Apa yang ditunjukkan Prancis, seperti mengangkat pejabat gay dan pengangkatan pejabat koruptor menunjukkan rusaknya peradaban demokrasi sekularisme.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Buku Meraki Literasi)
NarasiPost.Com-Dunia perpolitikan Prancis memang banyak mengundang kontroversi dan mengalami dinamika yang cukup tajam. Diketahui, Presiden Prancis, Emmanuel Macron menunjuk Rachida Dati yang sedang menjalani penyelidikan formal atas kasus tuduhan korupsi selama menjadi menteri kebudayaan. Kini, Prancis menghebohkan dunia karena mengangkat sepasang gay untuk menduduki jabatan PM dan Menlu.
Dilansir dari cnbcindonesia.com (12/1/2024), Perdana Menteri (PM) Prancis, Gabriel Attal, menunjuk pasangan gaynya, Stephane Sejourne menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu). Sepanjang sejarah, Attal merupakan PM gay pertama di Prancis. Pada 2017 lalu, pasangan guy ini meresmikan hubungan mereka di serikat sipil dan mengumumkannya ke publik pada 2018.
Perombakan kabinet yang dilakukan Macron diendus oleh publik sebagai upaya untuk menyelamatkan kredibilitas pemerintahannya yang makin menurun. Selain penunjukan dan restrukturisasi kabinet yang kontroversi, Macron juga terkenal sebagai presiden yang anti-Islam. Lantas, bagaimana nasib kaum muslim di bawah pemerintahan Prancis?
Dipaksa Hidup Sekuler
Keterbukaan Attal mengenai orientasi seksualnya dan kisah sedihnya yang pernah mengalami pelecehan homofobik, ternyata berhasil menarik simpati masyarakat. Terlebih, Attal sebagai sosok yang masih muda, tampan, populer, dan cerdas dalam berdebat menjadikannya sebagai politisi yang paling dikagumi dan paling menonjol di Prancis. Semua ini berhasil menjadikan Attal sebagai PM Prancis pertama yang berani mengakui dirinya sebagai gay dan kariernya meroket dengan cepat pada masa pemerintahan Macron.
Attal dan pasangannya, Sejourne, bukanlah figur baru dalam dunia perpolitikan Prancis. Sejourne pernah menjadi penasihat Macron pada 2014 lalu, saat Macron masih menjabat sebagai Menteri Ekonomi dan Keuangan. Attal sendiri pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan juru bicara partai Macron yang bernama Republique en Marche.
Saat menjadi Menteri Pendidikan, keputusan Attal sangat mendiskriminasi muslimah melalui kebijakannya yang melarang pemakaian abaya di ruang kelas. Ia berdalih bahwa aturan ini dibuat untuk menguji prinsip sekularisme di sekolah-sekolah Prancis. (Dialeksis.com, 10/1/2024)
Selama masa pemerintahan Macron, rekam jejak kebijakan diskriminatif terhadap Islam begitu nyata. Pasalnya, selama Macron kembali mendapat tampuk kekuasaannya pada 2017 lalu, sentimen anti-Islam bangkit di Prancis. Hal ini terjadi ketika Prancis membentuk undang-undang antiseparatis yang dinilai publik sebagai undang-undang antimuslim. Semua dapat dilihat ketika undang-undang tersebut disahkan pada Agustus 2021, dan membuat aparat mulai menutup sekolah muslim, menutup 718 masjid, dan beberapa lembaga yang dianggap mendukung separatis akan dibekukan asetnya.
Dalam Middle East Eye (25/4/2023), Rayan Freschi seorang peneliti CAGE yang berbasis di Prancis memandang bahwa Macron menganggap Islam dan praktiknya sebagai “ancaman peradaban”, sehingga “separatisme Islam” harus ditentang dengan tegas. Menurut Freschi, islamofobia makin berkembang di Eropa akibat masifnya kampanye “melawan teror” yang sejatinya adalah kampanye “melawan Islam”.
Betapa banyak kasus penghinaan terhadap ajaran Islam yang didiamkan, bahkan didukung oleh pemerintah Prancis. Misalnya, ketika guru Samuel Paty yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelasnya, Macron justru menyebutnya sebagai bentuk kebebasan yang harus dilindungi. Padahal jelas sekali, membuat kartun Nabi Muhammad merupakan bentuk ujaran kebencian terhadap Islam.
