dalam hal ini giant corporate menguras habis atas nama kerja sama luar negeri, investasi dan istilah halus lainnya. Dimana mereka mendapat dukungan dari negaranya (blok Barat maupun Timur). Bahkan sangat kasat mata dimana mereka berlomba memperluas pengaruh dan kuasa demi langgengnya kepentingan ekonomi kapitalistik dari negaranya masing-masing. Kapitalisme pula yang telah memberi pengesahan bagi penguasa untuk menjajakan infrastruktur dan sarana vital yang menjadi hajat hidup rakyat kepada giant corporate tadi. Berdirinya beberapa korporasi minyak Rusia dan satu milik Amerika menjadi buktinya. Tambang uranium sebagai aset besar Kazakhstan pun telah memberi peluang Rusia untuk meraupnya.
Lantas, apa yang didapat rakyat? Harga-harga kebutuhan, khususnya gas dan minyak yang kian tak terjangkau. Sungguh Kapitalisme telah menjauhkan keadilan dari tata aturan negara dalam mengurus rakyatnya. Rakyat lantas kian terpana, ketika rasa frustrasi mereka diekpresikan dengan turun ke jalan, menuntut keadilan. Justru itu mendapat tindakan represif dari penguasa yang diharapkan memberi solusi kesejahteraan juga keadilan bagi keluh kesah yang dihadapi. Sistem politik demokrasi yang berslogan from, by, for the people nyatanya tak memberi ruang untuk mengakomodasi kehendak rakyat -yang katanya- sebagai pemilik sah kekuasaan dan kedaulatan. Yang ada, justru sosok-sosok penguasa otoriterlah banyak bermunculan di sistem demokrasi.
Tawaran Solusi Hakiki dari Islam
Jika Kapitalisme demokrasi justru mewadahi watak serakah penguasa, pengusaha dan adidaya dunia, tentu dibutuhkan sistem kehidupan lain yang seratus persen mengayomi, mengurus dan mempersembahkan keadilan hakiki bagi seluruh rakyat. Sementara sistem sosialisme-komunis telah lebih dahulu gagal ketika dianut oleh pendahulu negara-negara bekas Uni Soviet itu. Sungguh masih ada satu alternatif sistem kehidupan lain. Ia telah nyata mampu memberi pengayoman, pengurusan dan keadilan hakiki bagi semua pihak yang ada dalam naungannya. Tentu dengan satu syarat: aturannya, standarnya hingga pedomannya dianut dan diaplikasikan secara menyeluruh, tak dipilah atau dimodifikasi dengan sistem lain. Ia adalah sistem kehidupan Islam. Sebagai ideologi dimana terdiri dari akidah dan tata aturan (syariat) yang komprehensif.
Islam terbukti mampu menjawab semua kebutuhan manusia secara naluriah. Bahwa secara naluriah manusia mencintai keadilan, kasih sayang, pengayoman, pengurusan dan terpenuhi semua hajat asasinya.
Peradaban emas, adil dan sejahtera telah tercatat dalam tinta sejarah dunia selama ratusan tahun. Keadilannya meliputi semua ras, agama, suku hingga bangsa. Terhitung sejak Baginda Rasulullah Muhammad saw., Sang Nabiyullah dan negarawan mumpuni mengurus kaum muslimin dan umat manusia lainnya yang ada di Madinah. Diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dan Khalifah-Khalifah sesudahnya. Hingga kekuasaannya terbentang dari timur hingga barat, dari Maroko hingga Merauke. Semua mendapat pengurusan dan pengayoman dengan keadilan yang hakiki. Itu karena Islam mengamanahkan ke pundak para penguasa untuk mengurus secara adil semua rakyat dengan berpegang pada aturan-Nya yang agung. Kelak di yaumil akhir, kaki mereka tak akan bergeser barang sejengkal pun jika semua urusan rakyatnya tak tunai dipertanggungjawabkan.
Sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Pemimpin (Khalifah) adalah rain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Syariat menetapkan bahwa kepemilikan itu wajib dikembalikan pada kehendak-Nya yang Mahaadil. Bahwa semua harta kekayaan alam baik hutan, sungai, lautan beserta isinya, dan apa-apa yang ada di perut bumi sebagai harta bersama (al-milkiyyah aammah). Pengelolaannya diserahkan pada negara yang dinamakan Daulah Khilafah. Hasilnya wajib dikembalikan semua untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Betapa adilnya hukum Islam. Di sini tak akan didapati lagi rakyat yang merasa sesak karena kebutuhan mereka harus ditebus dengan lembaran uang yang tak sedikit, sebagaimana fakta miris di alam kapitalis. Mustahil ada pula adidaya lain di dunia yang saling memperebutkan pengaruh di daulah Khilafah. Malah justru Khilafahlah yang kelak menjadi adidaya dunia dengan keadilannya, sebagaiama potret nyata masa lalu yang dipenuhi kemilau nan indah.
Penguasa (Khalifah) pun diberi kewajiban untuk mendengar keluh kesah dan aspirasi semua warga melalui mekanisme langsung atau dititipkan suaranya pada wakil rakyat yang disebut sebagai Majelis Umat. Namun demikian, Majelis Umat ini tak sama persis posisinya seperti parlemen di alam demokrasi. Dimana yang membedakan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam tak ada tugas legislasi, karena hak legislasi hanyalah milik syari (Allah).
Maka, seruan terbuka disapaikan pada saudara-saudara di Kazakhstan juga saudara muslim di belahan bumi lainnya. Mari kita perjuangkan keadilan hakiki di negeri kita, di seluruh dunia ini dengan mekanisme perjuangan yang dicontohkan oleh teladan terbaik umat manusia, baginda Rasulullah saw dengan menyingkirkan sistem rusak dan jauh dari keadilan Kapitalisme demokrasi, juga sosialisme-komunis. Mengenyahkan nasionalisme yang menjadikan negeri-negeri muslim tersekat dan lemah. Mari bersama-sama memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Allah di bawah sistem pemerintahan daulah Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Hingga tak perlu ada lagi Kazakhstan-Kazakhstan lain yang rusuh tersulut pengaruh adidaya dunia. Wallahu a’lam.[]
Photo : Pinterest