Prancis sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi sekularisme dan mendukung liberalisme, justru banyak melahirkan kebijakan diskriminatif. Sejak awal masa pemerintahan Macron, ia selalu bersikap tidak bijak jika menyangkut kebebasan kaum muslim. Terlihat jelas bagaimana Macron begitu masif mendorong islamofobia dengan menuduh kaum muslim yang taat sebagai seorang yang radikal dan ekstrem. Oleh sebab itu, restrukturisasi kabinet yang dilakukan Macron, terutama dijadikannya Attal sebagai PM akan berdampak pada langgengnya sikap diskriminatif pemerintah Prancis terhadap kaum muslim.
Bukti Kegagalan Demokrasi
Paradoksnya kebebasan beragama dalam demokrasi dapat dilihat bagaimana Macron mengeluarkan kebijakan diskriminatif dan agresif terhadap umat Islam, dengan melarang penggunaan jilbab atau abaya bagi muslimah di lingkungan sekolah (CNN Indonesia, 2/9/2023). Jauh sebelum kebijakan ini, undang-undang pelarangan nikab telah berlaku sejak 2011 lalu. Sejak berlakunya undang-undang tersebut, setiap muslimah yang mengenakan nikab di tempat umum akan didenda sebesar 150 euro (Rp1,88 juta), atau wajib mengikuti kursus kewarganegaraan Prancis. Artinya, kebebasan berekspresi, beragama, dan penolakan terhadap seruan kebencian, tidak berlaku untuk kaum muslim di Prancis.
Melihat bobroknya penerapan sistem demokrasi di Prancis, dapat simpulkan bahwa sekularisme akan selalu “memaksa” kaum muslim untuk hidup sekuler dengan merampas “kebebasan” mereka agar taat kepada syariat Islam. Karena itu, ketidakmampuan pemikiran sekuler untuk berpikir benar membuat penguasanya akan selalu mengeluarkan kebijakan berdasarkan emosi, nafsu, kebencian, dan ketakutan. Kemudian, kampanye kebencian terhadap Islam ditutupi dengan slogan-slogan kebebasan tanpa makna yang sebenarnya bertentangan dengan HAM dan kebijakannya sendiri.
Apa yang ditunjukkan Prancis, seperti mengangkat pejabat gay dan pengangkatan pejabat koruptor menunjukkan rusaknya peradaban demokrasi sekularisme. Sejatinya, sistem munafik ini tidak layak diterapkan di negeri-negeri muslim karena tidak memiliki standar baku mengenai halal atau haram. Alhasil, perbuatan menyimpang dilindungi sedangkan kebenaran didiskriminasi.
Islam Tegas Menyikapi LGBT
Akibat mereduksi peran agama, pemerintah Prancis justru membenarkan pelaku LGBT tetapi tidak mau berkompromi dengan simbol-simbol Islam. Tentu saja, pemandangan zalim ini tidak akan kita dapati jika syariat Islam kaffah diterapkan dalam bingkai negara (Khilafah). Sebab di dalam Khilafah, esensi seorang khalifah/pemimpin adalah melayani urusan umat secara langsung berdasarkan hukum syarak.
Dalam Islam, homoseksual atau gay disebut sebagai liwath. Sanksinya berbeda dengan pelaku zina. Liwath adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan laki-laki dengan cara memasukkannya ke dubur. Terkait keharaman dan sanksi pidana liwath pernah diriwayatkan oleh Sa’id bin Jabi dan Mujahid dari Ibnu Abbas, “Jejaka yang didapati sedang melakukan liwath maka rajamlah”. Selain itu, Rasulullah Muhammad saw. pernah bersabda:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barang siapa yang mengetahui ada yang melakukan liwath sebagaimana yang dilakukan oleh Kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya”.
Berdasarkan kedua hadis di atas, para ulama berkesimpulan bahwa rajam bukan had liwath. Rajam hanyalah uslub dan hukum “bunuh” bagi kedua pelakunya bersifat mutlak, tidak membedakan antara jejaka maupun duda. Artinya, hukuman mati bagi pelaku liwath adalah dibunuh, baik dengan cara dirajam, digantung, ditembak dengan senapan, atau dengan cara lainnya. Bahkan ada suatu riwayat yang menyatakan bahwa pelaku liwath dibunuh dengan pedang lalu dibakar hingga mati.
Hukuman liwath diberikan jika pelakunya mengakui perbuatannya atau ada kesaksian dari seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Perlu diperhatikan juga bahwa hukuman ini hanya berlaku bagi laki-laki balig, berakal, berinisiatif sendiri, dan terbukti telah melakukan liwath. Dengan kejelasan dan ketegasan syariat Islam dalam menyikapi pelaku gay, maka dapat dipastikan bahwa di dalam Khilafah pelaku LGBT tidak mungkin dapat eksis, apalagi sampai memamerkan penyimpangan seksual yang telah dilakukannya.
Khatimah
Kebebasan dan HAM bagi muslim yang taat hanyalah ilusi di alam sekularisme. Eksisnya pasangan gay dalam pemerintahan demokrasi seharusnya menyadarkan kaum muslim betapa rusaknya peradaban sekularisme. Sangat penting bagi kaum muslim menyadari bahwa penyebab dilegalkannya penyimpangan seksual di Prancis akibat penerapan demokrasi yang menjadikan kedaulatan tertinggi adalah manusia. Oleh karena itu, mari kita renungkan firman Allah Swt. dalam surah Al-Mu’minun ayat 71 berikut:
“Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, serta semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, namun mereka berpaling dari peringatan itu.”
Wallahu a’lam bishawab. []
Kaum Laknatullah hanya bisa dibasmi di sistem Islam
bener Mba, semoga Khilafah segera tegak...
Innalillah, sistem gila ini memunculkan figur yang mengerikan. Naudzubillah
Barokallahu fiik, Mbak
pelaku kemaksiatan di angkat menjadi pejabat, bahkan diidolakan..
wafiik barakallah Mbaku
Mendukung bahkan melegalkan sesuatu yang melanggar syariat Islam pasti akan membawa keburukan bagi negerinya.
pada akhirnya, demokrasi akan menghancurkan dirinya sendirri,,,
Mereka sdg menunggu azab Allah... mengerikan gerakan L68T
mengundang azab Allah dimuka bumi dengan kemaksiatan mereka
Sekuat apa pun Prancis menerapkan kebebasan tanpa batas, sesungguhnya hanya tinggal menunggu kehancurannya saja. Apalagi kaum terlaknat sudah ikut eksis di panggung publik.
Bener Mba, makin eksis dah tu kaum penyimpangan seksual ini di muka bumi.
MasyaAllah, jelaslah di sini Lagibete memang tidak patut berada di muka bumi. Sebab banyak kerusakan dan menularkan penyakit. Barakallah penulis.
Wafiik barakallah Mbaku...
Bukti rusaknya sistem demokrasi sekuler. Kerusakan dari akar hingga menjalar ke mana2
Akar sudah rusak sampai ke ujung tangkai,,, perlu solusi yang revolusioner
Memang Prancis pusatnya kebebasan. Karena asal muasal ide kebebasan dari Prancis. Namun, Prancis akan menuai kerusakan dari tingkahnya sendiri.
Ooo.. pastas ya Mba,, tapi kebebasan tidak untuk Islam... Hiks, paradoksnya liberalisme
Di dalam sistem demokrasi, sah-sah saja mengangkat seorang gay sekali pun untuk jadi pemimpin. Karena pada dasarnya sistem tersebut adalah buatan manusia, di mana manusia itu sendiri sangat mudah berubah. Jadi peraturan yg dibuat pun bisa diubah kapan saja sesuai dengan kepentingan. Beda dgn sistem Islam yg merupakan proyek Allah Swt. yang punya peraturan bersifat baku tidak dapat direvisi karena bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Suatu hari, Perancis akan mendapat murka Allah. Tunggu saja tanggal mainnya. Jadi gemes baca tulisan itu.
MasyaaAllah bener banget Mbaku,, Jazakillah khoir sudah mampir...
Serem banget tambah merebak aja di dunia internasional
serem karena ini akan jadi pintu makin eksisnya kaum penyimpangan seksual tsb
Astaghfirullaah .... Ini namanya liberal terbatas. Bebas untuk nonmuslim, tapi tidak untuk kaum muslim. Eh, kaum muslim memang tidak boleh liberal ya, harus ikut syariat.
iya Mba,, banyak2 istighfar kalau lihat modelan pejabat2 di dalam demokrasi...
Barakallah de Mila.
Astaghfirullah, gambaran buruk sistem kapitalisme. Makin membuat hal terlarang kian nyata. Bisa jadi ini makin dijadikan dalih bahwa Gay juga wajib hidup. Ngeri banget
Iya, diangkatnya pejabat gay seperti angin segar bagi kaum lagibete agar makin eksis Mba..
Wafiik barakallah Mbaku
Astaghfirullah.
Gambaran real dari negara dedengkot demokrasi, Montesquieu. Jijik banget ada pejabat pemerintah model begini. Rakyatnya sebelas duabelas. Kenapa ada pejabat begini dipilih?
Pejabat dan rakyat sama-sama sakit. Obatnya hanya Islam.
Iya Mba, kayak ada jijitnya yaa... hehe, apalagi pemerintahan mereka suka mendiskriminasi kaum muslim yang taat.